Tidak bisa disebut kemenangan Islam dan kekalahan nonmuslim. (FT/detak.co)

Oleh: Ach Tijani*

Kontestasi politik ‘maha besar’ setelah Pilpres yang digelar lima tahunan di negeri ini, jatuh pada kontestasi Pilkada di Ibukota Jakarta. Pertempuran politik ‘face to face’ personal Ahok (non muslim) dan Anies (personal muslim) menjadi segmen paling menggairahkan bahkan cukup membuat jagat nusantara ini, berguncang kencang.

Kontestasinya tidak hanya persaingan antarpartai politik sebagai pilihan mesin politik dari dua pasangan kontestan, tetapi terdapat mesin lainnya yang dirasa lebih kuat deru dan nyalanya dibandingkan mesin utama yang biasa menyala pada setiap kontestasi politik. Mungkin pada segmen inilah yang menjadikan kontestasi Ahok vs Anies memiliki predikat prestesius jika dibandingkan dengan persaingan sejumlah cawagub lain di seantero negeri ini.

Pengamatan reflektif terhadap konteks Pilkada Jakarta menempatkannya sebagai kontestasi yang dapat dibilang unik (anomali). Anomali yang dimaksudkan dapat dilihat dari dua sisi yang berjalan berdampingan. Pertama, mesin politik utama, yaitu partai politik tidak memperlihatkan kinerja yang signifikan, bahkan terlalu bersifat normatif belaka.

Kedua, mesin alternatif yang dalam hal ini bisa jadi adalah agama, etnis dan budaya terkesan lebih kencang berderu dibandingkan dari mesin utama.

Namun tetaplah keduanya tidak sedang saling menghilangkan, walau dalam konteks Pilkada Jakarta harus diakui bahwa mesin partai bisa dibilang terdegradasi oleh mesin alternatif.

Fakta dukungan muslim dari luar Jakarta untuk Anies dengan cara menyempilkan sosok personal Ahok sebagai calon nonmuslim merupakan bagian dari deru kencang dukungan bermotif agama. Selebihnya persoalan hukum yang membelit Ahok pada kasus penistaan agama semakin memantapkan bahwa kontestasi politik Pilkada Jakarta memang sangat kental oleh motif agama.

Walau demikian dalam konteks Indonesia dan sistem demokrasi, riak politik di permukaan tidak dapat sepenuhnya dikatakan sebagai bentuk persaingan politik masyarakat muslim dan nonmuslim. Maka kemudian hasil dari pemilu tersebut juga tidak dapat diklaim kemenangan muslim dan kekalahan nonmuslim.

Perbincangan face to face sosok personal dua pasangan yang sedang berlaga juga tidak dapat ditarik dari segmentasi etnis. Untuk itu, lebelisasi Ahok sebagai etnis China dan Anis sebagai pribumi juga tidak dapat ditarik sebagai bagian dari persaingan pribumi dan nonpribumi. Sayangnya segmentasi motif dukungan di luar mesin utama tersebut terlanjur lebih kencang suaranya dibandingkan mesin yang sesungguhnya yaitu sejumlah partai politik pada masing-masing paslon.

Sebagai dampaknya, masyarakat secara umum agak lebih sulit untuk beranjak pada situasi espektasi demokrasi yang sesungguhnya. Di mana pada espektasi dari demokrasi tersebut adalah seluruh rangkaian gagasan yang diperuntukkan bagi rakyat untuk kehidupan yang lebih baik.

Simplifikasi dari espektasi demokrasi tersebut menghendaki agar masing-masing paslon beradu pada program konkret yang akan direalisasikan. Demikian juga partai politik seharusnya juga memberikan dukungan dan sosialisasi yang lebih Indonesiawi serta menghendaki animo demokrasi yang lebih santun.

Namun pilihan-pilihan tersebut tidak terlalu menarik untuk diseriusi oleh masing-masing paslon dan partai pendukung. Dalam hal ini partai dan para paslon lebih tertarik pada deru mesin-mesin di luar partai. Sebagai konsekuensinya jadilah demokrasi yang cenderung berderu kasar tanpa arah dan tujuan yang jelas, kecuali tujuan-tujuan kekuasaan dan menumbangkan lawan.

Arah demokrasi yang tidak kondusif tersebut dibaca dengan apik oleh simpul-simpul kapitalis yang mencoba mengambil keuntungan dari kontestasi demokrasi di negeri ini. Sebagai konsekuensi berikutnya dibuatlah kamuflase ring laga sebelum laga yang sebenarnya.

Pada kondisi inilah paslon dan parpol peserta kontestasi selalu membutuhkan cermin dirinya melalui ukuran-ukuran yang dibuat oleh berbagai lembaga. Secara implisit kontestasi demokrasi di negeri ini masih sangat formalitas belaka bukan bertujuan pada nilai-nilai demokrasi itu sendiri.

Deradikalisasi makna demokrasi tersebut berdampak pada sikap-sikap yang diambil oleh para paslon dan parpol di negeri ini. Atraksi pencitraan diri, sekaligus agresi penghinaan untuk lawan menjadi warna yang tidak dapat dielakkan. Di sinilah keruhnya deradikalisasi makna demokrasi tersebut makin mempersulit para pemilih untuk memantapkan pilihannya. Jikapun dihadapkan pada pilihan yang seakan-akan benar, maka pilihan para pemilih akan jatuh pada pilihan yang dilatarbelakangi segmentasi di luar mesin resmi demokrasi  yaitu motif agama, etnis maupun budaya.

Melihat mesin resmi dan tidak resmi dalam kontestasi politik dan relasinya dengan para pemilih tentu tidak bisa semena-mena dapat kembali menyimpulkan seperti asumsi awal pada tulisan ini yang menempatkan partai politik sebagai mesin resmi yang tidak berfungsi.

Penulis lebih tertarik untuk mengatakan bahwa partai politik lebih memilih langkah efektif dengan menggunakan dua mesin sekaligus. Pada tahap pendulangan suara, parpol akan menghidupkan mesin tidak resminya (suku, agama, ras dan antar golongan) yang bekerja di lapangan, sementara setelah memenangkan kontestasi partai politik akan menghidupkan mesin yang sebenarnya.

Pilkada Jakarta dengan segala hasil kemungkinannya, apakah Ahok menuai kekalahan maupun Anies-Sandi mendapatkan kemenangannya, semuanya merupakan cermin demokrasi yang cukup representatif untuk melihat konsekuensi berikutnya.

Adapun yang harus kita siapkan bukan menerima kekalahan maupun tenggelam dalam euforia kemenangan. Tapi lebih dari itu kita harus menyadari bahwa mesin politik tidak resmi yang berderu kencang selama ini bisa saja padam secara tiba-tiba, lalu kemudian akan berganti dengan deru mesin kepentingan partai yang selama ini berderu kecil tidak terdengar. Selamat berefleksi dan selamat berdemokrasi.

*Penulis adalah Pengurus LAKPESDAM PC NU Kota Pontianak

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry