“Penundaan Pilkada melalui penerbitan Perpu merupakan jalan tengah atas kondisi dan situasi bangsa yang fokus pada upaya pecegahan terhadap wabah corona (Covid-19).”

Oleh : Dr H Ahmad Siboy, SH, MH

VIRUS Corona benar-benar telah memberikan hantaman keras terhadap dinamika kehidupan manusia di seluruh belahan dunia, termasuk di negeri kita, Indonesia. Indonesia tidak dapat mengelak dari bidikan corona. Jumlah korban yang berstaus ODP, PDP dan positif terus bertambah dari hari ke hari.

Serangan virus corona (Covid-19) tersebut tentu mengubah berbagai tatanan yang telah mapan direncanakan sebelumnya. Salah satu tatanan yang menjadi ‘korban’ corona adalah penyelenggaraan Pilkada serentak periode keempat tahun 2020 ini.

Jadwal penyelenggaraan Pilkada tahun 2020, tentu, terombang-ambing karena harus diubah atau disesuaikan dengan keadaan negeri yang sedang kalang kabut karena corona.

Penyelenggaraan Pilkada tentu tidak dapat dipaksakan agar tetap dilaksanakan sesuai jadwal yang telah diatur dalam peraturan perundang-undnagan. Walaupun Pilkada merupakan pesta kedaulatan rakyat, namun bukan berarti dapat menjerumuskan rakyat pada kematian karena corona.

Artinya, apabila penyelenggaraan Pilkada tetap dilaksanakan di tengah merebaknya virus corona, maka, sama persis dengan menjadikan Pilkada sebagai pesta “pembantaian” terhadap rakyat.

Dikatakan sebagai pesta pembantaian karena apabila rakyat mengikuti Pilkada seperti datang ke TPS untuk mencoblos, maka, sama persis dengan menyuruh rakyat mendatangi kematian, mengingat lewat aktivitas pencoblosan itulah kemudian virus corona akan menyebar secara masif.

Hampir semua orang sepakat penyelenggaraan Pilkada ditunda demi kemaslahatan. Prinsipnya, Pilkada dapat diselenggarakan pada waktu yang akan datang, sedangkan orang yang mati karena corona tak dapat dihidupkan lagi pada waktu yang akan datang.

Tentu saja, menunda penyelenggaraan Pilkada tidak semudah membalik telapak tangan, meski juga tak sesulit membalik telapak kaki. Kesulitan penundaan Pilkada ini, berkaitan dengan urusan teknis dan hukum.

Urusan hukum inilah yang kemudian agak sulit prosedurnya. Sebab, ketentuan mengenai penyelenggaraan Pilkada diatur langsung dalam UU nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Pasal 201 menyatakan bahwa pemungutan suara dilaksanakan pada bulan September 2020.

Mengubah bulan atau tahun dalam penyelenggaraan Pilkada, tentu harus melalui aturan yang selevel. Artinya, perubahan mengenai penundaan tersebut juga harus melalui undang-undang, tidak boleh melalui peraturan yang lain seperti Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) misalnya.

Perubahan harus melalui undang-undang yang selevel itu, demi menjamin kepastian hukum atas penundaan Pilkada. Apabila penundaan Pilkada tidak melalui perubahan undang-undang, maka, dapat dipastikan bahwa penundaan tersebut tidak memiliki dasar legitimasi hukum, dan rawan digugat berbagai pihak dikemudian hari.

Mengapa harus melalui undang-undang? Pertama, Undang-undang merupakan jenis peraturan perundang-undangan secara hirarki menduduki urutan ketiga dalam sistem peraturan perundang-undangan di Indoensia. Sehingga apabila ingin mengubah ketentuan dalam undang-undang maka harus melalui undang-undang pula, tidak boleh dilakukan oleh jenis peraturan perundang-undangan yang berada di bawahnya, mengingat asas lex superiori deroget lex inferiori.

Kedua, Undang-undang merupakan produk hukum hasil kesepakatan antara legislatif dan eksekutif (DPR bersama Presiden) sedangkan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang hanya dibuat oleh eksekutif saja.

Ketiga, Pengujian. Apabila bentuk produk hukum tentang penundaan Pilkada diatur melalui produk hukum selain undang-undang maka, ini akan membingungkan rakyat pencari keadilan. Artinya, rakyat yang merasa dirugikan oleh penundaan Pilkada akan kesulitan melakukan upaya pengujian atas norma tersebut.

Hal ini berbeda dengan undang-undang di mana rakyat yang merasa dirugikan dapat mengajukan constitutional review ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Pada sisi lain, berharap terjadi penundaan Pilkada melalui undang-undang bukanlah suatu hal yang mudah. Sebab, proses perubahan undang-undang haruslah melewati prosedur dan waktu yang relatif lama. Ini bisa terjadi apalagi\ kondisi pembentuk atau pengubah undang-undang sedang dalam kondisi tidak dapat bekerja maksimal karena proses pencegahan corona.

Jalan Tengah

Artinya, berharap DPR dan Pemerintah bekerja efektif demi mengubah UU Pilkada merupakan harapan semu yang tak mungkin terwujud. Tak mungkin terwujud karena akhir dari virus corona belum pasti, sementara tahapan penyelenggaraan Pilkada sudah sampai pada waktunya. Jadi? Waktu yang tersisa untuk melakukan perubahan undang-undang dengan tahapan penyelenggaraan Pilkada sudah tidak mungkin berjalan seirama.

Kondisi di atas sesungguhnya dapat dikualifikasi sebagai keadaan memaksa atau darurat. Dalam hal keadaan memaksa atau darurat maka dapat diberlakukan mekanisme hukum darurat. Dalam hal ini maka dapat diterbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu).

Perpu merupakan produk hukum yang diterbitkan oleh Presiden dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa. Unsur kepentingan memaksa merupakan pertimbangan subyektif Presiden sebagai orang yang berwenang menerbitkan Perpu. Tidak ada parameter rigid untuk menyatakakn suatu keadaan itu memaksa atau tidak.

Dalam Pilkada tahun 2020, Penerbitan Perpu oleh Presiden bukanlah sesuatu yang berlebihan mengingat kondisi obyektf virus corona yang telah memporak-porandakan tahapan penyelenggaraan Pilkada.

Penggantian pengaturan Pilkada dari Undang-undang melalui Perpu juga pernah terjadi sebelum era Presiden Joko Widodo. Pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Undang-undang Nomor 22 tahun 2014 tentang Pilkada diganti dalam waktu yang sangat singkat dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang nomor 1 tahun 2014 tentang Pemilhan Gubernur, Bupati dan Wali Kota.

Penundaan Pilkada melalui penerbitan Perpu merupakan jalan tengah atas kondisi dan situasi bangsa yang fokus pada upaya “pembunuhan” terhadap penyakit pembunuh (corona) dan tahapan penyelenggaraan Pilkada yang tidak mungkin dilaksanakan di tengah ketidakpastian kapan virus corona akan menemui ajalnya. Penerbitan Perpu akan segera memberikan kepastian hukum atas penundaan Pilkada.

Penundaan Pilkada melalui Perpu akan menjadi penundaan Pilkada yang paling memiliki legitimasi. Sebab, Undang-undang dengan Perpu memiliki kedudukan yang setara secara hirarki berdasarkan pada ketentuan UU nomor 15 tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Bersamaaan dengan itu, Perpu juga menjadi obyek pengujian dari Mahkamah Konstitusi (MK).

Dr H Ahmad Siboy, SH, MH adalah Dosen Pasca Sarjana Unisma dan Dosen Luar Biasa Fakultas Hukum Universitas Brawijaya

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry