Oleh : Tri Suryaningrum

AIR MATA ini seketika meleleh. Kemenangan tandang perdana (2-3) Persebaya setelah 23 tahun dengan rival bebuyutannya Arema FC, yang harusnya membuat aku bersorak, justru hanya berbalas diam, luruh dalam tangis, meratapi tragedi kelam di Kanjuruhan. Terlalu mahal harga yang harus dibayar dengan 130 nyawa di sebuah laga sepakbola.

Diakui atau tidak, sepakbola saat ini bak magnet. Olahraga satu ini menjadi cabang paling populer di dunia. Penggemarnya mencapai 3,5 miliar atau hampir setengah dari penduduk dunia.

Begitupun di Indonesia, kecintaan pada sepakbola membuat suporter akan bersenyawa, rela ‘menghidupi’ klub-klub kesayangan mereka, dengan membeli tiket, memenuhi tribun, demi cap suporter loyal.

Kemenangan klub kebanggan mampu memberi ‘kesejahteraan emosional’ bagi mereka. Ironis!! Suporter menjadi penyokong finansial klub, yang dengan rela merogoh kocek demi tim kesayangannya.

Tapi ingat! Dukungan itu harus berbalas, semuanya tidak gratisan, klub wajib memberikan kemenangan untuk memenuhi ‘kesejahteraan sosial’ pendukung setianya itu.

Hal itu pula yang tersaji di Kanjuruhan, saat laga Bajul Ijo lawan Singa Edan. Awal kondusif bukan jaminan. Kekalahan menjadikan Aremania, sebutan suporter Arema FC, yang kecewa dengan hasil pertandingan memilih semburat, turun ke lapangan untuk ‘menagih kemenangan’, mencari pemain dan official.

Aparat keamanan berusaha melakukan pencegahan dengan melakukan pengalihan. Sayang upaya gagal, sementara kemarahan suporter makin tidak terkendali. Dan gas air mata pun ditembakkan. Kepanikan menjadi, suporter menumpuk, berdesakan, dan kehabisan nafas. Tragedi menyayat tidak bisa terbendung.

Di tengah situasi ini lantas siapa yang bersalah atau patut disalahkan? Yang pasti ada lima kesalahan yang jadi pemantik kerusuhan dalam laga Arema FC vs Persebaya Surabaya ini. Dan hal itu tidak bisa ditimpakan ke satu pihak saja, melainkan saling terkait, yakni Aremania, apparat keamanan, dan panitia pelaksana (Panpel), yang merupakan bagian dari manajemen Arema FC, Liga hingga PSSI.

Kenapa Aremania? Sudah jelas pelarangan suporter memasuki atau upaya masuk ke lapangan pertandingan, pelemparan benda, bahkan merusak. Memasuki lapangan pertandingan tidak dibolehkan masih ditambah melakukan pelemparan dan merusak.

Lalu bagaimana dengan aparat keamanan? Tertulis di FIFA Stadium Safety and Security Regulations menyebutkan penggunaan gas air mata sebenarnya dilarang. Pasal 19 b) tertulis, ‘No firearms or “crowd control gas” shall be carried or used’. Artinya dilarang menggunakan senjata api atau gas untuk mengontrol kerumunan.

Aparat keamanan salah, walau Kapolda Jatim Irjen Nico Afinta menyebut suporter Arema FC merasa kecewa karena timnya kalah. Dan untuk melampiaskan kekecewaannya itu, suporter turun ke tengah lapangan dan berusaha mencari para pemain dan official Arema FC.

Seingga pengamanan melakukan upaya-upaya pencegahan dan melakukan pengalihan supaya mereka tidak masuk ke dalam lapangan mengincar para pemain. Dalam prosesnya itu, untuk melakukan upaya-upaya pencegahan sampai dilakukan penembakan gas air mata karena sudah anarkis, sudah menyerang petugas, dan merusak mobil.

Begitupun Panpel Arema FC. Panpel seakan tidak menggubris surat edaran dari kepolisian agar tidak mencetak tiket berlebih. Bayangkan tiket yang dijual berjumlah 45 ribu lembar, sementara kepolisian telah mengimbau agar tiket yang dijual sejumlah 25 ribu lembar.

Ditambah permohonan perubahan jadwal pertandingan dari pihak Kepolisian, dari pukul 20.00 WIB ke pukul 15.30 WIB diabaikan oleh Panpel. Padahal perubahan jadwal di pertandingan krusial itu dilakukan demi keamanan. Polisi akan mudah melakukan pengamanan di siang hari di banding malam.

Tapi panpel juga terikat dengan TV pemegang hak siar yang sudah pasti lebih memburu rating daripada keamanan sebuah pertandingan, utamanya suporter.

Disinilah Liga dan PSSI turut disalahkan. Mereka Bersama TV pemegang hak siar hanya sibuk berburu cuan. Terlepas dari kontradiktif rivalitas antarsuporter. Mereka tidak pernah perduli dengan psikologi suporter kita.

Bicara suporter, posisinya sangat sentral. Dia memiliki peran penting dalam laga sepakbola. Keberadaanya bisa menambah motivasi dan semangat pemain saat laga. Namun bisa membuat pemain, klub, bahkan negara merugi, jika fanatisme tidak bisa dikendalikan.

Sudah menjadi rahasia umum para suporter sepakbola Indonesia yang kecewa timnya kalah terkadang membuat rusuh, melempar bom molotov, hingga polisi anti huru hara pun selalu hadir di banyak pertandingan.

Kekerasan di pertandingan sepakbola telah lama menjadi masalah bagi Indonesia. Bak tradisi, karena kerusuhan suporter seolah menjadi hal biasa di tengah persaingan tim-tim besar.

Begitupun aparat keamanan, di tengah ketidakdewasaan suporter seringkali melakukan kebrutalan untuk menertibkan. Demi menjaga kerumunan, sering dengan memukul, menendang, bahkan kali ini menggunakan gas air mata.

Saat seperti ini haram mencari pembenaran sendiri-sendiri. Semua salah! Aparat salah menembakkan gas air mata, suporter juga salah masuk ke lapangan dan membuat keributan, jam penayangan juga salah karena TV pemegang hak siar hanya memburu rating, panpel apa lagi tambah salah, PSSI salah.

Akui saja, ada salah kelola dalam sepakbola Indonesia. Sekali lagi, jangan hanya memikirkan cuan….cuan…..dan…. cuan!!

Saatnya membangun sepakbola Indonesia berprestasi di kancah dunia yang kondusif bagi penikmatnya. Hal itu bisa diawali dari mendewasakan suporternya. Lakukan pembinaan dengan menyertakan hubungan yang humanis. Sehingga tidak hanya konfrontasi semu yang tidak berujung.

Saatnya suporter dewasa dan terdidik, bukan suporter yang membabi buta.
Jangan ada lagi korban nyawa. Atau jika sepakbola ini lebih mahal dibandhing nyawa, mungkin negara ini akan lebih baik memilih hidup tanpa Sepakbola!!!

*Penulis adalah Redaktur di Harian Duta Masyarakat

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry