Oleh : Adv. Zakaria Nuriman Wanda, S.H.

DIKUTIP dari Detik,com, Kejaksaan Agung (Kejagung) sempat mengembalikan berkas
perkara 4 (empat) tersangka kasus dugaan pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J kepada penyidik kepolisian. Berkas perkara tersebut dikembalikan karena dianggap masih belum lengkap secara formil maupun materiil oleh kejagung untuk diproses lebih lanjut di kejaksaan.

Fenomena pengembalian berkas perkara ini juga direspon oleh Komisi III DPR yang menurutnya hal ini merupakan hal yang wajar dalam proses peradilan. Hal ini membuktikan penegakan hukum pidana atau proses peradilan pidana pra-ajudikasi (pre-adjudication) yaitu pemeriksaan perkara pidana dalam rangka penyidikan yang dilaksanakan oleh Kepolisian dan penuntutan oleh Kejaksaan belum berjalan dengan efektif.

Pasalnya ketidakefektifan itu telah dirasakan oleh para penegak hukum khususnya polisi dalam harus terus membenahi dan melengkapi berkas perkara yang berpotensi terjadi berulang kali hingga memerlukan waktu yg panjang.

Apabila ditelisik lebih jeli, belum adanya peraturan yang spesifik tekait koordinasi
pembebanan berkas perkara dari penyidik kepada penuntut umum yang membuat kejadian pelimpahan berkas secara berulang antara polisi dan kejaksaan tersebut masih sering terjadi.

Telah dijelaskan pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) prapenuntutan Pasal 14 huruf b yang pada pokoknya mengatakan bahwa dalam hal penyempurnaan penyidikan dari penyidik, seorang penuntut umum berwenang untuk mengajukan prapenuntutan jika ternyata penyidikan yang dilakukan masih terdapat kekurangan.

Berdasarkan substansi dari Pasal 110 KUHAP, dapat diketahui bahwa penyidik maupun
penuntut umum harus mempunyai kemauan serta semangat yang tinggi pada proses prapenuntutan. Keduanya tidak diperkenankan untuk mengulur waktu dalam pengembalian berkas ke pengadilan apabila alat bukti serta persyaratan formil dan materiil telah tercukupi.

Penyidikan harus dituntaskan secepatnya dengan skema waktu seminimal mungkin. Perlu diselidiki penyebabnya apabila ternyata masih ada praktek-praktek yang tidak dilakukan dengan segera.

Sejak KUHAP diberlakukan, munculnya masalah-masalah terkait proses prapenuntutan memang kerap terjadi. Hal ini karena tidak adanya penormaan terkait batasan sebanyak apa berkas penyidikan bisa dikembalikan oleh penuntut umum kepada penyidik dalam KUHAP tersebut.

Akibatnya kejadian pelimpahan berkas perkara antara penyidik dan penuntut umum akan terus- menerus terjadi dan tidak akan ada habisnya.

Permintaan penuntut umum untuk dilakukan penyidikan tambahan akibat pendapatnya yang menyatakan berkas perkara belum lengkap dan mengakibakan bolak-baliknya berkas perkara tentunya membuat efisiensi penyidikan berkurang. Pada akhirnya malah terjadi ketidakpastian hukum yang dapat merugikan pihak-pihak yang mencari keadilan.

Fenomena bolak-balik berkas perkara sering muncul dikala terjadi prapenuntutan perkara.
Argumen dari setiap pihak yang dikatakan logis dan bisa dibenarkan membuat saling lempar
berkas perkara sering terjadi, padahal argumen tersebut belum pasti bisa dipertanggungjawabkan.

Penyidik sering kali merasa kesulitan dalam memenuhi perbaikan berkas perkara berdasarkan petunjuk dari penuntut umum. Kesulitan ini mungkin terjadi karena penyidik beranggapan bahwa hal tersebut diada-ada oleh penuntut umum serta sudah berada di luar konteks perkara.

Pengembalian berkas perkara untuk diperbaiki ini sebenarnya memiliki alasan tersendiri
dari, yaitu untuk menguatkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam penyusunan dakwaannya serta mengajukan penuntutan saat sidang berlangsung. Jangan sampai terdapat terdakwa yang bebas, karena jika hal itu terjadi berarti tugas prapenuntutan dikatakan gagal dan penuntut umum dikatakan tidak profesional pada proses penuntutan.

Dalam lingkup hukum, perbedaan penafsiran suatu pasal memang sudah sering terjadi.
Pendapat yang berbeda-beda dari setiap anggota dalam majelis hakim pun bukan hal baru, yang pada ujungnya mengakibatkan dissenting opinion yang selanjutnya dimasukkan pada sebuah putusan.

Begitupun hubungan antara penuntut umum dengan penyidik, saling lemparnya berkas perkara tak lain karena perbedaan penafsiran yang dimiliki keduanya.

Sebenarnya solusi untuk permasalahan berkas perkara pidana yang bolak-balik dilemparkan
sudah ada. Mekanismenya pun sudah disetujui. Jadi jika penyidikan sudah dirasa tidak bisa dikembangkan lagi oleh penyidik Polri, penyidik tersebut bisa mengatakan bahwa penyidikan yang dilakukan telah optimal.

Kemudian penuntut umum dapat melakukan pemeriksaan tambahan sesuai dengan UU Kejaksaan pasal 30 ayat (1) huruf d. Namun praktik dari mekanisme tersebut
belum bisa dilakukan secara maksimal, karena kewenangan penuntut umum dalam melakukan pemeriksaan tambahan dibatasi waktu serta objek pemeriksaannya.

Permasalahan berkas perkara yang sering bolak-balik antara kedua pihak di atas bisa diatasi dengan cara berikut. Ketika penyidikan mulai dilakukan, penyidik sebaiknya segera memberitahu pihak kejaksaan bahwa penyidikan tengah dimulai.

Setelah itu, P.16 akan dikirimkan oleh kejaksaan sekaligus penyampaian informasi bahwa penyidik telah dapat melakukan koordinasi dengan jaksa P.16. Dengan begitu, penyidik pada kasus tersebut bisa secara langsung melakukan koordinasi dengan jaksa P.16 ketika prapenuntutan berlangsung.

Hubungan yang baik sebenarnya bisa tercipta apabila kedua pihak memiliki keinginan dalam
melakukan koordinasi yang baik (yuridis ataupun non yuridis). Semangat koordinasi yang baik antar kedua pihak nantinya bisa menyingkirkan egois masing-masing dan bisa didapatkan satu pandangan yang sama dalam suatu kasus yang dijalani.

Hubungan koordinasi tersebut merupakan
suatu hal yang penting karena dampaknya adalah bagaimana perkara pidana itu ditangani, khususnya di saat proses prapenuntutan. Oleh karenanya suatu sistem integrasi yang menghubungkan penyidik dan penuntut umum saat prapenuntutan harus segera dibangun.

KUHAP sebagai panduan utama bagi para aparat penegak hukum sudah berlaku selama 41 tahun. Oleh sebab itu, besar harapan penyempurnaan KUHAP kedepannya bisa
menghasilkan suatu solusi secara menyeluruh dimana terdapat batasan berapa kali boleh dilakukan pengembalian berkas antara penyidik dan penuntut umum.

Selain itu diharapkan obyek dan waktu pemeriksaan tambahan bisa diperluas lagi kewenangannya agar suatu perkara pidana bisa ditangani dengan tuntas dan optimal. Sampai saat ini, kejadian bolak-balik berkas perkara masih sering terjadi selama syarat formil dan materiil masih belum dikatakan lengkap.

Semangat serta kemauan yang tinggi harus dimiliki oleh penyidik dan penuntut umum. Keduanya juga wajib untuk selalu berani menetapkan apakah suatu perkara harus secepatnya dilimpahkan kepada pengadilan atau dihentikan saja. Jika dihentikan, lembaga praperadilan tentunya masih memiliki alat kontrol demi kepastian hukum yang berlangsung.

*Penulis merupakan Founder & Managing Partners FR Law Office dan Associate di Syaiful Ma’arif & Partners (SM&P Law Office, Advocate and Legal Consultant)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry