Oleh: Soetanto Soepiadhy
“MEMBUAT BUKU” adalah menerbitkan buku yang berasal dari tulisan-tulisan yang pernah dimuat di media cetak; atau yang pernah dipublikasikan dalam bentuk lain, seperti katalog atau leaflet pengantar acara. Ini masuk golongan “buku non-murni”. Demikian salah satu paragraf dalam Pengantar Penulis.
Buku ini sebagian besar berasal dari tulisan-tulisan yang pernah dimuat di berbagai surat kabar dan majalah yang sebagian besar pula terbit di Surabaya, maupun dimuat oleh media di luar Surabaya yaitu media di Jogjakarta.
Amang Mawardi, jurnalis dan penulis sejumlah buku. “Monument Kesenian” (xii + 173; 13 cm x 19 cm; 2017) merupakan buku karyanya ke 8. Berisi 24 judul terdiri atas empat bab: Bab I – Komunitas; Aspek Budaya. Bab II – Seni Pertunjukan; Seni Lukis. Bab III – Polemik. Bab IV – Obituari.
From the rural to the urban
Penduduk yang berimigrasi dari desa ke kota (from the rural to the urban) sebagian masih berkarakter rural. Itulah yang disebut urbanisasi. Urbanisasi sesudah Revolusi Industri yang diiringi tumbuhnya kota industri modern, dengan ciri antara lain memiliki teknologi yang cukup maju dan organisasi sosial yang kompleks.
Pesatnya perkembangan industrialisasi di Surabaya setidak-tidaknya akan mengakibatkan keterasingan mereka dari akar budaya dan identitas sosialnya sendiri, sebagaimana yang terjadi pada masyarakat lainnya. Gedung Balai Pemuda — termasuk di  dalamnya terdapat sentra budaya Dewan Kesenian Surabaya dan Bengkel Muda Surabaya — memiliki nilai yang cukup tinggi. Tidak dapat dipungkiri, bahwa kawasan bangunan cagar budaya Balai Pemuda menjadi incaran para pengusaha pengembang komersial. Artinya, Balai Pemuda dapat beralih fungsi menjadi modern dan sedikit demi sedikit nilai-nilai seni dan budaya akan semakin berkurang dan mulai memudar.
Sebauh greget yang disampaikan oleh Amang Mawardi, bahwa kota Surabaya ini menghadirkan berbagai ragam budaya sebagaimana kota-kota besar lainnya di dunia, yang mau tidak mau melahirkan berbagai budaya  urban. Inilah yang oleh penulis dipertanyakan.
Kreativitas
Menurut J. Bronowski dalam Creativity, pencapaian manusia dapat dibagi menjadi tiga, yaitu creation, invention, dan discovery. Creation atau kreativitas adalah pencapaian dalam dunia seni, invention dalam dunia ilmu pengetahuan, dan demikian juga discovery. Di antara ketiga pencapaian ini, yang paling murni adalah kreativitas. Berbeda dengan invention dan discovery, kreativitas bersifat sangat personal. Dapat dibayangkan, William Shakespeare meninggal pada masa mudanya, menurut Bronowski tidak mungkin ada orang lain yang dapat menulis drama-dramnya. (Budi Darma, 1995).
Bagaimana Slawomir Mrozek dalam drama Polisi ditangan Zainuri, sutradara senior Bengkel Muda Surabaya; The Zoo Story adalah sebuah karya adaptasi dari penulis asal Virginia, Amerika Serikat, Edward Albee yang ditulis pada tahun 1958. Pada awalnya, naskah teater ini berjudul “Peter and Jerry” di tangan sutradara Maimura telah mampu mementaskannya dalam suasana yang berbeda, 2005; Jaka Tarub karya dan sutradara Akhudiat, tidak saja memodernisasi versi dongeng dalam semangan parodisme, namun juga mencoba menyisipkan kritik sosial yang pada zaman itu dianggap rawan manakala ditinjau dari perspektif stabilitas politik dan keamanan rezin saat itu; demikian pula lukisan-lukisan abstrak Pelukis Suud yang menggunakan garis dan warna dengan “suasana tunggal”; dan Cak Poeng, pelukis yang memiliki kemampuan untuk melahirkan karya berupa sketsa yang disadari atau tidak menarasikan berbagai episode peristiwa.
Demikian Amang Mawardi mampu menelisik karya kreatif Zainuri, Meimura, Akhudiat, A.E.S. Suud, dan Cak Poeng. Karya-karya kreatif yang bersifat sangat personal.
Polemik Kebudayaan?
Salah satu bab yang menarik untuk disimak dalam buku Monumen Kesenian, adalah tentang polemik. Suatu polemik yang menggambarkan adanya elan vital atau energi hidup, baik dari Henry Nurcahyo dan Amang Mawradi; serta Amang Maradi dan Jongky Freddy Harijanto. Semuanya bergelut pada konsep berkebudayaan (?)
Mecermati polemik di atas, jadi teringat polemik kebudayaan yang pernah terjadi di Indonesia dalam skala nasional. Salah satu di antara kelompok cendekiawan dipelopori oleh St. Takdir Alisyahbana seorang tokoh polemik kebudayaan yang berlangsung pada permulaan dasa warsa tahun 1930-an. Menurut tokoh ini kebudayaan nasional Indonesia yang disebutkan kebudayaan Indonesia Raya, merupakan suatu kebudayaan yang dikreasikan dengan mengambil banyak unsur dari kebudayaan Barat yang pada waktu itu dikenal sebagai kebudayaan universal. Sehubungan dengan gagasan tersebut, tokoh polemik bersangkutan menyarankan agar generasi muda tidak terlampau terikat pada kebudayaan zaman pra-Indonesia. Bahkan sebaliknya mereka dianjurkan agar dapat membebaskan diri dari kebudayaan suku bangsa,
Pandangan tersebut di atas mendapatkan kecaman dari berbagai pihak antara lain, Sanusi Pane. Menurut tokoh ini, konsep kebudayaan Indonesia harus tetap mementingkan aspek kerohanian. Perasaan dan gotong royong. Sementara itu, manusia Indonesia tidak boleh melupakan kontinuitas sejarahnya untuk memasuki zaman Indonesia baru. Konsep ini jelas bertentangan dengan gagasan St. Takdir Alisyahbana, di mana mendasarkan gagasannya pada pengabilalihan unsur-unsur kebudayaan barat yang berorientasi kepada aspek materialisme, intelektualisme, dan individualisme.
Pandangan ketiga dikemukakan oleh Poerbacaraka. Yang mengajukan pendiriannya, bahwa untuk membangun suatu kebudayaan Indonesia baru, maka masyarakat Indonesia harus tetap mempelajari sejarah dan kebudayaannya di masa lampau. Ini berarti pula, bahwa kebudayaan Indonsia baru, bagaimanapun juga harus tetap berakar pada kebudayaan pra-Indonesia. Yaitu kebudayaan suku-suku bangsa yang ada di daerah-daerah.
Pandangan tersebut relevan dengan pandangan Ki Hadjar Dewantara yang tercermin dalam pernyataannya, bahwa kebudayaan Indonesia nasional adalah puncak-puncak dari kebudayaan daerah.
Conditio Sine Qua Non
Bagaimanapun juga kita perlu berbangga, bahwa dalam buku Monumen Kesenian ini tampak karya-karya kreatif para kreator. Kreativitas itu sangat penting di dunia penemuan yang bersifat personal, merupakan suatu syarat mutlak yang tak terelakkan (conditio sine qua non).
Sayang disayangkan, buku yang enak untuk dibaca ini, penulis tidak memasukkan salah satu bab tentang epilog. Di mana para pembaca dapat mafhum tentang intisari karya sastra sebagai core penulisan. Tabik!***
*Soetanto Soepiadhy adalah  Staf Pengajar Fakultas Hukum Untag Surabaya dan Pendiri “Rumah Dedikasi” Soetanto Soepiadhy.

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry