Kepala Kanwil IV KPPU, Dendy Rakhmad Sutrisno (kanan) bersama Komisioner KPPU, Guntur Syahputra Saragih saat pemaparan kinerja pekan lalu. DUTA/endang

SURABAYA l duta.co – Masalah impor garam masih menjadi perdebatan. Dengan adanya impor, garam petani tidak lagi bisa diserap pasar dan industri. Sehingga harga garam petani harganya turun drastis di pasaran karena stok melimpah.

Hal itu yang membuat Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) Kantor Wilayah IV bergerak. Isi-isu yang terjadi sejak 2019 lalu itu membuat KPPU melakukan investigasi ke lapangan. Karena dikhawatirkan terjadi kecurangan terkait masalah ini.

Kepala Kanwil IV KPPU, Dendy Rakhmad Sutrisno mengatakan pihaknya sengaja turun ke beberapa daerah penghasil garam  di Jawa Timur. Karena Jawa Timur memang dikenal sebagai daerah penghasil garam terbesar di Indonesia.

“Dari lapangan itu akhirnya jadi tahu, mengapa garam kita sangat mahal? Karena biaya produksinya sangat mahal. Tidak efisien produksi garam lokal kita ini. Makanya harus ada edukasi agar bisa mengubah pola produksinya,” ujar Dendy usai pemaparan kinerja KPPU Kanwil IV, Kamis (23/1/2020) sore.

Dendy menyontohkan meja garam harusnya berada di lokasi yang dekat dengan jalan untuk memudahkan transportasi pengangkutan. Jika letaknya di tengah-tengah tambak, maka butuh alat transportasi atau tenaga kerja untuk mengangkutnya ke tepi jalan sebelum diangkut dengan mobil ke pabrik atau gudang.

“Di sini salah satu ketidakefisienan itu. Perlu diubah konsepnya. Kalau harga garam lokal mahal ya karena biayanya mahal. Dan harga mahal itu tidak akan mampu bersaing,” tandas Dendy.

Sementara garam dari luar negeri, harganya jauh lebih murah. Padahal secara kualitas  garam impor itu jauh lebih bagus.

“Kualitas bagus, harga lebih murah. Bisa di bawah Rp 500 per kilogram. Sementara garam lokal mintanya di atas Rp 1.000. Ya mana industri mau menyerapnya. Kalau masih sama-sama mengolahnya, ya lebih baik cari yang murah dan kualitas bagus,” tuturnya.

Karena itu, Dendy meminta semua pihak terutama pemerintah daerah ikut memikirkan bagaimana efisiensi produksi garam ini bisa ditingkatkan. Sehingga bisa bersaing dengan garam impor. “Kalau harga murah, jelas pemerintah tidak akan impor. Impor itu ada karena memang industri pengolahan membutuhkan garam yang harganya bisa bersaing,” tuturnya.

Pada 2020 ini, Dendy dan timnya masih akan melakukan investigasi lanjutan tentang garam ini. Sehingga bisa benar-benar didapatkan penyebab secara lebih mendalam mengapa garam lokal sangat mahal harganya.

Selain garam, KPPU Kanwil IV sepanjang 2019 lalu menerima sebanyak 14 laporan yang ditindaklanjuti.  Dari jumlah tersebut 80 persen didominasi perkara tender dan 20 persen non tender.

“Tahun 2019 KPPU Kanwil IV melakukan penegakan hukum dengan menyidangkan 5 perkara tender dan 2 perkara non tender. Yang perkara tender pembangunan infrastuktur di Kediri sebanyak 4 tender dan semua sudah dilakukan penegakan hukum,” kata Dendy.

Sejak KPPU berdiri 19 tahun lalu, perkara yang ditangani oleh lembaga yang berfungsi sebagai wasit usaha ini didominasi oleh perkara tender. Dikatakan Komisioner KPPU, Guntur Syahputra Saragih, umumnya lebih banyak karena ada persekongkolan tender di berbagai daerah di Indonesia.

Padahal masalah persaingan usaha banyak yang lebih strategis seperti posisi dominan di pasar, hingga kartel yang bisa berdampak luas pada kepentingan publik hingga ekonomi secara luas. end

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry