“Dari besarnya jumlah anggaran yang dialokasikan untuk Corona inilah kemudian mengundang kritik banyak kalangan. Antara lain karena lemahnya sistem pengawasan.”

Oleh : Mabroer MS, Aktivis Nahdliyin

MEMBINCANGKAN pandemi corona, seakan tak pernah ada habisnya. Ada saja yang menarik untuk diurai dari virus mematikan yang telah menyandang gelar Covid-19 itu.

Mulai dari asal usul virus yang menyebabkan Tiongkok “disomasi” karena dianggap sebagai produsen sekaligus distributor virus oleh sekitar 100 negara anggota WHO, sampai permainan vaksin yang tak kunjung jelas. Tentu, motor penggerak dari somasi itu adalah seteru besarnya, Amerika Serikat dan Australia.

Belum lagi bicara corona dari sisi grafik penyebaran, kematian, PSBB, relaksasi PSBB hingga pengawasan (ODP) yang membangkitkan kembali ingatan kita tentang perilaku rejim Orde Baru tempo dulu dengan Kopkamtib-nya.

Tempo dulu, jangan coba-coba nyinyir kepada penguasa, ‘rasan-rasan’ kecil aja bisa dijemput. Kalau nggak percaya, anak-anak sekarang masih bisa mendengar kengerian itu dari para korbannya.

Namun,  semua itu sudah jadi masa lalu, sehingga harus dimaafkan, kendati tak bisa melupakan. Sejarah kelam itulah yang –antara lain– menghambat Presiden Soeharto untuk mendapatkan gelar Pahlawan Nasional, meski jasa-jasanya terhadap NKRI tak bisa dibilang kecil.

Dalam beberapa hari ini media sosial diributkan oleh rumor tentang ‘mafia kesehatan’ yang melibatkan sejumlah rumah sakit. Rumor itu berkembang dari mulut ke mulut, kemudian ada yang mengangkat ke Medsos, apalagi sebelumnya juga ada kegaduhan di rumah sakit Pancaran Kasih, Menado, kemudian di Sulawesi Utara, dan Gowa Sulawesi Selata.

Kendati kegaduhan itu lambat laun meredup, namun polemik itu juga berakhir tanpa bisa memuaskan kehausan publik.

Dalam suasana itulah, tiba-tiba saya mendapatkan kiriman WA tentang kisah pedih yang dialami sejumlah keluarga yang tinggal di camp karantina.

Kala itu, yang mereka keluhkan adalah soal kebutuhan makanan. Di sebuah lokasi karantina, kawan yang datang dari luar negeri bersama keluarganya itu  menempati ruangan di lantai 2. Sedangkan untuk kebutuhan makanan, akan diantar ke lantai 2.

Ternyata, ketentuan itu tak berlangsung lama karena akhirnya rangsum makanan hanya ditaruh di lantai 1 itu pun berkurang jumlahnya. Kondisi itu tak kunjung berubah hingga dia mengambil jalur lain. Tentu ini cerita dari satu versi, belum tentu cerita itu benar adanya, atau malah sebaliknya. Wallahu’alam.

Cerita kedua tentang nasib pasien yang terpaksa harus menjalani perawatan di rumah sakit. Menurut rumor yang berkembang, keluarga kenalannya ada yang meninggal di rumah sakit bukan karena Covid-19 tapi diperlakukan oleh pihak rumah sakit seperti pasien Corona. Tentu, dengan segala protokol sekaligus konsekuensinya.

Terserah Kalian

Pertanyaan kita, bukankah tidak setiap kematian yang terjadi di rumah sakit itu disebabkan oleh virus Corona? Kenapa mereka harus diperlakukan seperti korban Corona?

Begitu mendengar cerita ini (masih perlu divalidasi bersama kebenarannya,red), kita jadi teringat dengan pengakuan Gubernur DKI Anies Baswedan bahwa ratusan jenazah di DKI yang diperlakukan dengan standart “jenazah Corona”. Semoga ini hanya sebuah ketakutan akibat kelamaan diam di rumah (WFH) belaka, bukan fakta yang sebenarnya.

Bicara tentang rumah sakit,  ada pengakuan dari keluarga seorang dokter di Jawa Timur bahwa saat ini banyak sekali masyarakat yang enggan menjalani rawat inap di rumah sakit. Entah apa sebabnya? Mungkin trauma dengan kisah pasien Corona atau yang lain.

Dalam 2-3 bulan belakangan, ada fenomena menarik bahwa sedikit sekali pasien yang mau menjalani rawat inap, meski seharusnya diperlukan. Bisa jadi, saat ini tak banyak orang berani membezuk, kecuali keluarga terdekat karena ‘corona-phobia’.

Namun, terlepas dari asumsi-asumsi tersebut, ada satu hal yang masih menyisakan tanda tanya besar, kenapa rumor tentang pemberlakuan Protap Corona ini terkesan dikenakan kepada semua jenazah, meski banyak diantara mereka yang tak jadi korban Corona?

Apakan rumor ini ada kaitannya dengan isu yang muncul di Medsos bahwa pasien Corona menjadi salah satu “momentum” bagi sejumlah oknum rumah sakit? Semoga rumor itu bisa diverifikasi secara transparan agar akuntabilitas keuangan untuk Corona ini bisa dibaca oleh publik. Jika tidak, justru bisa menodai bintang jasa yang telah disematkan kepada pahlawan tim kesehatan itu Covid-19.

Kenapa ‘dana Corona’ ini menjadi seksi? Karena negara telah mengganggar angka yang tidak kecil yakni Rp 405,1 triliun melalui Perppu No 1 tahun 2020 tentang Stabilitas Perekonomian di masa Pandemi.

Bahkan, sebetulnya negara tengah bersiap-siap menambah angka tersebut hingga Rp 800 triliun, agar Pandemi Corona segera berakhir dan nasib perekonomian bangsa Indonesia juga segera pulih.

Namun, berbagai kegiatan tersebut sering menimbulkan kecurigaan publik, mulai dari soal kisaran biaya rumah sakit, program recovery ekonomi seperti Kartu Pra Kerja hingga kegiatan lain seperti Bansos yang tak kalah gaduhnya. Dari angka Rp 405,1 triliun tersebut, antara lain difokuskan untuk recovery kesehatan sebesar Rp 75 triliun kemudian untuk penanganan dampak ekonomi sebesar Rp 677,2 triliun, penyediaan jaring pengaman sosial sebesar Rp 110 triliun.

Dari besarnya jumlah anggaran yang dialokasikan untuk Corona inilah kemudian mengundang kritik banyak kalangan. Antara lain karena lemahnya sistem pengawasan, meski sejumlah instansi aparat penegak hukum telah berkomitmen mengawal. Namun, kepercayaan publik sudah terlanjur rontok sehingga sistem pangawasan menjadi hal lain yang tak kalah fundamentalnya.

Hal itu terlihat dari gugatan yang diajukan ke MK terkait Perppu yang dianggap sarat ‘perlindungan’ kepada pemerintah karena kekebalan yang diberikan. Yang lebih fatal lagi, ternyata DPR RI pun ikut larut dan mengesahkan Perppu tersebut menjadi UU sehingga ada sebutan bahwa DPR RI seperti macan ompong  karena menghilangkan berbagai hak dasarnya seperti pengawasan. Terserah kalian lah, kami hanya bisa berdoa, semoga selamat! (*)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry