Inayah Wulandari Wahid (kanan) bersama para pembicara dalam acara Kajian Titik Temu di Aula Garuda Mukti Kampus C Universitas Airlangga (Unair), Rabu (20/11). DUTA/endang

SURABAYA l duta.co – Perbedaan sudah menjadi ciri khas Indonesia. Justru perbedaan itulah yang harus menjadi kekuatan bukan malah menjadi penghancur keutuhan negara.

Karena berbeda itu, maka semua hal yang berbeda agar bisa ditoleransi demi kesatuan. Jangan sampai yang berbeda akan dicaci, dimaki, dihina bahkan disingkirkan.

Hal tersebut diungkapkan anak Abdurrahman Wahid, Inayah Wulandari Wahid dalam acara Kajian Titik Temu di Aula Garuda Mukti Kampus C Universitas Airlangga (Unair), Rabu (20/11).

Inayah mengatakan jangan sampai Indonesia ini seperti Korea Selatan atau Korea Utara, yang ingin selalu sama.

“Korea Utara dan Selatan itu berbeda jauh. Satu modern, satu terbelakang. Tapi, keduanya itu memiliki persamaan yakni sama-sama seragam. Kalau Korea Utara seragam karena dipaksa pemerintahnya, Korea Selatan itu ingin sama walau tidak ditekan siapa-siapa terutama dalam hal kemiripan wajah,” ujar Inayah yang disambut tepuk tangan dan tawa peserta seminar.

Inayah menceritakan bagaimana dia saat bertandang ke Korea Utara. Negara sosialis yang sangat tertutup. Tidak ada sambungan telepon, penerangan terbatas, internet juga tidak ada, pendatang tidak boleh bergaul dengan orang lokal dan sebagainya.

“Orang Korea Utara itu, dari cara berpakaian juga sangat ketinggalan zaman. Bayangkan di Korea Selatan, sangat modern. Kata teman saya, keduanya bertolak belakang, tapi sama-sama ingin seragam itu,” tukasnya.

Menjadi seragam di Indonesia kata Inayah tidaklah bagus. Tapi terkadang menjadi berbeda itu juga selalu banyak tekanan. Seperti dirinya yang banyak tekanan karena tidak menutup aurat padahal anak seorang kiai besar  yakni Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.

“Saya ditekan di mana-mana. Anak kiai tidak pakai jilbab. Bahkan ada yang bilang ughty tolong auratnya ditutup ya sekadar mengingatkan. Apakah Indonesia akan menuju ke sana? Menyeragamkan semuanya? ya tidak bisa,” tukasnya.

Justru kata Inayah, demokrasi berjalan dengan baik di Indonesia ini karena adanya perbedaan.

“Jadi jangan diseragamkan. Masih banyak yang perlu dilakukan dan dibenahi selain masalah perbedaan ras, agama dan budaya. Ada masalah stunting yang perlu diatasi, masalah pendidikan yang perlu dibenahi dan banyak lainnya,” tukasnya.

KH Ahmad Ishomuddin, Rois Syuriah PBNU dalam kesempatan yang sama mengatakan Pancasila tetap harus menjadi pemersatu bangsa. Berbeda-beda yang terjadi di Indonesia memang harus bermuara pada Pancasila.

Sehingga masyarakat tidak perlu melakukan hal-hal yang bisa memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa.

“Seperti misalnya melontarkan kata-kata dengan membandingkan presiden dan nabi. Itu sudah tidak selevel. Itu sudah bertentengan dengan sila ketiga Persatuan Indonesia. Karena bagi mereka yang tersulut masalah ini bisa melakukan perlawanan,” jelasnya.

Sementara itu, Rektor Unair  Prof. Dr. Mohammad Nasih mengatakan, Unair sebagai kampus yang ramah dan inklusif terhadap semua golongan. Unair, kata Nasih memfasilitasi mahasiswa dari semua kalangan dan golongan. Salah satunya lewat kajian ini.

“Harapannya, kegiatan ini dapat terus dilakukan, karena yang ingin kita jaga adalah peningkatan value bagi mahasiswa. Kita bangun bersama kampus yang ramah dan toleran sehingga menghasilkan iklim yang membangun bagi masa depan Indonesia,” ungkapnya.

Acara yang digagas Nurcholish Madjid Society ini bagian dari program Nurcholish Madjid Society merupakan inisiasi Cak Nur (Nurcholish Madjid, Red).

“Kami membuka dialog ini untuk mendorong manusia Indonesia agar lebih banyak mendengar dan terbuka terhadap perbedaan,” ujar Omi Komaria Nurcholish Madjid selaku Dewan Pembina Nurcholish Madjid Society. end

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry