Keterangan gambar kompasiana.com

“Tetapi, jika tidak bisa dan tidak mau diselesaikan secara baik-baik, maka GP Ansor kala itu mengeluarkan semboyan “Kepruk dulu urusan belakang”.

Oleh: Choirul Anam*

SEBAGAIMANA tertulis dalam banyak buku sejarah, pada era 60-an, PKI mengadakan penyempurnaan sistem organsasi onderbouw agar lebih efektif dan ofensif bagi menunjang misi politiknya. Setelah menata SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia), maka giliran BTI (Barisan Tani Indonesia) yang kala itu dipimpin Sudjarwo dari PNI, harus dijadikan 100% sebagai onderbouw PKI, dan berhasil.

Setelah itu, PKI menerjunkan sektar 4-5 ribu kader untuk turba—turun ke bawah—guna mempelajari psikologi para petani di desa-desa dengan menjalankan Aksi Tiga Sama—“sama tinggal, sama makan, dan sama bekerja”. Aksi Tiga Sama ini kemudian berhasil menyusun manual (buku pegangan) yang berisi cara-cara mendekati para petani di desa-desa.

Selain itu, juga diterbitkan buku pegangan kader PKI berjudul “Kaum Tani Mengganyang Setan-setan Desa”. Dalam buku itu dijelaskan, bahwa “setan desa” adalah musuh petani yang harus dihancurkan. Ada tujuh “setan desa” terutama dari kalangan kiai dan ulama desa yang oleh PKI digambarkan sebagai tuan tanah jahat. Lalu tengkulak jahat, pengisab darah rakyat, penguasa jahat, bandit desa, tukang ijon, dan penghalangan kemajuan rakyat desa.

Dengan taktik semacam itu, PKI seolah membela kepentingan kaum tani sekaligus menghancurkan pengaruh kiai/ulama di desa-desa. Selain itu, juga dimaksudkan untuk memperoleh dukungan angkatan muda non-santri dan mematahkan kekuatan ormas partai-partai Islam yang ada di desa-desa.

Dan dalam usaha menarik hati angkatan muda di desa-desa itu, PKI menggunakan ormas onderbouw Pemuda Rakyat (PR), Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) di samping BTI, yang telah mendapat keuntungan dengan dikeluarkannya undang-undang baru, yakni: Undang Undang Pokok Agraria (UUPA) dan Undang Undang Bagi Hasil (UUBH).

PKI menjadikan kedua UU tersebut sebagai fokus kegiatan membela (baca: menghasut) petani. PKI berkata kepada para petani bahwa kedua UU tersebut tidak akan terealisasi jika massa angkatan muda di desa-desa tidak memilih tokoh PKI menjadi pemuka kampung atau lurah/kepala desa.

Lebih tegas lagi, PKI/BTI mengatakan bahwa pelaksanaan UUPA dan UUBH harus didobrak. Kader PKI pun langsung menghasut petani untuk langsung menggarap tanah yang menurut UUPA adalah milik kaum tani. Aksi mendobrak inilah yang kemudian disebut “Aksi Sepihak” PKI.

Akibat dari aksi-aksi sepihak di beberapa tempat, tidak jarang terjadi konflk dan konfrontasi fisik yang membawa korban, baik di kalangan rakyat maupun dari kalangan pejabat. Bahkan sering pula terjadi perlawanan dari angkatan muda santri (Marwati Djoened Poesponegoro-Nugroho Notosusanto: Sejarah Nasonal Indonesia VI, 2008).

Salah satu contoh, aksi sepihak PKI yang terjadi di karesidenan Kediri, Jawa Timur. Seperti diceritakan Abdul Hamid Wilis, Ketua GP Ansor, Trenggalek, kala itu, aksi sepihak di wilayahnya dimulai sejak tahun 1963/1964. Situasi politik, ekonomi, sosial, budaya, di wilayah karesidenan Kediri benar-benar kacau. Bahkan lebih kacau jika dibanding dengan prolog Pemberontakan PKI di Madiun 1948. Semua kekacauan itu, sengaja diciptakan dan dilakukan secara terang-terangan oleh ormas onderbouw PKI seperti BTI, PR, Gerwani dan Lekra.

Dalam aksi sepihak, PKI selalu menghasut petani dengan tiga sasaran: Pertama, pembagian hasil panen antara pemilik sawah dan penggarap (buruh tani) tidak lagi menurut tradisi yang berlaku, tetapi secara sepihak penggarap mengambil separuh (50%) dari hasil panen. Kedua, penggarap dianjurkan menggarap tanah milik orang lain, yang dinilai melebihi ukuran luas menurut UUPA. Ketiga, petani dianjurkan membuka lahan hutan untuk ditanami tanpa harus mendapat izin Mandor atau Manteri hutan.

Tiga slogan pertanian itulah yang ditanamkan ke dalam pikiran para petani di desa-desa. Selain itu, PKI juga menciptakan istilah-istilah menantang, seperti misalnya: Kapitals Birokrat, Kaum Borjuis, Antek Revolusi, Kontra Revolusi, Lima Setan Kota, Tujuh Setan Desa. Dan istilah-istilah itu diagitasi dengan kata pembuka “Ganyang”.  Maka timbullah gesekan-gesekan, dan konflk-konflik serta konfrontasi antar sesama anggota masyarakat yang semula hidup rukun, damai, bekerja bersama gotong royong menurut tradisi yang berlaku.

Para pemilik tanah/sawah di desa-desa, yang umumnya bergelar Haji, Kiai atau tokoh masyarakat nasionalis (PNI), menjadi gerah dan bahkan banyak yang ketakutan menghadapi aksi sepihak PKI. Karena pada umumnya, para penggarap yang mengambil hasil panen, atau yang mengambil dan langsung menanami tanah/sawah milik juragannya yang dianggap melebihi ukuran luas UUPA, selalu ditemani puluhan bahkan ratusan massa PKI yang tak mau kompromi. Mereka melakukan aksi dengan teriak-teriak “ganyang setan desa” sambil mengacung-acungkan cangkul dan arit.

Dan jika pemilik tanah berani mengadang, pasti terjadi benturan fisik hingga banyak korban berjatuhan. Dan itu terjadi di daerah karesidenan Kediri yang meliputi Kabupaten dan kota Blitar, kabupaten Tulungagung, Nganjuk, kabupaten dan kota Kediri, dan kabupaten Trenggalek. Sehingga, ormas angkatan muda onderbouw NU Trenggalek seprti GP Ansor, Fatayat, IPNU, IPPNU, segara melakukan konsolidasi untuk menyikapi aksi sepihak PKI. Sarekat buruh NU (Sarbumusi) dan Lembaga Seniman dan Kebudayaan Muslimin Indonesa (Lesbumi) NU, juga ikut memperkuat gerakan Pemuda Ansor menghadang aksi sepihak PKI.

Prinsip yang ditanamkan dalam konsolidasi ormas pemuda onderbouw NU kala itu adalah, “memihak kepada kebenaran dan keadilan, serta tegaknya hukum dan perundang-undangan”. Prinsip itu harus dilakukan secara baik-baik, berunding, musyawarah secara kekeluargaan sesama anggota masyarakat. Tetapi, jika tidak bisa dan tidak mau diselesaikan secara baik-baik, maka GP Ansor kala itu mengeluarkan semboyan “Kepruk dulu urusan belakang”.

Setiap aksi sepihak PKI selalu kocar-kacir karena diadang Ansor. Ada kejadian menarik menyangkut aksi sepihak pembukaan lahan hutan di walayak perhutani Trenggalek, di Munjungan, Panggul dan Watulimo. Ratusan massa BTI beserta anak dan istri mereka langsung membabat hutan untuk lahan tanaman dan pemukiman dengan membawa peralatan lengkap berupa golok, kelewang, cangkul, arit dll. Pihak perhutani (Mandor dan Mantri) lari ketakutan.

Lalu BTI meminta didatangkan pejabat tingkat kabupaten baik dari Front Nasional, Front Pemuda, Orpol dan Ormas untuk memeriksa secara on the spot di tengah hutan. Dan BTI sudah mengatur strategi, jika para pejabat datang langsung dikepung dan dipaksa untuk mengeluarkan izin pembukaan lahan. Mereka berdalih kelaparan, butuh makan dan lahan garapan.

Mendengar kejadian itu, GP Ansor Trenggalek pimpinn Mas Hamid, langsung meminta rombongan pejabat untuk tenang karena Ansor siap mengawal. Di tengah perjalanan, rombongan dicegat pihak kepolisian DPKN (Djawatan Polisi Keamanan Negara) untuk tidak meneruskan pengecekan ke tengah hutan.

Menurut pihak kepolisian, jika diteruskan pasti terjadi bentrok fisik yang mungkin banyak korban jatuh. Karena BTI akan mengepung dan tidak akan melepas sampai dikeluarkannya izin pembabatan lahan hutan. Mendengar kekhawatiran pihak kepolisian itu, Mas Hamid langsung menegaskan “Ansor yang bertanggung jawab. Ayo kita berangkat ke lokasi.”

Setiba di tengah hutan, Mas Hamid langsung berteriak: “Mana pimpinan BTI-nya. Kalian membabat hutan tanpa izin itu salah. Ayo maju kesini, saya jelaskan,”teriak Mas Hamid yang ternyata membuat massa BTI lari tunggang langgang. Lalu rombongan dari kabupaten yang sudah berada di tengah hutan, kembali pulang ke kota Trenggalek.

Tidak hanya itu. Ketika peringatan hari buruh 1 Mei 1964, di panggung resepsi dipasang gambar Karl Marx dan Frederick Angel berukuran besar, GP Ansor langsung bertindak menurunkannya. Juga ketika di kecamatan Kampak ada pesta ketoprak Lekra dengan lakon “Rabine Gusti Allah”—Gusti Allah Kawin, GP Ansor dan Lesbumi pimpinan Arifin Efendi langsung menyergap para pemainnya. Terjadi perkelahian seru sampai kemudian para pelaku berhasil ditangkap, lalu diserahkan kepada polisi dengan tuduhan penghinaan dan pelecehan agama.

Berhubung banyaknya aksi sepihak PKI yang memerlukan tampilnya GP Ansor untuk melakukan aksi tandingan, maka Muhammad Zainuddin Kayubi (biasa dipanggl M.Z. Kayubi) selaku Ketua KORDA (Kordinator Daerah) GP Ansor Karesidenan Kediri, segera menggelar konferensi daerah guna membentuk pasukan gerak cepat paramiliter, yang kemudian disepakati bernama PANSER (Pasukan Ansor Serba Guna).

Tetapi setelah dikonsultasikan dengan pihak kepolisian Resort Blitar, disarankan tidak menggunakan istilah “pasukan”, karena kata “Pasukan” sudah digunakan di lingkungan ABRI. Akhirnya disepakati menggunakan kata “Barisan”, maka lahirlah BANSER yang pada 24 April 1964 di kukuhkan oleh Ketua Umum PBNU, Dr KH Idham Chalid, dengan melantik BANSER Blitar dalam upacara Harlah Gerakan Pemuda (GP) Ansor Jawa Timur( Abdul Hamid Wilis: Aku Menjadi Komandan Banser, Membela Pancasila Menumpas G 30 S/PKI, Trenggalek, 2011).

Nah, jadi, barisan paramiliter BANSER itu lahir untuk mengimbangi/menandingi aksi sepihak PKI yang pada umumnya meresahkan ummat Islam. Dan juga untuk membela dasar negara Pancasila, sekaligus menumpas G 30 S/PKI. Luar biasa hebat BANSER kita dulu bro! Terus tugas BANSER sekarang apa? Tenang dulu, mungkin mereka masih sibuk nonton film G 30 S/PKI versi baru. (bersambung)

*Choirul Anam, adalah Pendiri dan Penasehat PPKN (Pergerakan Penganut Khitthah Nahdliyah). Pembina GERAK (Gerakan Rakyat Anti Komunis) Jawa Timur.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry