“Ada perkembangan trend positif menarik adalah gejala pertumbuhan madrasah-madrasah favorit karena keunggulan pendidikannya.”

Oleh: M. AMINUDIN*

PERTENGAHAN tahun 2022 ini umat Islam disuguhi isu penghapusan Madrasah dalam Revisi UU SISDIKNAS. Reaksi muncul dari mulai pimpinan MPRRI, Pimpinan Ormas Islam hingga para pemangku pendidikan Madrasah para Guru.

“Menghilangkan nama madrasah dalam RUU Sisdiknas, sama saja dengan mau menghilangkan madrasah dari negeri ini, menghilangkan guru, anak dan santri serta siswa, juga anggaran pendidikan untuk madrasah,” demikian statetemen Ketua Umum PB Perkumpulan Guru Madrasah Nasional Indonesia (PGMNI), Heri Purnama seperti dikutip Liputan6.com, Kamis (31/3/2022).

Menurut dia, RUU Sisdiknas yang beredar di tengah masyarakat ini dapat memicu emosi seluruh komunitas guru-guru madrasah. PGMNI mencatat, ada 1.000.050 guru yang tersebar di hampir 16 juta madrasah di seluruh Indonesia yang akan merasakan dampak dihapuskannya madrasah pada UU itu.

Di tengah gelombang protes yang meluas dari masyarakat terhadap isu disingkirkan Madrasah, melalui instagramnya @nadiemmakarim, (30/03/2022), Mendikbudristek Nadiem Makarim berusaha meredakan dengan menyatakan “bahwa sedari awal tidak ada keinginan atau pun rencana untuk menghapus sekolah, madrasah, atau bentuk-bentuk satuan pendidikan lain dari sistem pendidikan nasional. Sebuah hal yang tidak masuk akal dan tidak pernah terbersit sama sekali.”

Pernyataan Mendikbudristek Nadiem, ditindaklanjuti statement Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemendikbudristek Anindito Aditomo mengungkap, RUU Sisdiknas disusun dengan prinsip terbuka terhadap masukan dan tidak terburu-buru dalam pelaksanaannya.

Jika demikian maka kini pemangku pendidikan Madrasah terutama Ormas Islam dan para guru seharusnya segera menyiapkan masukan-masukan yang konstruktif untuk revisi nomor 20 tahun 2003.

Walaupun hasil studi menunjukkan terjadinya gejala kebangkitan lembaga-lembaga pendidikan Islam ini. Dalam konteks ini beberapa madrasah menemukan popularitas baru, yakni beberapa madrasah kini dipandang bukan lagi hanya merupakan lembaga transmisi ilmu-ilmu agama Islam, tetapi juga tempat menghasilkan pendidikan berkualitas yang mentransmisikan penguasaan ketrampilan dan keahlian dalam bidang sains-teknologi.

Ada perkembangan trend positif menarik adalah gejala pertumbuhan madrasah-madrasah favorit karena keunggulan pendidikannya. Problematika pendidikan di madrasah secara garis besar hasil penelitian Khorul Huda (man Tulung Agung) dapat dikategorikan menjadi dua faktor, yaitu faktor eksternal dan faktor internal.

Ada dua faktor eksternal yang menjadi problema madrasah dalam mempertahankan dan mengembangkaneksistensinya, yaitu problem politik dan partisipasi masyarakat. Sejak awal pertumbuhannya, pendidikan madrasah senantiasa mendapatkan permasalahan yang cukup serius. Permasalahan tersebut antara lain muncul dari kebijakan pemerintah yang dipandang bersifat tidak bisa kompromi, bahkan merugikan terhadap keberadaan madrasah itu sendiri.

Memang selama ini telah ada perwakilan masyarakat di madrasah yang diberi nama Badan Pembantu Penyelenggaraan Pendidikan (BP3) sekarang Komite Sekolah.

Sayangnya lembaga ini sengaja didesain olehpemerintah untuk hanya memiliki peran yang minimal, terutama hanya terbatas pada permintaan pendapat tentang kenaikan SPP siswa. Bila ditelusuri, ada empat persoalan yang menjadi kendala utama sehingga BP3 tidak mempunyai peran yang signifikan.

Pertama, pada banyak madrasah swasta, lembaga BP3 tidak mempunyai wewenang yang cukup untuk melakukan sesuatu, karena yang berkuasa adalah pengurus yayasan yang biasanya dan Ormas sosial. Kedua, tidak terdapat komunikasi dan koordinasi yang sinergis antara pengurus BP3 danpengurus madrasah.

Kedua belah pihak belum mencerminkan sebuah tim yang kompak dan pada sebagaimana mestinya. Ketiga, keterbatasansumber saya manusia dan lainnya, kebanyakan pengurus BP3 belum memiliki visi masa depan tentang madrasah, terutama menyangkut peran madrasah dalam menyangkut perkembangan masyarakat, dan tanggungjawab masyarakat dalam meningkatkan mutu madrasah.

Keempat, belum adanya kesepahaman yang melahirkan kerja sama sinergis antara madrasahdan masyarakat. Masyarakat menganggap bahwa tugas penyelenggaraan pendidikan adalah tugas pengurus madrasah atau pemerintah.

Secara internal, meskipun belum tuntas, madrasah telah mengalami modernisasi. Implikasinya, madrasah memiliki posisi sejajar dengan sekolah umum lain.

Namun demikian, madrasah harus menata infrastruktur dan suprastrukturnya sehingga dapat memberikan layanan pendidikan yang berkualitas kepada masyarakat.Adapun faktor internal yang menjadi problema madrasah antaralain adalah:

Pertama, Kondisi guru yang belum memadai. Jumlah madrasahswasta jauh lebih besar daripada madrasah negeri. Kondisi seperti inimenimbulkan masalah tersendiri. Khusus mengenai guru, jumlah guru negeri relatif lebih kecil dibanding swasta. Juga masih banyak guru yang mismatch dan under qualified, terlebih di madrasah swasta.

Kedua, minimnya sarana dan prasarana pendidikan. Kendati madrasah dianggap sama dan sejajar dengan sekolah umum, namunmadrasah belum memperoleh anggaran pendidikan secara adil. Sejauhini, anggaran pengembangan madrasah hanya diperoleh dari anggaran keagamaan.

Minimnya anggaran pemerintah bagi madrasah berdampakpada kelengkapan sarana pendidikan. Fasilitas gedung madrasah, dan pengadaan alat penunjang pendidikan menjadi sangat mi nim.

Ketiga, kurikulum. Melalui SK-SK Mendikbud, yang ditegaskandengan SK-SK Menteri Agama, maka MI, MTs, dan MA wajib memberikan bahan sekurang-kurangnya sama dengan SD, SLTP, dan SMU untuk mata pelajaran umum dan menambahkan pelajaran agama.

Implikasinya, madrasah sama dengan sekolah umum yang berciri khas Islam. Perubahan seperti ini, di satu sisi memang merupakan perubahan yang menggembirakan. Lulusan madrasah menjadi sederajat dengan lulusan sekolah umum yang setingkat. Namun di sisi lain, justru menjadi problema tersendiri.

Problemnya adalah: (a) Berkurangnya muatan materi pendidikan agama dapat dilihat sebagai pendangkalan pemahaman agama.Muatan kurikulum sebelum SKB saja dirasa belum mampu mencetakmuslim sejati, apalagi kemudian dikurangi. (b) Tamatan madrasah serba tanggung. Pengetahuan agamanya tidak mendalam sedangkan pengetahuan umumnya juga rendah. Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam yang hidup dari, oleh dan untuk masyarakat muslim,belum mampu melahirkan generasi-generasi muda Islam yang mampu menjawab tantangan zaman. Bahkan lebih memprihatinkan lagi tamatan madrasah masih dipandang mempunyai prestasi yang rendah.

Keempat, prestasi siswa madrasah rendah. Rendahnya prestasimadrasah tidak dapat dipungkiri. Hal ini tampak jelas apabila indikator keberhasilan siswa itu dilihat dari Nilai UN yang diperoleh siswa. Juga dapaat ditinjau dari jumlah siswa yang diterima di perguruan tinggi umumuntuk jurusan umum. Realitas ini juga merupakan problema tersendiri yang harus diselesaikan secara komprehensif sehingga mutu pendidikan dimadrasah akan mampu bersaing dengan sekolah-sekolah umum lainnya.

Permasalah di atas seharus juga harus masuk dalam Daftar Isian Masalah (DIM) perubahan UU 20/2003 tentang SISDIKNAS sehingga bisa disusun dalam kalausul batang tubuh UU SISDIKNAS yang baru, sehingga membuat Madrasah bisa lebih baik lagi dibanding sebelumnya.(*)

*M. AMINUDIN adalah Mantan Staf Ahli Pusat Pengkajian MPRRI tahun 2005/ Staf Ahli DPRRI 2008/ TIM AHLI DPD RI 2013/ Pengurus Pusat ALUMNI UNAIR Dept. entrepeneurship/ Peneliti di Institute for Strategic and Development Studies (ISDS).

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry