Pondok Pesantren Annuroniyah tepatnya di RT/RW 1 Dusun/Desa Sumbertlaseh Kecamatan Dander(duta.co/rheino)

BOJONEGORO | duta.co -Berbekal rumah kayu sederhana ukuran 5 X 10 meter dari pembelian mertua di 2015, dalam waktu empat tahun sudah mampu membangun pondok pesantren. Nyaris tidak terlaksana, karena khawatir tidak disetujui keluarga. Ternyata malah mendapatkan restu dengan baik untuk tetap membangun pondok pesantren.

”Rumah pembelian mertua langsung diwakafkan untuk pesantren dan di 2015 itu saya kedatangan satu santri saja,” kata KH.M.Abdul Kholiq Munir, Kamis (5/12/2019).

Pria kelahiran 3 September 1974 dan yang masih cucu dari Mbah Kiai Abu Dzarrin itu menceritakan, kemudian lima bulan datang tujuh santri hingga di akhir 2019 ini telah mencapai 100 santri. Untuk sementara waktu, tidak menambah jumlah santri, dikarenakan telah sesuai dengan ketersediaan asrama santri di pondok pesantren yang diberi nama Annuroniyah.

Menuju lokasinya, berjarak 2 KM arah selatan dari Kota Bojonegoro. Tepatnya di RT/RW 1 Dusun/Desa Sumbertlaseh Kecamatan Dander. Desa yang dikenal sebagai kampung santri itu terdapat sembilan pondok pesantren. Termasuk yang tertua Pondok Pesantren Abu Dzarrin, pengasuhnya Mbah Kyai Abu Dzarrin telah wafat di 1958. Meski dekat kota Bojonegoro, topografi Desa Sumbertlaseh terdiri dari persawahan. Masyarakatnya pun ramah.

“Saya membangun pondok pesantren ini juga dari nasehat ayah saya, Mbah Kiai Ahmad Munir Adnan. Sudah wafat di 2002, beliaulah yang menyuruh saya untuk mondok dan tidak boleh di sekolah umum. Hingga saya membangun pondok pesantren ini, saat saya mondok dulu beliau selalu memberi semangat saya untuk mondok dan dibilangnya mondok itu sangat bermanfaat untuk kehidupan,” terangnya.

Dia selalu terkenang, saat tempat untuk ngaji belum ada bangunannya, bersama santrinya langsung menuju masjid untuk belajar ngaji. Sekalian menunaikan Sholat Magrib. Berlanjut malam hari dan menunaikan Sholat Isya. Termasuk untuk tidur santri yang tempatnya sangat sederhana dan sering santri tidur di halaman asrama yang dulunya belum layak ditempati.

“Alhamdulillah, dengan keterbatasan. Saya bersama santri hingga saat ini masih dapat ngaji,” jelasnya.

Jalan dakwah yang ditempuh, tidaklah semudah yang dibayangkan. Niat baik tak selamanya dianggap dan diterima dengan baik. Terbukti, pernah juga menerima santri yang belum sehari sudah balik ke rumahnya dikarenakan tidak kerasan. Sebaliknya juga ada santri yang tidak mau pulang ke rumah, padahal pendidikan umumnya telah dinyatakan lulus oleh pihak sekolah di luar pondok pesantren.

Pernah juga dialami, yakni kedatangan calon santri yang menderita gangguan jiwa. Tak pikir panjang KH.M.Abdul Kholiq Munir menolak dan menyarankan kepada pengantar calon santri untuk menempatkan di pondok yang merawat gangguan jiwa tersebut.

Sering juga saat mendapatkan santri yang tidak kerasan dan mengatakan pondok pesantrennya tidak megah.  Mendapat perlakukan demikian tak menciutkan semangat. Dia justru semakin tertantang. Dia memotivasi diri, pasti ada kemudahan di balik kesulitan.

“Karena Allah semua ini terjadi, keluarga akhirnya menerima saya dengan baik. Santri yang disini, hampir dari semua kecamatan di Bojonegoro dan Tuban juga dipercayakan ke saya untuk ngaji,” katanya.

Kini setelah empat tahun berjalan, Pondok Pesantren Annuroniyah telah berdiri. Di atas tanah yang dulunya hasil pembelian dari mertua dan diwakafkan, kini sudah berdiri bangunan permanen sebagai asrama santri.

Cita citanya, selain ingin membangun pendidikan berbasis pesantren dengan berbagai program anjuran pemerintah, dia juga ingin mengembangkan lebih baik lagi tentang pendidikan non formal dan formal.

Diakhir wawancara, dia berkeyakinan penuh kepada Allah dan keyakinan itulah yang dapat merubah sulit menjadi mudah, yang sukar menjadi gampang dan yang tidak mungkin menjadi mungkin. rno

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry