11 Ribu Triliun rupiah di saku Presiden Jokowi. Lenyap? (ft/youtube)

“Yang berprestasi terlupakan begitu saja. Tidak laku dan tidak viral. Beginilah idola dan pahlawan di era  “post truth“. Ranggawarsita menyebutnya sebagai jaman edan atau jaman disrupsi.”

Oleh : Zulkifli S Ekomei

KEJADIAN pembunuhan Brigadir J yang diduga dilakukan oleh atasan dan komplotannya, menyita perhatian banyak pihak. Ini jalaran  terbongkarnya skenario palsu terhadap kejadian sebenarnya yang, diduga melibatkan banyak personil Polri. Bayangkan, mulai dari Bintara hingga Perwira Tinggi, bahkan oknum-oknum dari berbagai organisasi seperti Kompolnas, Komnas HAM, LPSK dan lain-lain ikut tercemar.

Kejadian ini seolah menjadi puncak gunung es banyaknya kepalsuan di negeri yang didirikan berkat Rahmat Allah dan didorong oleh keinginan luhur para pendirinya.

Lalu, banyak orang teringat kembali skenario palsu kasus pembunuhan di KM 50 enam (6) lasykar FPI yang seolah membuat publik dianggap bodoh semuanya, tidak membaca skenario palsu yang sebenarnya, tidak memerlukan kecerdasan khusus untuk menangkap kejanggalan-kejanggalannya.

Lagi-lagi rekayasa ini melibatkan beberapa perwira yang seharusnya bisa menjadi tauladan dan memberi contoh yang baik pada bawahannya, yunior-yuniornya maupun pada anak-anaknya, sehingga jangan heran, kalau suatu saat kelak akan sulit mencari generasi yang baik, jujur dan berintegritas.

Menariknya lagi, ada narasi yang mengatakan, bahwa, kebohongan yang dilakukan berulang-ulang akan menjadi suatu kebenaran atau dikenal dengan istilah “post truth“. Dunia melihat, menyaksikan fenomena “post truth“, bahwa fakta tidak lagi berpengaruh dalam membentuk opini seseorang, melainkan emosi dan keyakinan personal, maka jangan heran kalau berita bohong menemukan momentumnya saat era “post-truth” ini.

Lihat saja, ada bocah viral di CFW dijadikan Duta Kejaksaan. Tidak penting nyambung tidaknya, atau kompeten tidaknya. Yang penting viral saja. Ada lagi, yang di bawah umur viral nyanyi dangdut koplo dijadikan duta kekayaan intelektual.

Sebelumnya, yang tidak hafal Pancasila malah jadi Duta Pancasila, dan masih banyak kekonyolan lainnya, seolah tak ada hal atau sosok lain yang pantas ditauladani dan terpuji.

Sementara yang berprestasi terlupakan begitu saja, tidak laku dan tidak viral. Beginilah idola dan pahlawan di era  “post truth“. Ranggawarsita menyebutnya sebagai jaman edan atau jaman disrupsi.

Tetapi, bagi yang menjunjung tinggi kebenaran dan berintegritas, tentu, akan menolak pemikiran “gila” dan menolak menjadi pengikut kebodohan-kebodohan di atas.

Kepalsuan dan kebohongan juga tak luput terjadi pada pelaksanaan sistem berbangsa dan bernegara, seperti dikatakan bahwa negeri ini menganut sistem presidensial tapi untuk memilih pejabat eksekutif pembantu Presiden harus melalui “fit and proper test” yang dilakukan oleh parlemen, yang patut diduga terjadi praktek suap menyuap.

Ini terbukti banyak pejabat yang sudah lolos, kemudian dipidana karena terlibat kasus korupsi, suatu hal yang tidak masuk akal, bagaimana mungkin lembaga yang menduduki peringkat tinggi dalam kasus korupsi melakukan pengujian untuk mendapatkan pejabat yang bebas korupsi, lagi-lagi ini pembohongan publik yang nyata dan terang-terangan terjadi.

Situasi kebohongan jika ditilik “flash back” dimulai ketika para begundal asing yang duduk di MPR periode 1999 – 2004 khususnya Panitia Ad Hoc 1, ini beberapa catatan kepalsuan dan kebohongan mereka : Pertama, UUD NRI 1945 atau UUD’45 Palsu bukan hasil dari proses perubahan tapi proses penggantian.

Kedua, untuk memberi kesan bahwa UUD baru ini terdiri dari 16 Bab, padahal sebetulnya cuma terdiri dari 15 Bab, mereka membiarkan Bab IV kosong. Ketiga, untuk memberi kesan bahwa UUD baru ini tetap  terdiri dari 37 Pasal maka banyak pasal yang ditambahi huruf di belakang seperti pasal 20a, 20b, 20c dan seterusnya. Keempat, mereka juga berbohong bahwa UUD yang baru ini ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945, padahal jelas-jelas ditandangani pada tanggal 10 Agustus 2002.

Pertanyaan besarnya: Bagaimana negeri ini bisa mendapatkan Berkah dan Rahmat dari Allah jika aturan dan pelaksanaannya penuh kepalsuan dan kebohongan?

Mari seluruh anak bangsa hendaknya segera bertobat dan memohon ampunan pada Allah Tuhan Yang Maha Adil untuk mengakhiri semua kepalsuan dan kebohongan massal ini.

Kepalsuan dan kebohongan menjadikan nurani tuli akan kebenaran. Laa haula wala quwwata illa billah, sebaik-baiknya yang palsu, masih jauh lebih baik yang asli.

Demikianlah, kopi_kir sendirilah! (*)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry