Dr Suparto Wijoyo

Oleh:  Suparto Wijoyo*

TIBA-TIBA karibku, Cak Mispon, mengucapkan selamat menunaikan puasa Ramadan 1441 H, dengan sentilan banyaknya warung tepi jalan buka ketika daerahnya memang belum menerapkan PSBB. Cak Mispon mengirimi potret kaki yang rapi berjajar seolah shaf salat yang lurus rapat, kaki yang terlihat tanpa tahu milik siapa karena tertutup kain di kedai PK5. Kiriman ucapan dan foto itu  pasti untuk menggoda dan saya harus berancang-ancang tancap pemikiran, biar tidak diledek olehnya sebagai seorang akademisi yang sibuk ngajar, bukan ndidik. Karena baginya belajar daring yang setiap sesi saya lakukan itu hanyalah pengajaran, bukan pendidikan. Sebelum jauh ke sana, saya langsung saja merespons apa yang diunggah Cak Mispon.

Cak Sampeyan ojok lali, dulu pernah mengajarkan kepada saya, Mas Jojo, demikianlah dia kadang-kadang memanggil saya mengikuti Pakde Karwo katanya, ketahuilah bahwa  pemilik kaki itu  bukanlah tidak beriman. Puasa ini tidak mengharamkan mobilitas orang, sehingga yang makan tadi tetap kutafsir sebagai para musafir dan pekerja keras yang bertandang  ke daerah lain. Untuk itulah warung perlu buka, karena kaum penjelajah tidak harus menjalankan puasa dengan tunai. Wanita yang sedang “merayakan bulanan” juga boleh meng-kredit puasanya dan  berarti disilakan  menikmati sensasi  di “restoran pinggirian” saat khalayak  berpuasa.

Ingatlah Q.S. Al-Baqarah ayat 184: …, fa mang kaana mingkum mariidhon au’alaa safarin fa’iddatum min ayyaamin ukhor, wa’alallaziina yuthiiquunahuu fidyatun tho’aamu miskin, fa man tathowwa’a khoiron fa huwa khoirullah, wa an tashuumuu khoirul lakum in kuntum ta’lamuun. Amat terang  bahwa barang siapa di antara kamu sakit atau bepergian (lalu tidak puasa), maka wajib mengganti sebanyak hari yang dia tidak berpuasa pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan  orang miskin. Tetapi barang siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, tentu itu lebih baik baginya, dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Dengan ini semangatlah berpuasa,  “tunai” atau “kredit” itu soal kondisi.

Cak Mispon memahami dan dia pun melontar tanya sampai kapan orang kampus berpuasa tanpa Lebaran Cak Parto? Lihatlah auranya sangat kentara tentang fenomena tiarap nasional kaum terdidik di sebuah negara yang berada di “hutan demokrasi”. Diam-diam RUU Omnibus Law dibahas dan Perppu pengabsahan “perampokan berskala besar” atas nama Pandemi Covid-19 dianggap “kemurahatian negara”. Simaklah Cak, rimba itu  merayap menjadi belantara yang sulit ditemukan rambu hukumnya walaupun  dalam konstitusinya sebagai negara hukum (rechtsstaat). Hukum sedang digiring memasuki pintu gerbang yang kuncinya hanya ada dalam “pemenang pemilu raya” dan semuanya seperti  hulubalang.

Terjadi penghambaan  daya nalar yang dibiaskan agar tidak ada yang sungguh-sungguh berbeda. Apabila gagasan dan pikiran tidak sejalan dengan pembopong kedaulatan rakyat, tunggulah  saat  “peringatan” disampaikan  demi langgengnya periodesasi yang diharapkan. Ke depan terbuka kemungkinan sebuah mimpi diadili tanpa mampu membela diri. Segala privasi dimasuki  untuk sekadar meraih posisi yang konon tanpa terjamah hukum negara, karena negara ada dalam kuasanya. Situasi di negara tersebut amatlah ganjil untuk ukuran ekspresi berpikir normal  dengan segala bentuk media yang terkontrol tanpa ada jeda dan kriteria. Kata tunggal yang diusung menjadi stempel bagi siapa saja yang mencoba menyela.

Radikal. Kata itu  diperhinakan oleh kekuatan untuk memberikan lonceng kegelapan. Berpikir digerhanai dan berdiskusi “dipelototi”. Kondisinya pekat mengkhawatirkan. Genderang yang ditabuh bertalu  menyembunyikan maksud keseragaman tetapi mendeklarasikan sebagai pihak yang paling berkeragaman. Kata ideologi yang dimiliki negara sedang “diculik” untuk kemudiaan dibuat mantra yang menggedor diding-dinding rumah penduduknya. Konstalasi sosialnya saling curiga dan kalau tidak mau celaka maka jangan menjadi radikal. Radikal telah direduksi arti kesejatiannya sejurus makna dengan laku kejahatan. Konsekuensinya adalah  rakyat di rimba  raya itu takut dilabeli radikal, karena itu identik dengan kejahatan, dan  setiap kejahatan adalah nista.

Padahal ada sisi lainnya. Seperti dalam kamus-kamus yang beredar di pasaran  negara rimba bahwa radikal itu bisa menyangkut pemikiran yang mendasar dengan wujud perilaku yang sangat prinsipal. Begitu dawuh Cak Mispon. Dalam radikal terdapat kerangka berlaku yang mampu dibedakan bahwa ini merah dan itu putih. Bukankah setip warna adalah radikal dengan segala perbedaan yang ada. Apabila sebuah warna tidak mampu menunjukkan indentitasnya berarti ia kehilangan jatidirinya, dan tidak ada sebuah keberadaan tanpa ciri khas. Karakter yang  membeda itulah radikal dan biarkanlah terdapat pendefinisian tersendiri agar semua tidak seragam.  Kata dan bahasa adalah kesepakatan kolektif penggunanya semata.

Tetapi di negeri  rimba raya itu telah membaurkan yang jelas menjadi remang hingga tidak tahu siapa dia sejatinya. Subjek persona yang tidak tersamar itulah yang kini berpembungkus gerakan menjustifikasi LGBT. Sosok makhluk yang genetiknya menjadi abu-abu, dan dianggap lambang kelenturan untuk melawan radikal. Karena laki-laki dan perempuan itu radikal, sementara dirinya adalah moderat, maka radikal harus dilawan.

Pada sisi ini saya teringat bahwa ini bulan Ramadan dan sepengalamanku ternyata inilah bulan yang memberikan laku-laku radikal. Siang yang sedianya makan harus mandeg jegrek tidak mbadog.  Di bulan ini juga ada peristiwa  radikal berupa suatu malam yang sebobot 83-84 tahun, alis malam seribu bulan. Sebuah malam yang radikal dan itu yang dirindu kaum beriman untuk bermunajat.  Maka janganlah mudah “mengepalkan tangan dan menggerakkan telunjuk” soal  radikal. Kini diam-diam dunia sedang menuju puncak radikal, semua bermasker. Ini penanda bahwa bercadar itu benar, bahkan diminta  agar pandemi Covid-19 segera bubar.

 *Sekretaris Badan Pertimbangan Fakultas Hukum, dan Koordinator Magister Sains Hukum & Pembangunan Sekolah Pascasarjana, Universitas Airlangga

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry