Prof Dr H Rochmat Wahab. (FT/IST)

SURABAYA | duta.co – Nahdlatul Ulama (NU) telah berusaha berkembang sedemikian rupa, namun belakangan ini belum in line (sejajar) dengan nilai-nilai Khittah 1926 NU. Akibatnya, NU belum sepenuhnya menunjukkan tawasuth (di tengah), tasamuh (toleran), tawazun (seimbang), dan i’tidal (tegak lurus) secara optimal.

Demikian pandangan Prof Dr H Rochmat Wahab, Ketua Komite Khitthah Nahdlatul Ulama 1926 (KKNU 26), sebuah gerakan moral untuk mengingatkan PBNU yang lahir atas inisiasi almaghfurlah KH Salahuddin Wahid (Gus Solah), cucu hadratussyaikh almaghfurlah KH Hasyim Asy’ari, salah satu pendiri NU.

“Memang, faktanya, NU kadang tidak berada di tengah. Tidak tegak lurus. Akhir-akhir ini, NU justru ‘miring kiri’, cenderung dekat kelompok ke-kiri, seperti tampil di tempat ibadah maupun di luar tempat ibadah. Kadang kala toleransi dimaknai berlebihan, sebagian orang menyebutnya cenderung musyrik. Ini harus menjadi perhatian bersama,” tegas Prof Dr H Rochmat Wahab kepada duta.co, Ahad (19/12/21).

Menurut Prof Rochmat, kita memang harus bisa menjaga sikap social, terutama dalam hidup bertetangga, bermasyarakat dan di tempat kerja. Baik dengan seluruh umat beragama, apa itu Kristen, Katolik, Hindu dan Budha.

“Demikian sebaliknya, kepada sesama muslim juga harus baik, torleran. Ironisnya, kadang, atau bahkan seringkali kita tidak bisa akrab, atau kurang harmoni dengan saudara sesama Islam, misalnya dengan saudara di Muhammadiyah, Persis, maupun Al Irsyad dan lain-lain. Padahal mereka itu setauhid. Mereka ini keluarga, kita bisa bersama-sama ibadah di haramain (Masjidil Haram dan Masjid Nabawi) tanpa ada benturan sedikitpun dengan saudara seiman,” tegas Ketua PWNU DIY periode 2011-2016 ini..

Nah, lanjut Prof Rochmat, melalui Muktamar ke-34 NU, ini harus menjadi momentum meneguhkan ukhuwwah basyariyah, ukhuwwah wathaniyyah dan ukhuwwah islamiyyah.

“Maka, jika terjadi perbedaan di antara jamaah nahdliyyin, seharusnya kita sikapi dengan penuh respek, termasuk dengan ummat lainnya. Sehingga semakin kokoh rasa kesatuan dan persatuan. Ajak semua ummat nahdliyyin dan nahdliyyat yang potensial untuk besarkan jam’yyah NU,” sarannya.

Saling Bersinergi

Apalagi, tegasnya, dewasa ini ada kecenderungan bahwa collective intelligence lebih effetif daripada individual intelligence dalam menghadapi persoalan hidup yang semakin kompleks. Sehingga pendekatan multidisipliner, interdisipliner dan transdisipliner lebih penting dari pada pendekatan monodisipliner.

“Maka, untuk menjadikan NU mandiri, dan mampu membangun peradaban, maka, mengawali Abad kedua kehadiran NU di tengah percaturan dunia ini, sangat diperlukan kesadaran bersama. Baik NU struktural maupun NU kultural, untuk saling membesarkan dan memajukan NU. Seperti institusi pendidikan formal dan pendidikan nonformal NU, harus saling bersinergi, sehingga mampu hasilkan insan dan ummat nahdliyyin yang bermutu dan bermartabat sehingga mampu menghadapi tantangan jaman,” pungkasnya. (mky)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry