Dr Suparto Wijoyo

Oleh: Suparto Wijoyo*

TULISAN ini bukan untuk sekmental melainkan pemaknaan fundamen untuk mengerti hidup bernegara yang berpancasila secara jujur di rerimbunan kenegaraan. Tidak manipulasi dan bersiasat seolah paling berpancasila, padahal telah menafikan Pancasila sebagaimana tersepakati secara luhur dalam Pembukaan UUD 1945. Simaklah kahanan saat ini, atau sejak 2016 di kala ada penetapan “ultah Pancasila” melalui Peraturan Presiden (Perpres) No 24 Tahun 2016 Tentang Hari Lahir Pancasila.  Lantas terkuak secara terang-terangan tentang fenomena nan faktual gerakan kaum “mualaf Pancasila” yang mengajari berpancasila dengan pandangan persepsionis sambil menafikan Islam. Renungkanlah bahwa secara substansial: orang Islamlah yang dikonstruksi mampu “berpancasila secara kaffah”.  Pancasila yang   menjadi dasar falsafah NKRI merupakan Pancasila yang bernilai Islami (Piagam Jakarta, 22 Juni 1945, UUD 1945, 18 Agustus 1945, dan UUD 1945 yang berlaku kembali atas kekuatan hukum Dekrit Presiden 5 Juli 1959), bukan Pancasila sebagaimana berlaku di era Imperium Majapahit yang dituangkan di Pupuh 43 (162) Kakawin Desa Warnnana atau Nagara Krtagama karya Mpu Prapanca (1365) maupun pidato-pidato tokoh bangsa Indonesia di persidangan BPUPKI 29 Mei-1 Juni 1945.

Perumusan Pancasila

Perumusan Pancasila sebagai norma hakiki bernegara (staatsfundamental norms) NKRI merupakan kristalisasi pergumulan gagasan dalam Sidang BPUPKI I (29 Mei-1 Juni 1945) dengan tawaran ide dari tiga tokoh penting: (I) Prof. Mr. Muhammad Yamin mencetuskan Lima Asas Negara (Peri-Kebangsaan, Perikemanusiaan, Peri-Ketuhanan, Peri-Kerakyatan, dan Kesejahteraan Rakyat), 29 Mei 1945. (II) Prof. Dr. Mr. Soepomo menggagas negara integralistik, 31 Mei 1945. (III) Ir. Soekarno menyampaikan lima prinsip “Pancasila” (Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau Peri-Kemanusiaa, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Rakyat, dan Ketuhanan), 1 Juni 1945, yang dapat diperas menjadi Tri Sila:  Socio-nasionalisme, Socio-democratie, dan Ketuhanan. Tri Sila ini dapat diperas lagi menjadi Eka Sila, yaitu Gotong Royong: Negara Gotong Royong. Pancasila 1 Juni 1945 terucapkan sebagai Pancasila yang dapat diperas-peras menjadi Trisila dan Ekasila. Paham. Adakah Pancasila kita sesungguhnya Pancasila yang dapat diperas-peras? Inilah yang juga tertuang dalam RUU Haluan Ideologi Pancasila, yang mengobrak-abrik kesepakatan luhur Pancasila yang tidak diperas-peras lagi.

Piagam Jakarta 22 Juni 1945 lahir sebagai kompromi kebangsaan yang digodok dalam “rahim” Panitia Sembilan (Soekarno, Mohammad  Hatta, A.A. Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdoel Kahar Muzakkir, Haji Agus Salim, Ahmad Soebarjo, K.H.A. Wahid Hasjim, dan M. Yamin) dengan rumusan: “…Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan-perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Formulasi Piagam Jakarta 22 Juni 1945 ini dibahas di Sidang Paripurna BPUPKI 10-16 Juli 1945 dan diterima sebagai “Mukadimah UUD” pada 14 Juli 1945. Pada 16 Juli 1945 naskah lengkap UUD diterima bulat BPUPKI untuk selanjutnya pada 18 Agustus 1945 disahkan PPKI sebagai UUD 1945 dengan “modifikasi” akhir: “… Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Dekrit Peneguhan Piagam Jakarta

Dinamika sejarah terjadi sampai keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang tertuang dalam Keputusan Presiden No. 150 Tahun 1959 Dekrit Presiden Republik Indonesia/Panglima Tertinggi Angkatan Perang tentang Kembali Kepada Undang-undang Dasar 1945. Terdapat perumusan: “… Bahwa kami berkejakinan bahwa Piagam Djakarta tertanggal 22 Djuni 1945 mendjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut, Maka atas dasar-dasar tersebut di atas, KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN PERANG Menetapkan  …  Undang-Undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia terhitung mulai hari tanggal penetapan dekret ini dan tidak berlakunja lagi Undang-Undang Dasar Sementara. …”. Atas dasar Dekrit Presiden tersebut, umat Islam memiliki kewajiban hukum menjalankan “sumber hukum nasional” untuk menjalankan syariat Islam yang mengacu kepada Pancasila berdasarkan konstitusi UUD 1945 dengan  Piagam Jakarta yang diyakini  (Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang atas nama Rakyat Indonesia) “menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi UUD 1945”. Logika yuridis-ideologis-konstitusionalis: berkeabsahanlah ekonomi syariah, bank syariah, asuransi syariah, pernikahan syariah, dan sebagaimana dalam konteks menjalankan syariat Isalam di Indonesia. Pada lingkup demikian inilah menjalankan syariat Islam merupakan tindakan  konstitusional yang memperkokoh konstitusionalisme bernegara bagi pemeluk-pemeluknya.

Dinamika Historis

Pada episode selanjutnya bangsa ini disuguhi  tema yang diusung dan didengungkan: “Saya Indonesia, Saya Pancasila”. Suatu narasi penegasan jiwa bangsa dalam suasana rakyat yang secara “patologis”  mengalami distorsi, tengah goyah dan digoyang. Penetapan 1 Juni 1945 sebagai “milad” Pancasila tampak cetho welo-welo memantik problematika, dan dipaksakan (kecuali peringatan Pidato Ir Soekarno 1 Juni 1945).  Skema sosial yang berkembang adalah  kisah  kelindan bangsa yang “adu kuat”. Ada gerakan yang merasa paling sah membopong “catur asasi” (Pancasila, UUD 1945,  Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI). “Nyala lilin” diangkat tinggi-tinggi dengan mengusung citra diri Indonesia banget, sementara “terang obor”  dituding sebagai liyan. Atribut radikal, makar dan intoleran disematkan kepada pencari keadilan, dan penyeru agar hukum ditegakkan.  Putusan hakim mengenai penistaan agama diolok dengan  respon  yang menjumbuhkan antara terpidana dengan negara, walau batas antara keduanya, amatlah terang.

Polarisasi emosi harus dipungkasi. Tidaklah elok merabuki dendam dan kebencian berkepanjangan yang menjurus penggerogotan Perjanjian Luhur Bangsa. Munculnya ungkapan dari  Presiden Jokowi di tahun 2017: “gebuk” (17/5/2017),  sejurus perkataan Presiden Soeharto tahun 1989 dan 1997, sungguh menggumpalkan  ekspresi kegeraman di bentara rakyat yang mengalami kepenatan atas kegaduhan yang terus diunggah. Orang Jawa tahu persis bobot kata gebuk. Istilah ini menyuguhkan ketegasan Presiden menyikapi laku yang melanggar  konstitusi. Siapa  yang abai “catur asasi” mutlak digebuk.  Dan saya setuju,  yang mbalelo terhadap “catur asasi” pantas digebuk.  Adakah berlaku bagi yang berpancasila tidak sebagaimana yang disepakati dalam UUD 1945?

Gebuk yang Memisahkan Negara dan Agama

Terhadap  sosok yang telah bersumpah dengan menyebut “Demi Allah, saya bersumpah” seperti diamanatkan UUD 1945, tetapi “berijtihad” memisahkan agama dari negara, harusnya digebuk, karena mencederai konstitusi. Pasal 29 UUD 1945 menormakan negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan memberikan penghormatan tertinggi pada agama. Bermula dari Pasal 9 UUD 1945, Sumpah Presiden sampai Kepala Desa dilakukan “menurut agama dengan menyebut demi Allah (Tuhan)”, bukan menurut adat dan demi hantu. Berarti memisahkan negara dan agama terpotret inkonstitusional, wajib digebuk. Ingatlah bahwa seluruh sumpah jabatan di Indonesia diperturutkan kepada agama dengan “demi Allah”, bukan “demi selain Dia”. Ini merupakan spiritualisasi jabatan yang berjiwa Pancasila (sila pertama).  Menjauhkan negara  dengan agama adalah perbuatan nastika alias ateis,  tak  percaya,  “tidak meyakini” Pancasila. Bukankah Pancasila menempatkan Tuhan sangat suprematif?  Siapapun yang mengabaikan agama dan bangga menjadi anak komunis, mengacu seruan Presiden: gebuklah.

Kebijakan yang membolehkan minuman keras, melegalisasi pelacuran,  maupun mengembangkan riba, dapat dikategorikan melanggar Pancasila. Demikian pula  memperpanjang “kontrak” korporasi transnasional  yang menguras sumber daya alam Indonesia setengah abad ini, jelas bertentangan dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945: “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Lihatlah  nasib rakyat di daerah kaya tambang, mereka miskin, sementara  perusahaan tersebut bergelimang emas sambil mencemarkan lingkungan.  Membiarkan reklamasi liar dan menafikan areal bekas tambang tetap menganga, mencerminkan peringai nastika yang melecehkan kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial.

Membaca Khasanah Lama

Saatnya kita semua  menggali sebagaimana Bung Karno telah menggali untuk membuncahkan karya bangsa dan menemukan istilah Pancasila dari khasanah literarur lama. Mumpung lagi tahapan Study From Home, negara seyogianya menydiakan referensi tua dalam aplikasi yang mudah diakses. Sudahkah anak-anak kita  membaca kitab-kitab tua sekaliber Siwasasono (1019) dan buku-buku induk yang mengisahkan kehebatan kenegaraan,  seperti karya Empu Kanwa, Arjuna Wiwaha (1030),  Hariwangsa dan Gatotkacasraya karya Empu Panuluh (1125),   gubahan Empu Dharmaja, Smaradhanana (Kidung Cinta) (1125), Bharatayudha gubahan Empu Sedah (1157), sampai pada karya   Nuruddin Ar-Raniri, Bustanul Salatin (Taman Raja-raja) (1640). Bacalah karya-karya mereka untuk menjadi pelajaran dan tanda   tahu diri, bahwa ternyata kita belum mampu menulis karya seperti mereka, termasuk Babad Diponegoro.  Dengan membaca referensi tua dan disambung dengan risalah-risalah persidangan BPUPKI-PPKI sampai pada karya monumental Bung Karno, Di Bawah Bendera Revolusi, dan tulisan M. Natsir, Capita Selecta, berikut Karya Lengkap Bung Hatta, niscaya kita masih sangat berhutang kepada mereka. Pancasila itu sungguh telah melalui tahapan yang diperdebatkan secara rasional dan bukan pemikiran klenik.  Mari ber-Pancasila secara total, body and mind dalam bernegara yang berkonstitusi UUD 1945, sekaligus yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, bukan yang lain.

*Sekretaris Badan Pertimbangan Fakultas Hukum, dan Koordinator Magister Sains Hukum & Pembangunan Sekolah Pascasarjana, Universitas Airlangga

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry