Oleh: Suparto Wijoyo*
HARI-HARI ini pewartaan yang menyelimuti publik adalah aroma kesakitan, lantas kematian sebagai puncak takdirnya. Pandemi Covid-19 menjadi derap dalam sunyi menghantar banyak orang menuju pemakaman. Kabar-kabar tentang nestapa para penderita lantas memasuki masa kesembuhan, tetaplah bukan hiburan di tengah cengkeraman maut dari kerabat terdekat. Usaha pemerintah sudah sangat besar meski semua menjadi mentah karena korban terus berjatuhan. Antrean menuju liang kubur kerap terdengar. Protokol pemakaman yang menggunakan “uniform spesial” membuat para pelayat tidak jadi melangkah. Kota yang hiruk pikuk ini sejatinya membisikkan kepenatan yang mendalam, dan warga diminta waspada untuk memperjuangkan masa depannya.
Pergolakan mempertahankan hidup hari ini selaksa menjemput kemerdekaan 17 Agustus 1945. Butuh stamina berjuang penuh heroisme untuk sabar menepikan diri di rumah tanpa pendapatan seperti biasanya, sehingga mempertahankan hidup juga adalah tindakan revolusioner. Demikianlah yang Cak Mispon perbincangkan selama pekan ini. Kerabat dan handai taulannya tersiarkan tersengat Covid-19. Komunitas hidupnya menjadi menyempit dan secara pasti berkurang jumlah temannya. Covid-19 mengepung “lahan kehayatan” semua manusia kecuali yang memiliki imunitas berlebih. Dan sebuah koto niscaya harus berimunitas jua agar tidak terhempas “virus zaman” yang menggerogotinya.
Sekarang semua tahu bahwa Surabaya tengah memamerkan auratnya. Apa yang sedang melanda “kota yang warganya banyak terserang covid” ini? Adakah arah sejarah kota ini sedang terputus titik-titik rotasi masanya dalam lingkup yang menggelisahkan? Warga kota merasakan sesak nafas kultural untuk menghelakan desah panjang guna merenungi jalan pengembaraan yang seolah gagal menemukan “tanah harapan”.
Sebuah kota akan berduka apabila “tatanan organiknya” diam seribu bahasa untuk tidak memberikan “pesan-pesan suci” apa pun, selain akting untuk menarik simpati pemilih. Pertanyaan yang segera menggelegak adalah: bagaimana wajah Surabaya masa depan? Tidakkah kota ini gemerlap tetapi kehilangan identitasnya dalam tingkatan yang memilukan? Lambat tapi pasti metropolitan semakin tergerus kepahlawanannya dalam mengenang karakter warganya. Hedonisme telah menyertai dan menguasai hampir seluruh segmen kehidupan kota.
Kota ini laksana “hamparan tanah kosong” yang penuh pengintai. Atau kota ini bagaikan lahan tidak bertuan yang sedang dikangkangi “penguasa di balik kelambu” modal. Mencermati persemaian kehidupan Surabaya seperti membaca kisah “peti mayat tua”. Tatanannya menyuguhkan “jenazah raksasa diformalin” dengan gedung jangkung yang acap membusuk. Kondisi ini jelas menafikan cita dasar konsepsi kota berkelanjutan (sustainable city) yang terus diimplementasikan di banyak tempat. Sungguh, Surabaya dikepung para “gerombolan” yang tidak jelas “asal moyangnya”?
Tengoklah apa yang terjadi di Wonokromo sampai Kenjeran misalnya. Pernahkah kita mendengar lagu bernas indah “… semanggi Suroboyo … lontong balap Wonokromo…”. Ketahuilah bahwa lontong balap Wonokromo telah dimakan “galbo” (hantu). Banyak orang sekarang senang menyebut mau belanja ke “pasar modern” nan online daripada menyapa Wonokromo maupun Ketintang. Lama-lama dikhawatirkan apa yang akan terkonstruksi adalah senandung “hilang sirna kertaning bumi” persis dengan perjalanan panjang Kerajaan (superpower) Majapahit.
Simaklah apa pula yang terjadi di Wonocolo tentang gedung tua yang “dikuliti” yang menemui ajalnya secara telanjang dengan munculnya bangunan baru yang merobohkan situs tuanya. Ada pula penghinaan yang sedang terjadi di belantara Tuguh Pahlawan. Kenyataan kurang sensitif sedang menggelayut di Tuguh Pahlawan. Berdirinya empat patung “Laskar Romawi” yang dengan pongahnya menatap Kantor Gubernur (semoga saja menjadikan para pengantornya ingat bahwa dirinya sedang dalam bayang-bayang adikuasa lain yang “menyergap” Tuguh Pahlawan).
Diawali dari menghapus bangunan pasar tradisional Wonokromo, Pabrik Kulit, pendirian patung “liar” di Kenjeran, lantas menepis kampung di Pakis, dan pada akhirnya adalah Surabaya secara total. Areal Stasiun Semut dan Jembatan Petekan pun tidak mendapatkan perlakuan semestinya. Ini adalah sisi lain pembumihangusan budaya “kreatif” yang menepikan “warna habitat” kota. Mengapa generasi sekarang tampil sedemikian barbar dalam merengkuh “kejayaan” dengan menendang “bola sejarah” pembangun kota. Sudah sedemikian kaburkah pikirannya dalam “menginjak” situs sejarah perjalanan Kota? Lantas siapa diri kita ini, tatkala membiarkan kota dizalimi “penziarahnya” yang tumpul rasa? Ikutilah lagu Indonesia Raya: … bangunlah jiwanya … bangunlah badannya. Sebuah pesan yang mengingatkan atas keunikan-keunikannya. Arek-arek Suroboyo harus menggeliatkan diri menyongsong hati (peduli) kotanya. Segenap bangsa wajib bergerak dalam ritme sejarah yang “hebat” untuk menghentikan “penenggeleman” identitas Surabaya?
Itu semua ulah siapa? Secara yuridis mudah dipahami bahwa perilaku warga kota tidak mungkin terjadi tanpa restu hukum penguasanya? Secara administratif tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) pasti ada pijakan hukumnya, termasuk berupa izin konstruksi. Izin merupakan instrumen hukum (legal instrument) untuk mengendalikan perilaku warga (sturen).
Dari berbagai kasus “penyerobotan kota” niscaya disadari bahwa “pemegang mandat” memanglah menjadi lini terdepan dalam menuntaskan persoalan kota. Ibarat shalat, kota itu mempunyai imam dan kita sedang shalat bersama dalam “masjid besar” Surabaya, Jawa Timur, Indonesia. Bagaimana cara mengingatkan sang imam dan maukah ia membuka diri untuk melakukan penyelamatan dengan “mengembalikan niatnya” sesuai spirit berdirinya? Percayalah, penghilangan “nama-nama tetenger” Surabaya merupakan sebuah pertanda bahwa sebuah kota sewaktu-waktu akan tersengal. Tidak hanya oleh virus corona.
*Sekretaris Badan Pertimbangan Fakultas Hukum, dan Koordinator Magister Sains Hukum & Pembangunan Sekolah Pascasarjana, Universitas Airlangga