KH M Hasan Mutawakkil Alallah (kiri/FT/detik.com) dan Dr H Muhammad Hidayat Nur Wahid, Lc, MA.

SURABAYA | duta.co – Wakil Ketua MPR RI, Dr H Muhammad Hidayat Nur Wahid, Lc, MA menolak disebut orang pertama yang memunculkan istilah JAS HIJAU (Jangan Sekali-kali Menghilangkan Jasa Ulama) sebagaimana isi pengantar rubrik ‘Kolom’ duta.co bertajuk  ‘JAS HIJAU’ karya Kamarudin, edisi 13 September 2021.

Menurut HNW, panggilan akrabnya, ungkapan itu awalnya disampaikan oleh beberapa pengurus Nahdlatul Ulama (NU). “Hanya saja, saya berkali-kali mengatakan, mendukung dan ikut mempopulerkan istilah JAS HIJAU dengan perluasan makna ‘Hijau dan Ulama’. Di mana faktanya, sangat banyak (ulama) yang sama-sama berjuang untuk Indonesia,” demikian HNW yang juga anggota Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Dalam pengamatan duta.co, tahun 2017, tepatnya 17 Oktober 2017, 19:10:11 WIB, Ketua PWNU Jatim, KH M Hasan Mutawakkil Alallah (kala itu) sudah menulis di Kolom ‘sudut pandang’ jawapos.com. Kiai Mutawakkil memakai judul  ‘Jas Hijau dan Jas Merah’ (https://www.jawapos.com/opini/sudut-pandang/17/10/2017/jas-hijau-dan-jas-merah/)

Menurut Kiai Mutawakkil, Islam memiliki dimensi zamkaniyah (zaman wa makan) yang jauh dari keberadaan kita. Dari dimensi zaman (waktu), Islam sebagai sebuah ajaran agama, muncul dan berkembang lebih dari 14 abad yang lalu.

Dari dimensi makan (tempat), Islam turun di tempat yang sangat jauh dari posisi kita di Indonesia. Intinya, Islam memiliki dimensi tempat dan waktu yang jauh dari kita di Indonesia saat ini.

Ingat Hasihat Bung Karno

Pertanyaan penting bagi al faqir (Kiai Mutawakkil), tulisnya, bagaimana ceritanya Islam menjadi agama mayoritas di negeri ini? Bagaimana kisahnya hingga Islam bisa menjadi napas kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia ini?

Tentu jawabannya harus dicari dan, tidak mudah kita memperolehnya tanpa mengajukan pertanyaan tambahan: Lantas siapa yang membawa Islam ke negeri ini? Siapa yang menyebarkan Islam di negeri Indonesia ini?

“Tidak mungkin Islam datang dengan sendirinya atau tiba-tiba menjadi agama mayoritas bangsa ini. Padahal, bangsa Indonesia sendiri memiliki latar belakang etnis beserta kultur yang berbeda-beda. Tentu semua itu karena jasa-jasa para ulama,” tulisnya.

Para walilah, tambahnya, yang menyebarkan Islam di negeri ini. Para ulamalah yang berkontribusi besar pada dakwah Islam di negeri ini hingga Islam menjadi agama mayoritas bangsa ini. “Bayangkan jika tidak ada ulama. Tidak ada wali. Tidak ada mereka semua. Tentu mustahil kita bisa menikmati Islam seperti saat ini,” urainya.

Karena itu, menurut Kiai Mutawakkil, zalim rasanya jika kita menghilangkan jasa ulama. Karena itu pula, sesungguhnya tidak berbudi orang atau kelompok yang menghilangkan jasa ulama. “Kita bisa menikmati kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang sejuk dan penuh kedamaian juga bukan perkara mudah,” tegasnya.

Dalam tulisan tersebut, Kiai Mutawakkil juga mewanti-wanti, jangan sampai mengabaikan jasa ulama. Dan, jangan sekali-kali (pula) menghilangkan kontribusi mereka untuk negeri ini. Di sinilah patut kita hargai jargon Jas Hijau (Jangan Sekali-kali Hilangkan Jasa Ulama).

“Pada titik ini saya kemudian teringat nasihat dan ungkapan Presiden Soekarno saat berpidato di depan sidang MPRS pada 17 Agustus 1966 yang menyebut Jas Merah (Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah dan Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah),” jelasnya. (mky,jawapos.com)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry