Oleh: Isbadar Nursit, MPd*

MENTERI pendidikan dan kebudayaan, Nadiem Makarim, mulai melakukan gebrakan dalam dunia pendidikan tinggi. Mendikbud telah meluncurkan program kampus merdeka. Istilah kampus merdeka sendiri seakan menjadi sebuah “proklamasi” yang ingin menyatakan bahwa sudah saatnya pendidikan tinggi Indonesia terbebas dari “penjajahan”.

Istilah kampus merdeka yang dipilih oleh Mendikbud tentu merupakan istilah yang tidak dapat disalahkan sepenuhnya. Istilah “merdeka” dalam kebijakan Mendikbud tidak dapat dimaknai normative semata. Apabila pemaknaan secara normatif atau teks semata maka tentu kebijakan Mendikbud tersebut dapat bermakna bahwa telah terjadi kesalahan kebijakan penddikan tinggi pada periode-periode sebelumnya sekaligus menyatakan bahwa perguruan tinggi berada dalam masa penjajahan.

Pemaknaan atas istilah kampus merdeka harus dimaknai secara kontektual. Yakni disesuaikan dengan kondisi riil perguruan tinggi Indonesia yang masih berjalan lamban ketimbang perguruan tinggi di negara lain termasuk di negara yang lebih kecil dari Indonesia. Apabila pemaknaan secara kontekstual yang digunakan maka istilah kampus merdeka tersebut menemui kenyataan atau kebenaran materiil.

Diakui atau tidak, kondisi perguruan tinggi Indonesia masih berada dalam “penjajahan” tentang hal-hal yang bersifat formalitas dan mengabaikan hal-hal yang bersifat subtansial. Perguruan Tinggi di Indonesia masih sibuk mengurusi urusan administrasi sehingga abai bahkan mengorbankan pembinaan secara utuh terhadap mahasiswa. Proses pembelajaran hanya berbasis dan berorientasi pada pemenuhan tuntutan administrasi seperti pembelajaran diruang kelas dimana hanya sangat rigid pada Rencana Pembelajaran Semester (RPS) dan kurang memberikan keluasan terhadap inovasi-inovasi yang berkembang dalam pemikiran mahasiswa. Sementara para dosen juga mengalami penurunan gairah mendidik karena lebih disibukkan dengan urusan administrasi seperti pemenuhan dan pengisian Beban Kerja Dosen (BKD) demi cairnya tunjangan sertifikasi dosen (Serdos).

Hal yang sangat penting dan banyak menguras energi perguruan tinggi adalah ketika berkaitan atau melaksanakan kerja-kerja demi mengejar peringkat akreditasi dari Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT). Akreditasi merupakan sebuah hasil penilaian yang diburu matian-matian dan diperjuangkan dengan berdarah-darah oleh semua perguruan tinggi di Indonesia baik negeri maupun swasta.

Sesungguhnya, perjuangan mati-matian perguruan tinggi dalam hal akreditasi merupakan suatu hal yang lumrah. Hal ini karena peringkat akreditasi memiliki makna yang cukup penting bagi perguruan tinggi. Pertama, peringkat akreditasi akan membuat nama baik suatu kampus akan semakin bagus sehingga branding imagenya di mata masyarakat bernilai positif. Hal ini tentu akan meningkatkan derajat kampus tersebut ke dalam deretan kampus favorit yang dibanggakan oleh banyak orang terutama oleh calon mahasiswa baru yang akan berlomba-lomba untuk menjadi peserta didik pada perguruan tinggi yang memiliki peringkat akreditasi prestisius.

Kedua, peringkat akreditasi yang bagus tentu akan menjadi legitimasi bagi seluruh civitas akademika di perguruan tinggi tersebut bahwa mereka adalah civitas akademika terbaik di negeri ini dan mampu memenuhi target serta harapan dari pemerintah. Sebab, peringkat akreditasi yang diperoleh merupakan legitimasi yang tidak bisa dibantah oleh siapapun atas capain kinerja civitas akademika perguruan tinggi.

Ketiga, akreditasi juga merupakan bentuk untuk mempertahankan “gengsi” setiap perguruan tinggi dalam pergaulan dengan perguruan tinggi lain. Peringkat akreditasi akan membuat tiap perguruan tinggi lebih percaya diri ketika bertemu atau berhadapan dengan perguruan tinggi dalam momen tertentu. Bersamaan dengan itu, mahasiswa dari perguruan tinggi bersangkutan juga akan lebih percaya diri ketika bertemu dengan mahasiswa dari kampus yang memiliki peringkat akreditasi lebih rendah.

Pentingnya makna akreditasi bagi perguruan tinggi tersebut juga telah membuat berbagai perguran tinggi melakukan hal-hal yang kurang tepat secara moral akademik demi mengejar peringkat akreditasi. Sudah menjadi pengetahuan khalayak umum bahwa setiap mau menjalani proses akreditasi seperti assement lapang maka banyak perguran tinggi berlaku tidak jujur mulai dari hal-hal yang bersifat administratif sampai yang bersifat fisik. Segala sesuatu dikondisikan dengan baik demi mengelabui asesor. Tidak heran apabila kemudian banyak perguruan tingi yang seharusnya tidak mendapatkan peringkat prestisius (terakreditasi A/Unggul) namun malah memperolehnya. Sebaliknya, banyak perguruan tinggi yang lebih baik justru mendapatkan skor akreditasi yang lebih rendah karena saat menghadapi akreditasi tampil apa adanya atau tidak ada yang dibuat-buat.

Ketidakjujuran yang dilakukan oleh perguruan tinggi dalam hal menghadapi akreditasi tersebut merupakan bentuk keterjajahan perguruan tinggi terhadap peringkat akreditasi. Ketidakjujuran yang terpaksa dilakukan demi skor akreditasi merupakan “ketidakmerdekaan” perguruan tinggi. Atau dalam bahasa lain, perguruan tinggi saat ini sudah terjajah oleh proses akreditasi dan abai pada subtansi untuk mencerdaskan segenap tumpah darah Indonesia. Perguruan tinggi tidak dapat memanusiakan manusia lagi dan menyiapkan manusia yang siap memasuki dunia kerja bukan menjadikan manusia Indonesia sebagai sarjana penganguran.

Dari kondisi di atas, kebijakan menteri penddikan melalui Permendikbud Nomor 5 Tahun 2020 tentang akreditasi Program Studi Dan Perguruan Tinggi merupakan kebijakan yang mencoba untuk memerdekan perguruan tinggi dari keterjajahan sistem akreditasi yang berlaku selama ini. Lewat Permendikbud yang diundangkan pada 24 Januari 2020 tersebut, perguruan tinggi tidak lagi harus melakukan re-akreditasi tiap lima tahun. Masa berlaku akreditasi diperpanjang sampai 25 tahun. Bagi program studi yang sudah melakukan akreditasi dan/atau sedang mengajukan akreditasi maka masa berlaku akreditasi berlaku lima tahun kedepan sejak tanggal penetapannya.

Dengan masa berlaku akreditasi yang lama tersebut diharapkan perguruan tinggi tidak lagi menjadi “budak” proses akreditasi yang memakan waktu, pikiran dan finansial yang cukup banyak. Hari ini, perguruan tinggi diharapkan fokus untuk menyiapkan mahasiswa yang siap memasuki dunia kerja.

Pada sisi berbeda, kebijakan Mendikbud tersebut harus dikawal secara sungguh-sungguh supaya tidak menjadi blunder bagi kualitas perguruan tinggi di Indonesia. Kontrol terhadap segala kehidupan perguruan tinggi harus dipantau secara berkala terutama kontrol terhadap out put dan out come pengajaran, penelitian dan pengabdiannya.

*Penulis adalah Dosen Pendidikan Matematika Universitas Islam Malang dan Kepala Bagian Humas Universitas Islam Malang