JOMBANG | duta.co —  Meski sudah banyak buku menulis tentang Mbah Wahab (almaghfurlah KH Abdul Wahab Chasbullah) , tetapi, faktanya, masih banyak kisah yang tercecer. Demikian disampaikan Wakil Sekjen PBNU H Abdul Mun’im DZ dalam Sarasehan bertajuk “Meneladani Mbah Wahab, Membangkitkan Spirit Perjuangan Lewat Tulisan” yang digelar Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jombang, Rabu (17/3/21) di Pendopo Kabupaten Jombang.

Menurut Cak Mun’im, panggilan akrabnya, terlalu banyak kisah perjuangan para ulama NU, terutama Mbah Wahab (Almaghfurlah KH Abdul Wahab Chasbullah red) yang belum terbukukan. Sejarawan NU asal Jombang, yang sudah puluhan tahun keliling Indonesia ini, banyak menemukan kisah-kisah unik dari pelaku sejarah.

“Memang tidak ada laboratoriumnya. Kalau ingin menggali kisah perjuangan para kiai, terutama Mbah Wahab, harus turun lapangan,” jelasnya.

KH Abdul Wahab Chasbullah, ujarnya, adalah pendiri NU yang tidak gampang menyerah dengan keadaan, terdesak sekalipun. Mbah Wahab selalu menggunakan daya maksimal, dan ini yang selalu diajarkan kepada para santri dan sahabat-sahabatnya.

Cak Mun’im menyebut fragmen sejarah Mbah Wahab pada tahun 2017. Kala itu, menjelang Muktamar ke-4 NU di Semarang tahun 1929, untuk pertama kalinya Muktamar diselenggarakan di luar kota kelahiran NU, Surabaya.

Karena itu maklum kalau perizinan sulit diperoleh dari pemerintah kolonial. Menurut catatannya, menghadapi persoalan ini, Kiai Wahab akhirnya pergi ke Batavia untuk menemui Adviseur voor Inlandsche Zaken (Menteri Urusan Pribumi). Saat itu,  pejabatnya orientalis terkemuka, Van Der Plas. “Mbah Wahab tidak gentar sedikit pun. Bayangkan yang dihadapi petinggi Belanda,” jelasnya.

Mbah Wahab berkomunikasi langsung dalam bahasa Arab, Maklum, Van Der Plas pemilik nama Snouck Horgronye itu, juga pernah menduduki posisi Snouck sebagai wakil Belanda di Jeddah, dan jago berbahasa Arab.

Unik. Dan ini menjadi salah satu bukti, betapa sakti Mbah Wahab. Alkisah, ketika beliau menemui Van Der Plas di rumahnya di Jl. Cikini No 12 Menteng, Batavia (Jakarta), eh tiba-tiba harus berhadapan dengan anjing besar.

“Mbah Wahab disambut seekor anjing herder besar yang galak dan siap menerkam siapa pun yang datang. Ini tidak ada dalam literasi. Saya dapat cerita ini dari seorang kiai. Katanya, anjing Van Der Plas  itu besar sekali,” jelas Cak Mun’im sambil tangannya memperagakan.

Namun anehnya, anjing herder yang biasanya galak, tiba-tiba jinak di depan Mbah Wahab, aneh. Padahal itu kali pertama Kiai Wahab menemui Van Der Plas. Anjing herder ini kemudian dielus dan digendong masuk menemui sang tuannya. “Padahal kita semua tahu, anjing ini najis mugholadoh, Tetapi Mbah Wahab tidak canggung,tembahnya.

Sontak saja, Van Der Plas kaget dan terharu melihat Kiai Wahab membawa anjing kesayangannya, sehingga menaruh simpati besar pada Kiai nyentrik ini. Penyambutan yang dilakukan pun istimewa dan penuh keramahan.

Almaghfurlah KH Abdul Wahab Chasbullah. (FT/IST)

Dengan menggunakan Bahasa Arab dan Melayu, Kiai Wahab dan Van Der Plas bercengkrama layaknya sahabat lama yang baru bertemu kembali, sembari ditemani kopi dan rokok Eropa. “Di sini Mbah Wahab berhasil menyampaikan pesan-pesan penting perihal Muktamar NU yang ke-4 di Semarang, Jawa Tengah,” urainya.

Tak kalah menarik, kisah heroik Mbah Wahab saat berhadapan dengan Musso dan Aidit, keduanya gembong PKI. Ini disampaikan Cak Anam (H Choirul Anam). “Dalam berbagai literatur sejarah disebut Musso sebagai jagoan pencak dan suka berkelahi. Badannya tinggi besar. Ia sempat dibuat emosi oleh Mbah Wahab saat debat tentang adanya Tuhan,” jelas Cak Anam.

Sebagai seorang atheis, lanjutnya, Musso tentu tak percaya Tuhan. Perdebatan makin seru dan menjurus kekerasan, karena Musso sendiri dikenal temperamental. Semua yang menyaksikan perdebatan pun, menjadi was-was. Musso lalu menantang gelut. Tetapi, Mbah Wahab yang juga pendekar  berpikir lain, tak ada gunanya melanjutkan diskusi.

Mbah Wahab bukannya takut, karena beliau ini pendekar silat dan pernah menaklukan 3 atau 4 penyamun yang tubuhnya jauh lebih besar dari Musso ketika melakukan perjalanan angker antara Makkah dan Madinah sekitar tahun 1920-1925.

Tetapi, tantangan gelut Musso ini langsung disambar Tanfidziyah NU pertama, Haji Hasan Gipo, lelaki yang juga dikenal jagoan. Karena urusan keyakinan, Hasan Gipo menantang Musso untuk bersama-sama menghampiri jalan kereta api Surabaya-Batavia di dekat Krian (antara Surabaya-Mojokerto).

Tak tanggung-tanggung, tantangan Hasan Gipo. ketika kereta api ekspres berjalan kencang, keduanya harus siap batang lehernya ditaruh di rel kereta api untuk digilas lokomotif serta seluruh rangkaian kereta api hingga tubuh mereka hancur berkeping keping.

“Tapi, Musso yang tidak berTuhan ini, menyerah, takluk. Ternyata takut juga. Inilah hebatnya kiai-kiai NU dulu. Tidak tahu, apa sekarang masih ada kiai yang pemberani seperti itu,” pungkas Cak Anam. (muh, net)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry