DITAHAN: Plt Kadinkes Jombang drg Inne Selistyowati resmi tersangka dan ditahan KPK, Minggu (4/2) malam. Inne ditahan di Rutan KPK Kuningan, sedangkan Nyono ditahan di Rutan Guntur. (antara)

JAKARTA | duta.co – Belajar dari kasus Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan empat kelemahan dan potensi penyimpangan pada Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Kelemahan itu pada salah satu mekanisme pembiayaan dalam sistem jaminan kesehatan nasional terhadap Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) yang dikenal dengan dana kapitasi.
Seperti diberitakan duta.co, Plt Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang drg Inna Silestyanti, pihak yang menyuap Nyono, diduga mengutip dana kapitasi kesehatan dari 34 Puskesmas di Jombang. Dana ini digunakan untuk menyuap Nyono.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Senin (5/2), menyatakan, berdasarkan kajian KPK, kelemahan dan potensi penyimpangan dalam FKTP terbagi menjadi empat aspek. Pertama, dalam hal regulasi. Aturan pembagian jasa medis dan biaya operasional berpotensi menimbulkan moral hazard (risiko moral) dan ketidakwajaran.
Kemudian, regulasi belum mengatur mekanisme pengelolaan sisa lebih dana kapitasi di Puskesmas. “Aturan penggunaan dana kapitasi kurang mengakomodasi kebutuhan Puskesmas,” kata Febri.
Kedua, dalam hal pembiayaan. Potensi fraud (kecurangan) atas diperbolehkannya perpindahan peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) dari Puskesmas ke FKTP swasta. Selain itu, efektivitas dana kapitasi dalam meningkatkan mutu layanan masih rendah.
Ketiga, mengenai tata laksana dan sumber daya. KPK menemukan lemahnya pemahaman dan kompetensi petugas kesehatan di Puskesmas dalam menjalankan regulasi. “Proses verifikasi eligibilitas kepesertaan di FKTP belum berjalan dengan baik,” ujar Febri.
Hal lainnya, pelaksanaan mekanisme rujukan berjenjang belum berjalan baik. Sebaran tenaga kesehatan juga tidak merata dan potensi petugas FKTP menjadi pelaku fraud atau kecuranan semakin besar. “Petugas Puskesmas rentan menjadi korban pemerasan berbagai pihak,” ujar Febri.
Temuan keempat, soal pengawasan. Anggaran pengawasan dana kapitasi di pemerintah daerah, menurut KPK, tidak tersedia. “BPJS Kesehatan belum memiliki alat pengawasan dan pengendalian dana kapitasi,” ujar Febri.
Kajian tahun 2014 menunjukkan, BPJS Kesehatan telah menyalurkan sekitar Rp 8 triliun ke sekitar 18.000 FKTP di seluruh Indonesia. Rata-rata setiap FKTP di Indonesia menerima sekitar Rp 423 juta. Angka ini terus bertambah setiap tahunnya.
Saat ini, lanjut Febri, terdapat sekitar Rp 9 triliun dana yang disalurkan BPJS Kesehatan kepada FKTP. Hasil kajian tersebut telah disampaikan kepada pihak terkait.
Pada tahun 2015, KPK memaparkan kembali tindak lanjut kajian tersebut kepada BPJS Kesehatan, Ombudsman, Kementerian Kesehatan, BPKP, dan Ditjen Keuangan Daerah Kemendagri.
KPK berpandangan, mekanisme pengelolaan dana kapitasi perlu terus dijaga agar tidak terjadi penyimpangan dalam pengelolaannya. Hal ini mengingat besaran dana yang dikelola, bervariasinya kompetensi penyelenggara, dan kualitas FKTP kesehatan di Indonesia.
KPK telah mendorong kementerian dan lembaga negara tersebut salah satunya segera melakukan monitoring dan evaluasi khususnya terhadap utilisasi dana kapitasi di Puskesmas.
“KPK juga telah meminta masing-masing pihak untuk menyusun rencana aksi sesuai dengan rekomendasi yang telah disampaikan KPK untuk meminimalkan sumber permasalahan dalam mekanisme pembayaran dana kapitasi ke FKTP, sehingga potensi korupsi yang ada dapat tercegah secara efektif dan efisien,” ujar Febri.
Pada 2015, lanjut Febri, KPK sudah mengirimkan surat terkait rekomendasi pengelolaan dana kapitasi kepada seluruh kepala daerah. Ada beberapa perkembangan yang sudah berjalan baik, salah satunya berhasil mendorong secara aturan untuk mengatur kapitasi Puskesmas berbasis kinerja.
“Harapannya, penghargaan diberikan kepada puskemas sesuai kinerja masing-masing. Namun, sekali lagi formula dan aturan pelaksanaannya ditetapkan Kemenkes,” ujar Febri.

Febri menambahkan, kajian yang dilakukan KPK terkait SJSN ini telah dilakukan sejak 2013 (saat itu masih Sistem Kesehatan Nasional). Kajian yang dilakukan KPK merupakan salah satu upaya dalam pencegahan korupsi dengan melakukan pencegahan dini melalui kajian sistem, sesuai amanah Pasal 14 UU 30 Tahun 2002 tentang KPK. hud, net
Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry