Oleh: A.H. Moestofa, M.Pd.

Dalam beberapa waktu terakhir, para guru dibuat bingung dalam mengikuti program pemerintah pasca dikeluarkan rapor hasil UKG (uji kompetensi guru). Bila rapor telah memenuhi kriteria yang ditetapkan, maka modul berwarna hitam dan apabila tidak memenuhi kriteria modul berwarna merah. Apabila terdapat 1–2 modul berwarna merah, guru akan dijadikan calon instruktur nasional. Bila 3–5 modul merah, guru harus mengikuti diklat moda daring. Bila 6-7 modul merah, diklat daring kombinasi. Apabila warna modul merah 8–10, guru harus mengikuti diklat tatap muka.

Hasil UKG tahun 2015 secara nasional masih memprihatikankan karena mayoritas guru mendapatkan skor di bawah 5,5. Bila dilihat dari distribusi daerah ada 59% (305) kabupaten/kota di luar Jawa yang mendapatkan nilai dibawah kriteria capaian  minimal (kemdikbud.go.id, 30/12/2016). Berdasarkan keperihatinan hasil UKG tersebut, mantan Mendikbud Anies Baswedan meluncurkan program guru pembelajar, yaitu program pendidikan dan latihan untuk meningkatkan kompetensi guru. Tujuannya tidak hanya murid saja yang belajar, tetapi guru pun harus aktif belajar.

“Guru jangan hanya berteriak dan protes bila terjadi kelambatan pencairan tunjangan profesi. Guru juga harus bisa menunjukkan pribadi yang dinamis, selalu meng-upgrade ilmunya dengan tulus ikhlas mengikuti diklat guru pembelajar. What do you think?”

Niat mulia pemerintah untuk meningkatkan kompetensi guru tersebut berhadapan dengan kendala besar yang sangat mungkin bisa menggagalkan program itu. Pertama, dana. Untuk mendiklat 2,6 juta guru di Indonesia, diperlukan dana ratusan miliar. Sayangnya, pemerintah pusat hanya mampu mengalokasikan anggaran pelatihan sebanyak satu juta guru. Oleh karena itu, pemerintah pusat mengharapkan partisipasi pemerintah daerah untuk membantu menyediakan dana. Sayangnya, pemerintah kabupaten/kota tidak memiliki anggaran untuk mendukung program diklat bagi para guru. Hal ini disebabkan pemkab telah menetapkan KUA-PPAS (kebijakan umum anggaran dan prioritas plafon anggaran sementara) APBD 2016. Kalaupun mau dimasukkan dalam perubahan APBD, waktunya sudah terlambat.

Kedua, waktu. Diklat guru pembelajar diperlukan waktu yang lama, apalagi yang guru yang modul merahnya 10. Karena tuntutan mengajar minimal 24 jam per minggu atau jam kerja PNS daerah 37,5 jam, hal ini menjadikan guru sulit mengatur waktu. Guru yang terkena diklat tatap muka tentunya akan merugikan siswa karena harus banyak meninggalkan jam mengajar. Sementara guru yang diklatnya moda daring harus menyediakan waktu khusus setelah mengajar. Biasanya, setelah selesai jam kerja (sekitar pukul dua siang), guru sudah lelah dan otak enggan untuk diajak berpikir. Ketiga, ketersediaan perangkat IT. Diklat guru pembelajar yang dicanangkan pemerintah membutuhkan perangkat IT seperti PC atau laptop dan modem. Kenyataan di lapangan tidaklah semanis yang diasumsikan pemerintah bahwa semua guru memiliki PC/laptop dan modem.

Keempat, ketersediaan jaringan internet. Orang-orang hebat yang duduk di jajaran dirjen mungkin tidak pernah terjun ke sekolah-sekolah yang jauh dari kota yang jaringan internetnya masih sulit diakses. Kelima, keterbatasan SDM. Ini adalah kenyataan yang tidak bisa dimungkiri bahwa masih banyak guru yang tidak menguasai IT. Kalau mereka tidak menguasai IT, bagaimana peserta diklat harus download beberapa software dan menginstal di komputer secara mandiri, men-download materi diklat dan meng-upload tugas-tugas yang dibebankan.

Ketujuh, tidak ada reward and punishment. Pemerintah pusat maupun dinas kabupaten/kota tidak membuat aturan yang tegas berkaitan dengan diklat pasca-UKG. Bagi guru yang telah mengikuti diklat tindak lanjutnya apa dan guru yang tidak ikut diklat apa konsekuensinya.

Bila program itu tetap berjalan, pemerintah pusat dan daerah harus membuat terobosan yang cerdas. Tetapi, kalau dihentikan, pemerintah akan menanggung malu karena dianggap plin-plan dalam membuat kebijakan strategis.

Meskipun demikian, ada beberapa hal yang mungkin dapat sedikit membantu pelaksanaan diklat guru agar tidak terkesan sekadar proyek untuk menghabiskan anggaran. Pertama, adanya good will (niat baik) dari pemerintah kabupaten/kota. Mungkin ini adalah ide konyol. Sebagaimana diketahui, bagaimana rumitnya eksekutif mengajukan anggaran kepada dewan. Itu pun kalau eksekutif peduli dengan pendidikan. Diharapkan bupati/wali kota dan DPRD terketuk hatinya dan legawa untuk mengalokasikan anggaran untuk peningkatan SDM guru meskipun terkesan terlambat.

Kedua, memberdayakan peran kelompok kerja guru (KKG) pada jenjang sekolah dasar dan musyawarah guru mata pelajaran (MGMP) pada sekolah menengah. KKG dan MGMP memiliki peran yang sangat penting untuk meningkatkan SDM guru. Dalam forum ini, guru bisa sharing dalam hal pengetahuan dan keterampilan tanpa harus mengeluarkan dana banyak. Oleh karena itu, dalam kegiatan KKG atau MGMP, hendaknya diagendakan segala hal yang berkaitan dengan diklat guru pembelajar.

Ketiga, motivasi belajar guru. Sebaik apa pun program pemerintah untuk meningkatkan SDM guru, bila dalam diri guru tidak ada motivasi untuk menjadi lebih baik, maka sia-sialah program yang telah menghabiskan anggaran ratusan miliar itu. Guru harus memiliki inisiatif untuk menjadi lebih profesional.

Guru jangan hanya berteriak dan protes bila terjadi kelambatan pencairan tunjangan profesi. Guru juga harus bisa menunjukkan pribadi yang dinamis, selalu meng-upgrade ilmunya dengan tulus ikhlas mengikuti diklat guru pembelajar. What do you think?

Penulis adalah Kepala SMP Negeri 2 Kedungadem, Bojonegoro

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry