SURABAYA | duta.co – Forum Petani Garam Madura (FPGM) yang notabene gabungan dari berbagai asosiasi petani garam di Madura mengadu ke pimpinan DPRD Jatim terkait nasib mereka yang kian terjepit dan tak mendapat perlindungan dari pemerintah agar tetap bisa bekerja di tengah pandemi Covid-19.
Moh Yanto selaku Ketua FPGM di hadapan ketua DPRD Jatim Kusnadi mengatakan bahwa petani garam di Madura menjerit karena harga garam turun drastis jauh dari ongkos produksi. Ironisnya lagi, produksi garam petani sulit terserap atai terjual sehingga masih banyak menumpuk di gudang.
“Ongkos produksi kita itu Rp800/kg tapi  harga jual garam hanya kisaran Rp400-Rp500/kg sehingga merugi. Itupun sulit dijual, sehingga kami minta perlindungan DPRD Jatim agar bisa tetap hidup,” kata Moh Yanto didampingi beberapa ketua asosiasi petani garam dari Sumenep, Pamekasan dan Sampang di ruang ketua DPRD Jatim, Rabu (18/11/2020).
Lebih jauh Yanto menjelaskan bahwa anjloknya harga dan sulit terserapnya produksi garam petani Madura patut diduga karena terjadi penyimpangan dan ketidakjelasan aturan garam impor yang masuk ke Indonesia.
“Aturan pemerintah pusat tidak jelas, garam impor dulunya hanya untuk kebutuhan industri tapi sekarang amburadul sehingga garam impor bisa masuk ke garam konsusmsi. Ini jelas merugikan petani garam,” tegas Yanto.
Ironisnya lagi, perusahaan pengolah garam itu terbanyak di Jatim, tapi Pemprov Jatim tidak tahu pengajuan garam impor yang masuk ke Jatim tata niaga impor garam impor sepenuhnya diatur asosiasi IG, Kementerian Perindustran dan Kementerian Perdagangan.
“Kami berharap pengajuan garam impor juga melibatkan Pemprov sehingga provinsi bisa melakukan pengawasan lebih baik. Bahkan kalau perlu Gubernur Jatim tidak memberikan ijin rekomendasi bongkar garam impor jika dikhawatirkan merugikan petani garam,” jelasnya.
Industri penggguna garam impor juga banyak yang nakal. Dicontohkan Yanto pabrik mie ternama kebutuhan garam industrinya hanya sekitar 50 ribu ton/tahun. Namun mereka justru mengambil garam industrinya dari tiga perusahaan importir masing-masing 50 ribu ton sehingga akumulasinya menjadi 150 ribu ton.
“Kelebihan inilah yang kemudian merembes diubah menjadi garam konsumsi. Kami sudah membuktikan garam dapur (konsumsi) yang dijual diberbagai toko modern itu sejatinya garam industri karena kandungan NaCl nya diatas 97%. Makanya orang sekarang mudah sakit karena yang dikonsumsi kadar kimianya sudah melebihi ambang batas,” beber pria berkacamata ini.
Senada, Yoyok perwakilan asosiasi petani garam dari Pamekasan menambahkan bahwa masalah pergaraman di Indonesia khususnya Jatim karena pemerintah tidak memiliki database yang akurat dan tersingkronisasi.
“Sejak ada Kementerian Kelautan dan Perikanan tata niaga garam impor menjadi amburadul, sehingga menjadi entry poin untuk permainan kuota impor garam. Padahal produksi petani garam kian membaik dari kualitas dan kuantitas  sehingga mengakibatkan produksi garam petani sulit terserap dan harganya anjlok,” beber Yoyok.
Ironisnya lagi, amburadulnya database pergaraman nasional menjadikan Presiden Joko Widodo kerap menjadi kambing hitam karena masukan yang diberikan oleh kementerian terkait salah. “Bahkan petani Madura sempat protes karena presiden mengatakan garam Madura kualitasnya jelek padahal itu bukan garam dari Madura,” kata Yoyok.
Menurut Yoyok, garam merupakan komoditas strategis tapi nilai ekonomisnya masih rendah. Terbukti, untuk urusan garam harus diurusi dua kementerian dan Menko namun tata niaga garam tak kunjung berpihak kepada petani garam dalam negeri.
“Hulunya tak ada masalah, yang masalah itu di hilir tapi selalu merugikan bagian hulu.  Kalau menjadi komoditas strategis harusnya garam dimasukkan dalam bahan kebutuhan pokok sehingga pemerintah bisa mengeluarkan HPP dan  kesejahteraan petani garam meningkat,” tegas Yoyok.
Persoalan lain adalah kebijakan pemerintah yang membuat klaster garam dimasukkan dalam bahan baku sehingga muncul dikotomi garam impor dan dalam negeri. Padahal ide awal garam impor itu hanya untuk mencukupi kebutuhan industri.
Dampaknya, kata Yoyok garam impor ikut menyasar pasar garam konsumsi yang sejak awal dipenuhi dari produksi petani garam dalam negeri. “Produksi petani garam dalam negeri sudah mencapai 2 juta ton/tahun sementara kebutuhan garam konsumsi hanya 700 ribu ton. Kalau petani harus bersaing dengan PT Garam ya tentu kalah,” tegasnya.
Diakui Yoyok kebijakan yang dibuat pemerintah tidak konsisten. Dicontohkan sudah ada UU No.7 tahun 2016 tentang perlindungan dan pemberdayaan petambak garam. Namun realitas di lapangan UU justru kalah dengan peraturan menteri bahkan dirjen.
“Banyak pasal karet yang merugikan petani garam dalam negeri. Misal, peraturan Dirjen Kementerian Luar Negeri yang mengatur harga garam impor minimal Rp.750/kg tapi itu ternyata bukan HPP tapi syarat floring. Logikanya pedagang pasti pilih garam petani yang harganya cuma kisaran Rp.400-Rp.500/kg tapi kenapa mereka memilih impor,” kritik Yoyok.
Untuk melindungi petani garam di Jatim, pihaknya berharap DPRD Jatim segera membuat payung hukum berupa perda, sehingga provinsi lain nantinya bisa meniru Jatim karena Jatim merupakan sentra produksi garam nasional.
“Kami sempat dijanjikan Komisi B DPRD Jatim untuk membikin perda perlindungan petani garam Jatim tapi tak kunjung terealisasi,” tagih Yoyok.
Masih di tempat yang sama, Kusnadi selaku ketua DPRD Jatim berjanji akan segera menindaklanjuti rencana pembuatan Perda tentang perlindungan petani garam di Jatim. Mengingat, payung hukum memang sangat diperlukan untuk melindungi petani garam dari keterpurukan yang lebih parah.
“Kalau supply and demand tak berimbang ya kasihan petani garam, sebab mereka pasti kalah bersaing dengan PT Garam yang notabene BUMN. Harusnya garam impor itu hanya untuk memenuhi kebutuhan garam industri. Biarlah garam konsumsi menjadi bagian petani garam kalau masih kurang, silahkan impor,” terang Kusnadi.
Politisi asal PDI Perjuangan ini juga berharap Gubernur Jatim lebih melindungi petani garam dengan tidak mudah memberikan izin rekomendasi bongkar muat garam impor di wilayah Jatim saat produksi garam petani melimpah dan tak terserap.
“Semua negara pasti ingin melindungi dan mensejahterahkan rakyatnya sendiri. Namun caranya berbeda-beda, harusnya kita tak perlu takut melakukan politic dumping untuk melindungi petani garam dalam negeri karena negara lain juga melakukan hal yang sama,” tegas Kusnadi.
Ia juga heran kalau sampai pemerintah tidak memiliki database kebutuhan dan produksi garam nasional. Padahal itu sangat mudah tinggal mengalihkan kebutuhan perorang pertahun dikalikan jumlah penduduk.
“Kalau kebutuhan per orang pertahun akan garam 3 kg, maka Jatim dengan penduduk hampir 40 juta khan ketemu 120 juta kg /tahun untuk kebutuhan garam konsumsi. Lha tinggal menghitung berapa kapasitas produksi petani garam, kalau tak mencukupi baru kita impor,” jelas ketua DPD PDI Perjuangan Jatim.
Kusnadi juga sangat menyayangkan jika garam industri sampai bocor dan digunakan untuk garam konsumsi. Selain bisa membahayakan kesehatan manusia mengingat, kandungan kimianya berbeda. Bahkan industri aneka makanan yang dulunya mengambil garam petani sudah beralih ke garam impor dan sekarang garam impor merambah ke garam konsumsi.
“Harus ada pembagian yang jelas, garam impor itu hanya untuk memenuhi kebutuhan industri. Dan garam petani untuk memenuhi kebutuhan garam konsumsi. Kebutuhan garam industri pasti akan terus meningkat seiring kemajuan industrialisasi di Indonesia tapi jangan mematikan petani garam lokal, jadi polical will pemerintah memang dibutuhkan disini,” pungkas Kusnadi. (ud)   
Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry