Agus Wahyudi, SSos, MPd – Dosen PGSD FKIP

SEJATINYA kampus benar-benar merupakan tempat menimba ilmu dan belajar tentang ilmu. Menimba ilmu maknanya menggali sebuah pengetahuan secara mendalam dan radikal (jika istilah filsafat), sehingga seseorang akan mendapatkan akar dari satu cabang ilmu yang dipelajarinya.

Sedangkan belajar tentang ilmu dapat diartikan sebagai aktivitas mempelajari bagaimana sebuah pemikiran dan pengetahuan dengan cara logis, sistematis, dan objektif. Mempelajari bagaimana setiap cabang ilmu itu berhubungan dan saling terkait, serta memberi pengaruh.

Untuk melakukan kegiatan-kegiatan bidang keilmuan pada umumnya kampuslah tempatnya. Kampus adalah lingkungan pendidikan formal yang dikenal oleh seluruh masyarakat dunia. Di sanalah ilmu pengetahuan dilahirkan dan dikembangkan. Mereka yang melahirkan ilmu pengetahuan disebut ilmuan.

Para ilmuan tentu saja berbeda dalam cara berpikir dengan orang awam. Mereka memiliki kecerdasan tertentu dalam melakukan aktivitas berpikir, menganalisa, dan mengkaji terhadap sebuah fenomena atau objek yang mereka lihat dan pelajari. Cara berpikir yang paling dominan dimiliki oleh ilmuan adalah berpikir kritis.

Berpikir kritis artinya memandang segala sesuatunya dengan mempertanyakan kebenaran. Sehingga mereka yang berpikir kritis tidak begitu saja menerima segala sesuatu yang belum jelas kebenarannya atau tidak valid. Para ilmuan akan melakukan cross chek dengan sejumlah pola pikir ilmiah.

Budaya berpikir ilmiah dan kritis sejatinya adalah budaya masyarakat kampus. Dengan karakter ilmuan, warga kampus mesti mengedepankan nalar sahih dalam memandang sebuah peristiwa. Dan daya pikir kritis tersebut merupakan bentuk nalar yang sehat.

Dengan demikian segenap dosen dan mahasiswa sebagai inti masyarakat kampus harus mengedepankan pola pikir kritis. Tradisi ini harus terus digalakkan, ditingkatkan, dan dipertahankan agar kampus sebagai benteng peradaban tetap berdiri kokoh untuk melindungi masyarakat dari kesesatan berpikir sekaligus membawa pencerahan.

Dewasa ini kelihatannya tradisi berpikir kritis mulai terkikis dan hilang dari dunia kampus. Sivitas akademika seakan tidak menghiraukan lagi jati diri mereka sebagai insan berpikir. Termasuk dosen sekarang lebih mudah terpengaruh dan cenderung tidak lagi memiliki prinsip mempertahankan idealisme. Daya pikir kritis memudar seiring dengan budaya pragmatis yang melanda.

Konon lagi warga kampus saat ini telah terlibat pada politik praktis yang kadang-kadang menghilangkan kesadaran berpikir ilmiah dan logis. Demi dukung mendukung, mereka rela menggadaikan martabat ilmuan yang selalu berpikir kritis dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran berdasarkan ilmu dengan sejumlah kenikmatan dan jabatan di pemerintahan.

Kondisi ini kemudian telah mengubah kampus menjadi pabrik-pabrik yang dihuni oleh para robot, dan dari sana pula saat ini memproduksi robot-robot baru yang siap diatur dan didikte oleh sistem kaku dan sedikit menjajah. Bahkan lebih tragis, berpikir kritis di kampus berarti dianggap oposisi.

Perihal matinya tradisi berpikir kritis di dunia akademik telah banyak bukti. Mana kala melahirkan kritik terhadap berbagai kebijakan yang dirasa timpang, maka akan berhadapan dengan hegemoni kekuasaan strukturisasi kaku.

Kasus ini telah banyak memakan korban. Banyak dosen yang telah dipecat oleh oligarki kekuasan perguruan tinggi. Gegara mempersoalkan kebijakan sang pimpinan yang tidak sudi dikritisi. Mereka justru diposisikan sebagai “musuh” akademisi yang sok idealis dan sok suci.

Info Lebih Lengkap Buka Website Resmi Unusa

Kita bisa melacak data ini dengan mudah melalui bantuan teknologi virtual. Maka kita akan menemukan beberapa tindakan rektor, dekan, direktur, dan ketua atau mereka yang berkedudukan sebagai pimpinan perguruan tinggi yang menjadi otoriter dan tiran terhadap dosen-dosen, tenaga kependidikan, staf administrasi, dan pegawai rendah dengan perlakuan tidak demokratis.

Jika mengamati kondisi terkini di mana kubu akademisi diam dan bisu, padahal umat sangat membutuhkan pencerahan dari mereka, maka asumsi bahwa kampus memang telah mati bukanlah asumsi belaka. Tetapi memang benar adanya. Perguruan tinggi telah tiada dalam peradaban ilmu pengetahuan dan pencerahan ummat.

Perguruan tinggi telah berubah menjadi menara gading yang sangat eksklusif dan dihuni oleh kaum borjuis pragmatis. Mereka hanya berdiri sejajar dengan kekuasaan politisi busuk namun murah hati pada soal materi. Jas almamater dan toga kemuliaan telah diganti dengan kekuasaan yang merendahkan.

Inilah tanda-tanda nyata yang patut dicatat oleh mereka pejuang jelata. Tidak perlu lagi berharap banyak bahwa kampus masih bertindak sebagai “matahari” kedua bagi pencerah dalam kegelapan.

Bahkan kampus kini telah bermetaformosa sebagai tempat industri pencetak “robot” bagi kebutuhan pasar. Kampus hampir bukan lagi sebagai tempat mendidik manusia agar menjadi “dewa” dan menjadi orang bijaksana. Wallahu’alam bisshawab. *