Dari kiri: Gus Yasien, Drs Arukat Djaswadi dan aktivis anti komunis.

SURABAYA | duta.co – Diskusi terbatas perihal terbitnya Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu, Rabu (5/10/22) berjalan dinamis. Acara itu kemudian berlanjut dengan pemutaran flim kekejaman PKI alias G/30/S/PKI.

Bahkan ada kabar, hari ini (Kamis, 6/10), ada diskusi (zoom) yang diprakarasai Tim Pelaksana Keppres 17 Tahun 2022. “Ya, saya mendapat undangan untuk ikut masuk dalam diskusi zoom, besok. Ini harus kita kawal agar tidak hanya menguntungkan keluarga PKI. Justru kita ini korban kebiadaban PKI, kok bisa terbalik. Ibarat perang, kita ini diserang,” jelas Drs Arukat Djaswadi, tokoh anti komunis Jawa Timur.

Semakin malam, acara yang di gelar di kompleks Museum NU Surabaya itu, semakin dinamis. Sejumlah aktivis hadir. Selain mantan aktivis GP Ansor, juga tampak aktivis Pemuda Panca Marga (PPM), Pemuda Pancasila (PP), aktivis dari Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan dan Putra Putri TNI-Polri  (FKPPI).

“Intinya semua menyoal dan menolak terbitnya Keppres 17 Tahun 2022. Apa urgensinya, selain hanya membuka luka lama? Ada yang mendesak segera kita lakukan judicial review atau hak uji materi,” demikian H Tjetjep Mohammad Yasien, yang terdaulat menjadi ketua tim kecil kepada duta.co, Kamis (6/10/2022).

Menurut Gus Yasien, penyelesaian non-yudisial, itu tidak boleh menabrak keputusan tetap pengadilan. Misalnya, soal PKI, ini sudah ada yang teradili. Vonis majelis hakim pengadilan, jelas, bahwa, aktivis PKI telah melakukan pemberontakan. Sampai kemudian perlu adanya Tap MPR segala.

“Ini jangan sampai ternafikan. Artinya, jangan main-main. Apalagi sampai ada rumor pemerintah mau minta maaf kepada keluarga PKI. Kalau itu terjadi, sama halnya membuka luka lama. Sekarang yang (justru) perlu pemerintah jawab, dalam hal ini Komnas HAM, adalah terbitnya Surat Keterangan Korban Pelanggaran HAM (SKKPH) untuk keluarga PKI,” jelasnya.

Masih menurut Gus Yasien, SKKPH yang dulu tertutup, tidak ada yang tahu, karena tidak ada penjelasan pemerintah, sekarang mulai terkuak. Apa yang menjadi kekhawatiran kita, benar terjadi. “Dulu Pak Arukat Djaswadi yang paling lantang berteriak, semua pada diam, sekarang terbukti,” terangnya.

Surati Komnas HAM

Sebagaimana disampaikan mantan tahanan politik (mengaku) korban peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S), Bedjo Untung, dirinya mendesak Komnas HAM untuk segera merampungkan pemberian Surat Keterangan Korban Pelanggaran HAM (SKKPH) kepada jutaan penyintas dan keluarga yang menjadi korban G30S.

Menurut Bedjo Untung, sebagaimana warta CNNIndonesia.com, Kamis (1/10/2020), selain sebagai pengakuan dari negara, surat tersebut merupakan syarat bagi korban untuk memperoleh kompensasi berupa pelayanan medis atau psikososial dari Lembaga Perlindungan dan Saksi (LPSK).

“Saya menuntut dan mendesak Komnas HAM turun ke lapangan memverifikasi korban dan itu langsung diberi surat rekomendasi yang bersangkutan adalah korban pelanggaran HAM berat, itu tidak sulit,” kata Bedjo dalam acara Secret at Newsroom (Setroom) Kamis (1/10).

Nah, tuntutan dan desakan Bejo Untung ini, menurut Gus Yasien, menguatkan kekhawatiran kita, bahwa, secara tersembunyi keluarga PKI mendapat kompensasi. “Lebih dari itu, mereka sudah tercatat sebagai korban G/30/S/PKI. Ini harus terbuka ke publik. Komnas HAM tidak boleh menutupi. Sudah berapa SKKPH ia terbitkan? Kepada siapa saja? Apakah korban HAM berat lain juga dapat santunan? Sudah berapa duit pemerintah terpakai untuk itu? Ini harus transparan,” tambahnya.

Untuk itu, alumni PP Tebuireng, Jombang ini akan segera membuat surat resmi menanyakan perihal SKKPH kepada Komnas HAM. “Saya segera kirim surat, minta semua terbuka untuk publik. Kalau soal SKKPH saja tidak transparan, bagamainana kita mau percaya kepada Keppres 17 Tahun 2022?,” pungkasnya. (mky)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry