Ribut Baidi (dok/duta.co)

Oleh: Ribut Baidi*

Problematika pencemaran dan kerusakan lingkungan di berbagai daerah Indonesia semakin massif dan meluas seiring dengan meningkatnya aktifitas bisnis lingkungan, terutama dari aspek pemanfaatan sumber daya alam (SDA) yang dilakukan oleh para pengusaha, baik individu maupun korporasi. Meskipun, pada satu sisi, aktifitas bisnis lingkungan tersebut menyerap tenaga kerja, tetapi dari sisi yang lain telah menyisakan pencemaran dan kerusakan lingkungan yang tidak sederhana.

Andi Hamzah (2016) menyatakan bahwa problematika lingkungan yang terjadi, salah satunya disebabkan oleh manusia modern banyak merombak alam atau lingkungan sekitarnya yang menjadikan lingkungan tersebut menjadi lingkungan buatan (tidak alamiah). Semakin banyak manusia merombak lingkungan atau sistem ekologis, maka secara otomatis akan timbul masalah lingkungan, seperti halnya menurunnya mutu lingkungan, dan hal itu akan terus berlangsung dari waktu ke waktu jika tidak dilakukan upaya pencegahan dan pemeliharaan lingkungan sedini mungkin.

Konstitusi Indonesia dengan tegas menjadikan lingkungan sebagai bagian dari hak asasi manusia (HAM) yang harus dijaga eksistensinya dari pencemaran maupun kerusakan. Bunyi Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menyatakan: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Frasa ini memberikan makna yang sangat krusial terhadap keberlangsungan lingkungan yang baik dan sehat agar kehidupan manusia, kesejahteraannya, dan juga hak kesehatannya tidak terganggu dan tidak hilang karena lingkungan tercemar dan rusak. Oleh sebab itu, tidak mungkin kesejahteraan manusia akan dicapai dan pelayanan kesehatan yang baik akan terwujud tanpa diimbangi dengan kondisi lingkungan yang baik dan sehat.

Realitas Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan sepanjang tahun 2021 telah terjadi pencemaran air sekitar 10.683 Desa/Kelurahan di Indonesia. Pencemaran air tersebut yang paling dominan terjadi di Jawa Tengah, sekitar 1.310, Jawa Barat sekitar 1.217, Jawa Timur sekitar 1.152, Kalimantan Barat sekitar 715, Sumatera Utara sekitar 673, Kalimantan Tengah sekitar 610, Sumatera Selatan sekitar 440, dan Kalimantan Selatan sekitar 396.

Disamping itu juga, ada sekitar 6.160 Desa/Kelurahan mengalami pencemaran air dari limbah rumah tangga, 4.496 Desa/Kelurahan mengalami pencemaran dari limbah pabrik, dan 27 Desa/Kelurahan dari sumber-sumber lainnya. Selain pencemaran air, ada sekitar 1.499 Desa/Kelurahan mengalami pencemaran tanah, dan 5.644 Desa/Kelurahan mengalami pencemaran udara.

Sejalan dengan BPS, Adi Ahdiat (2022) dengan mengutip catatan laporan EPI (Environmental Performance Index) 2022 menjelaskan tentang kondisi lingkungan di Indonesia tergolong buruk di skala global dan skala regional Asia Pasifik. Indikator riset yang dilakukan EPI terangkum dalam tiga aspek, yaitu: kesehatan lingkungan, iklim, dan daya hidup ekosistem. Indonesia menempati peringkat ke-164 dari total jumlah 180 negara yang diriset. Jika dilihat dalam skala regional, posisi Indonesia berada pada jajaran bawah, yakni di peringkat ke-22 dari 25 negara Asia Pasifik atau peringkat ke-8 dari 10 negara ASEAN.

Berdasarkan laporan tersebut, Indonesia mendapat nilai rendah untuk semua indikator, dengan rincian skor daya hidup ekosistem 34,1, skor kesehatan lingkungan 25,3, dan skor kebijakan mitigasi perubahan iklim 23,2 dari 100.(https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022).

Realitas pencemaran dan kerusakan lingkungan yang terjadi hampir di seluruh titik wilayah Indonesia menunjukkan fakta konkret hubungan manusia dan lingkungan saat ini sedang tidak baik-baik saja, mengalami disharmonisasi, dan disorientasi. Bahkan, dalam pandangan Jimly Asshiddiqie (2016) kerusakan lingkungan akibat ulah tangan manusia telah mencapai titik kulminasi tertinggi. Sederet bencana lingkungan yang terjadi telah menjadi bukti yang tidak terbantahkan bahwa antara manusia dan alam sudah semakin tidak bersahabat.

Hal yang dibutuhkan saat ini adalah munculnya kesadaran lingkungan (environmental awareness) dari semua lapisan masyarakat dan semakin meningkatkan tanggung jawab bersama terhadap masa depan lingkungan di Indonesia, sehingga muncul kesepahaman bersama tentang eksistensi kehidupan manusia tidak akan pernah lepas dari lingkungannya. Meminjam istilah A.M. Yunus Wahid (2018) – manusia dapat menjadi pembina dan pemeliharaan lingkungan, tapi manusia juga dapat menjadi perusak lingkungan. Oleh karena itu, masalah kesadaran lingkungan penting ditanamkan dan ditumbuhkembangkan dalam setiap diri manusia, baik sebagai pribadi maupun sebagai anggota masyarakat.

Pencegahan dan Penindakan sebagai Solusi

Pencemaran dan kerusakan lingkungan di Indonesia yang semakin meningkat sisi kuantitas dan semakin parah dari sisi kualitasmerupakan ancaman serius yang tidak boleh dianggap enteng. Hal urgen yang dibutuhkan saat ini adalah langkah solutif dari pemerintah dengan cara mencegah (preventif) pencemaran dan kerusakan lingkungan, serta adanya penindakan hukum (represif) yang tegas terhadap para pelaku kejahatan lingkungan. Tiga instrumen hukum, yakni administrasi, perdata, dan pidana yang dituangkan dalam UU RI No. 32/2009 tentang PPLH harus betul-betul dijalankanlebih maksimal, terutama dari aspek penegakan hukum pidana yang saat ini lebih digalakkan agar kejahatan lingkungan bisa ditekan seminimal mungkin. Penegakan hukum pidana yang tegas terhadap para pelaku kejahatan lingkungan (individu maupun korporasi), baik melalui sarana UU RI No. 32/2009 tentang PPLH maupun sarana undang-undang bidang sektoral lingkungan lainnya menunjukkan komitmen pemerintah dalam tataran praksis-operasional selaras dengan keinginan masyarakat, terutama yang menjadi korban kejahatan lingkungan (environmental crime victim).

Adalah penting menjadikan instrumen hukum pidana sebagai pilihan pertama (premum remedium) di dalam penegakan hukum, dan bukan dijadikan pilihan terakhir (ultimum remedium) setelah sanksi administratif maupun tanggung jawab keperdataan di tengah problematika kejahatan lingkungan yang semakin akut dan memprihatinkan. Spirit ini harus muncul dari pemerintah melalui aparat penegak hukum yang juga didorong penuh oleh masyarakat agar penegakan hukum pidana yang bertujuan untuk efek jera (deterrence effect) membuahkan hasil maksimal, dan ancaman keselamatan manusia akibat lingkungan yang tercemar dan rusak benar-benar bisa diantisipasi. (*)

*Advokat dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Madura (UIM) Pamekasan, Alumni Magister Hukum Universitas Trunojoyo Madura (UTM) Bangkalan.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry