Tanpa Greget: Pidato Presiden RI Jokowi di Sidang Tahunan MPR RI Dan Sidang Bersama DPR RI Dan DPD RI (Pool)/ft/www.cnbcindonesia.com

“Lembaga Tertinggi Negara (MPR) telah di-down grade menjadi Lembaga Tinggi Negara selevel DPR, BPK, MA, DPD dan lainnya. Ada penurunan kedudukan MPR. Akibatnya, secara konstitusi tak lagi berada di ‘puncak piramida’.”

Oleh : Zulkifli S Ekomei*

MENURUT Prof Kaelan (UGM), setelah UUD 1945 diamandemen sebanyak empat kali (1999, 2000, 2001, 2002), ada sekitar 90% pasal-pasal di UUD 1945 hasil karya agung founding fathers, diubah. Ini bukan amandemen, tapi renew, mengganti, ujar Kaelan.

Gilirannya, praktik penggantian UUD dimaksud, mengubah wajah konstitusi menjadi liberal, individualis dan kapitalistik.

Judul pun mereka ubah menjadi UUD NRI 1945. Ada tambahan ‘NRI’ di tengahnya. Ada yang menyebut ‘UUD 2002’ karena berlaku sejak tanggal 10 Agustus 2002 . Bahkan secara vulgar ada yang mengistilahkan sebagai UUD 1945 Palsu.

Kenapa ‘UUD 2002’ masih memakai istilah UUD 1945 dengan tambahan tiga huruf: N-R-I di sela-sela (UUD NRI 1945)-nya?

Ini terbaca, bahwa siapa pun rezim yang berbasis ‘UUD 2002’ ingin tetap didukung oleh TNI-Polri. Dua institusi bersenjata, sekaligus perekat bangsa. Sebab, dalam ‘Sumpah Prajurit’-nya TNI dan ‘Tri Brata’-nya Polri, tersurat klausal: “.. setia kepada Pancasila dan UUD 1945 .. “.

Mungkin ini alasan utama kenapa ‘UUD 2002’ tetap menggunakan nama UUD 1945 dengan tambahan tiga huruf (NRI) di antaranya. Bayangkan jika TNI-Polri tidak setia alias _mbalelo kepada rezim penguasa gara-gara UUD yang tidak sesuai dengan lafal dalam Sumpah Prajurit dan Tri Brata?

Dan sungguh riskan, bahwa UUD baru (UUD NRI 1945) yang dibidani kaum reformis dan ditunggangi anasir asing (via National Democratic Institute atau NDI) sehingga sampai saat ini tidak memiliki payung hukum.

Tidak ada satu pun aturan mendasari seperti Ketetapan/Tap MPR, misalnya, atau UU, Perppu, Dekrit Presiden dan lainnya. Nihil, alias tidak ada sama sekali. Sebenarnya draft TAP-nya ada, tetapi tak bernomor alias kolom nomornya kosong.

Mengapa?

Tak dapat kita pungkiri, akibat pergeseran kedudukan MPR dari lembaga tertinggi menjadi lembaga tinggi, membuat MPR tidak lagi berwenang mengeluarkan TAP yang bersifat mengatur (regeling). Bisa menerbitkan TAP, tetapi sifatnya penetapan belaka alias seremonial kelembagaan.

Retorikanya, “Apakah pemerintah yang berbasis UUD NRI 1945 ini ‘cacat’ secara hukum?”

Tidak begitu pertanyaannya. Dan tak pula letterlijk alias hitam putih jawabannya. Barangkali, singkat narasi logisnya begini. Secara de jure, tetap memakai UUD 1945 sebelum amandemen (naskah asli), namun secara de facto, memakai UUD NRI 1945 (pasca amandemen) yang TAP MPR-nya tak bernomor.

Kenapa begitu?

Dulu, tatkala amandemen ke-3 tahun 2001, Lembaga Tertinggi Negara yakni MPR, penjelmaan (kedaulatan) rakyat – puncak piramida konstitusi — telah di-down grade menjadi Lembaga Tinggi Negara selevel DPR, BPK, MA, DPD dan lainnya. Terjadi pergeseran kedudukan MPR secara signifikan. Maka, konstitusi kini tak lagi mempunyai ‘puncak piramida’.

Kedaulatan rakyat ‘dirampas’ di ruang sidang oleh kaum reformis. Sudah barang tentu, MPR tidak lagi berwenang menerbitkan TAP MPR — yang bersifat regeling — yang hierarkinya di atas UU. Fakta inilah yang sedang terjadi, tetapi sebagian besar pakar hukum tata negara di republik ini membisu. Entah kenapa.

Hal lain yang tidak kalah urgen ialah, tidak ada lagi GBHN yang menjadi acuan kerja pemerintah dalam menjalankan (kebijakan) pembangunan; dan Presiden bukan lagi sebagai Mandataris MPR. Jadi, selain Presiden cenderung menjalankan politiknya sendiri (bukan politik GBHN), bila ada pelanggaran konstitusi oleh Presiden maka tidak bisa diberhentikan secara langsung oleh MPR.

Memang dapat diberhentikan oleh MPR atas usul DPR (pasal 7A); diajukan oleh DPR ke MPR hanya jika telah mengajukan permintaan kepada MK atau MK untuk memeriksa (pasal 7B). Relatif panjang dan berbelit jika kita bandingkan sebelumnya.

Persoalan menjadi lain ketika salah satu lembaga, entah DPR, MPR atau MK, dalam ‘genggaman’ Presiden. Atau, ketiganya justru berkomplot.

Bandingkan sewaktu MPR sebagai puncak piramida. Presiden sekelas Bung Karno, Pak Habibie, Gus Dur — ketika mereka anggap melanggar konstitusi — pun bisa lengser melalui Sidang Istimewa (SI). Tetapi, mekanisme SI kini sudah hilang atau sengaja mereka hapus dalam amandemen.Bukankah MPR kini tak lagi sebagai puncak piramida politik alias bukan lagi Lembaga Tertinggi Negara?

Apabila ada pro kontra kebijakan Presiden terkait konstitusi, contoh, maksimal digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK), atau minimal diunjuk rasa oleh warga di jalanan, atau pun sekedar kritik kaum intelektual dan politikus yang saling bersaut-sautan di ruang publik. Tak lebih. Inilah yang kini berlangsung di republik tercinta ini.

Anda Berada Di mana?

Nah, kini, secara garis besar, ada lima (5) kubu di publik terkait konflik konstitusi tersebut, antara lain:

Pertama, kubu yang ingin melanggengkan ‘UUD 2002’ atau UUD NRI 1945. Kelompok ini adalah penikmat amandemen, karena dengan konstitusi baru tersebut mereka merasa nyaman dan diuntungkan (comfort zone);

Kedua, kubu yang ingin kembali ke UUD 1945. Inilah sebagian anak bangsa yang gelisah dengan kondisi bangsa dan nasib generasi di masa depan akibat UUD kini berubah liberal, individualis dan kapitalistik;

Ketiga, kelompok hiprokit. Ini kaum ‘karaoke’. Kanan kiri OK. Satu kaki ada di kubu kedua, kaki satunya mendukung pelanggengan ‘UUD 2002’ dengan aneka dalih. Mbulet dan membingungkan;

Keempat, kelompok hore. Kaum ini di antara dua sisi. Sisi sebelah, ia tidak memahami apa yang sesungguhnya terjadi; sisi sebelah lagi, ia sekadar safety player.

Kelima, golongan awam. Mereka sama sekali tidak tahu menahu tentang permasalahan hulu bangsa terkait konstitusi.

Di ujung renungan kecil ini, muncul dua retorika menggelitik: Pertama, pada posisi atau kubu manakah sekarang ‘saya’ berada? Kedua, sebenarnya, Indonesia mau dibawa kemana? Inilah Renungan Hulu di Awal 2023. (*)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry