“Sejak zaman Presiden Soekarno hingga Presiden SBY, mekanisme konstitusi dalam setiap menentukan APBN selalu dijunjung tinggi—sebagai perwujudan ketaatan pemerintah terhadap konstitusi negara.”

 Oleh: Choirul Anam*

SETELAH melihat protes keras terhadap UU Pelemahan KPK, hingga menelan korban jiwa dua orang mahasiswa. Lalu Perpres No. 60 Tahun 2020 tentang “Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Jabodetabek”…, yang juga menimbulkan penolakan masyarakat lantaran membuka peluang dibangun kembali pulau reklamasi buat China overseas. Kemudian gejolak para pakar hukum dan ahli pertambangan terhadap revisi UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba (Mineral dan Batubaru), yang dituding berkhianat terhadap Pembukaan dan Pasal 33 UUD 1945.

Disusul lagi Perppu Nomor 1 Tahun 2020 yang disetujui DPR menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020 tentang “Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sstem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19”, atau lebih dikenal dengan sebutan UU Corona. Yang oleh banyak tokoh bangsa, di antaranya Prof. Din Syamsuddin, dinilai dan diduga kuat merupakan “extra ordinary crime against the state, against the nation and against the people’s—kejahatan luar biasa terhadap negara, bangsa dan rakyat Indonesia.”

Betapa tidak luar biasa? Mekanisme konstitusi yang seharusnya ditempuh dalam setiap menentukan dan menetapkan besaran APBN, kini—pada pemerintahan Presiden Jokowi– tidak diperlukan lagi. Tiga fungsi utama DPR: anggaran, legislasi dan pengawasan, dibabat habis dan diamputasi sendiri oleh DPR. Fungsi lembaga negara lainnya, seperti fungsi pengawasan BPK, fungsi penegakan hukum dan kekuasaan kehakiman seperti MK dan MA, juga dipangkas melalui UU Corona ini.

Para pejabat eksekutif, kini bebas menentukan anggaran dan menggunakannya sesuka hati. Tanpa perlu persetujuan DPR dan pengawasan lembaga negara lainnya. Juga tidak perlu khawatir terkena jerat hukum. Karena, dalam UU Corona, sudah dipasang pasal imunitas yang menyatakan, bahwa penentuan dan penggunaan APBN secara tunggal oleh pemerintah (tanpa mekanisme konstitusi) itu, bukan merupakan obyek gugatan hukum baik perdata, pidana maupun TUN.

Sejak zaman Presiden Soekarno hingga Presiden SBY, mekanisme konstitusi dalam setiap menentukan APBN selalu dijunjung tinggi—sebagai perwujudan ketaatan pemerintah terhadap konstitusi negara. Tapi bagi periode kedua Presiden Jokowi, mekanisme konstitusi itu tidak diperlukan lagi karena (mungkin saja) dianggap terlalu birokratis dan justru tambah ribet.

Tindakan pemerintah semacam itulah yang, oleh banyak tokoh kritis, di antaranya Marwan Batubara dan Ubedilah Badrun, dinilai sebagai “kejahatan konstitusi terfatal, dan kejahatan rezim eksekutif-legislatif secara sistemik yang dibingkai legislasi”.

Apapun komentar orang, pengesahan Perppu menjadi UU Corona telah membuktikan kehebatan Jokowi. Betapa hebat dan perkasanya Presiden Jokowi, tanpa kontrol dan pengawasan DPR maupun lembaga negara lainnya, bisa menentukan sendiri besaran APBN dan penggunaanya sesuka hati. Sudah begitu kehebatannya, masih juga dijamin kekebalan diri terhadap jerat hukum baik perdata, pidana maupun TUN.

Bukan hanya itu. Parpol pun baik partai pendukung maupun lawan politik dalam Pilpres 2019, berbondong masuk ke kubu Jokowi. Hanya PKS yang konsisten menolak Perppu yang disetujui DPR menjadi UU Corona. Karena delapan fraksi DPR pun bertekuk lutut di hadapan yang mulia Presiden Jokowi. Sampai-sampai mantan Menko Perekonomian di era Presiden Gus Dur, Dr. Rizal Ramli, kehabisan kata-kata. “Mohon maaf teman-teman DPR, Anda sungguh sangat memalukan,”ujarnya menahan geram.

Kini giliran RUU HIP (Haluan Ideologi Pancasila) yang diusung PDI Perjuangan, juga menuai protes keras masyarakat. Terutama setelah disahkan menjadi UU HIP inisiatif DPR dan didukung penuh semua fraksi, kecuali PKS dan fraksi Partai Demokrat. Gelombang unjuk rasa pun terjadi di mana-mana. MUI, Muhammadiyah, NU dan elemen masyarakat lainnya menolak UU HIP dan mendesak pemerintah maupun DPR untuk membatalkannya.

Puncak penolakan terjadi pada Kamis, 16 Juli 2020. Ratusan ribu massa mengepung gedung DPR, mendesak lembaga legislatif itu membatalkan dan mencabut UU HIP dari Prolegnas. Massa menuding UU HIP makar terhadap Pancasila. Dasar Negara yang terdiri lima prinsip akan diperas menjadi Trisila dan Ekasila, sekaligus melenyapkan prinsip ketuhanan.

Itulah dirty tricks politik PKI atau KGB (komunis gaya baru). Apalagi pengusung HIP menolak memasukkan TAP Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI dan larangan ajaran komunisme di tanah air. Maka jangan salahkan rakyat, jika kemudian menuding UU HIP berbau komunis.

Ketum PDI-P Megawati Soekarnoputri merasa kesal dituduh PKI. “Ngapain jaman segini orang masih ngomong PKI…PKI…PKI. Buktikan dong! ‘kan ada aturannya. Jangan hanya (ngomong) untuk membohongi rakyat. Lama-lama saya kesal,” katanya saat peresmian kantar DPD dan DPC Partai, 28 Oktober 2020, yang disiarkan secara virtual.

Mana ada orang menuduh bro? Rakyat menolak UU HIP itu fakta. Karena ada bahaya, ada ancaman pemerasan terhadap Pancasila menjadi Trisila dan Ekasila. Sekaligus melenyapkan prinsip Ketuhanan YME—sebagaimana anjuran Marx dan Lenin. Bukankah Bung Karno telah mengingatkan: JASMERAH—jangan sekali-kali melupakan sejarah.

Bung Karno sendiri, menurut penjelasan Prof. Mahfud MD atas nama pemerintah, “pada akhirnya menerima Pancasila yang lahir atau ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945.” Tapi kenapa UU HIP memakai Pancasila pidato Bung Karno 1 Juni 1945?

Lebih lanjut, Mahfud MD menjelaskan, RUU BPIP sebagai pengganti UU HIP. “Pasal 1 butir 1 RUU BPIP menegaskan Pancasila adalah Pancasila sebagaimana dilahirkan atau ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945,” tegas Prof. Mahfud dalam helat ILC (Selasa, 29 September 2020).

Nah, apakah PDI-P tetap ngotot Pancasila pidato Bung Karno 1 Juni 1945, karena sudah dilegalkan Jokowi dengan Kepres No. 24 Tahun 2016 tentang Harlah Pancasila? Ingat Jasmerah bro! Jangan sekali-kali mengubah sejarah hari lahir Pancasila.

Dan jangan salahkan rakyat yang siap menjaga Pancasila, bila kemudian menganggap pengesahan RUU HIP menjadi UU adalah upaya makar neo-PKI. Juga jangan merasa kesal, jika sampai hari ini banyak orang percaya “85% PDI-P isinya adalah kader PKI”. Bukankah kalimat itu, seperti dikatakan Prof. Yusril Ihza Mahendra, merupakan salinan dari yang tertera dalam buku Ribka Tjiptaning Ploretariyati?

Siapa pula Ribka yang menulis buku berjudul “Aku Bangga jadi Anak PKI” itu? Bukankah dia politisi PDI-P? Dan siapa Eva Sundari yang mengakui telah mengirim beberapa angkatan kader PDI-P untuk latihan bersama dengan PKC (Partai Komunis Cina atau CCP—Chinese Communist Party) di Tiongkok? Bukankah Eva itu juga poltisi banteng?

Ketum PDI-P juga jangan sembarang ngomong: hari-hari gini ngapain orang masih ngomong PKI…PKI…PKI. Sekali lagi, ingat Jasmerah! Ideologi tidak akan pernah mati, selagi penganut dan pemujanya masih hidup. Marxisme, Leninisme, Komunisme masih terus bergerak dengan segala ragam bentuk. Komunisme internasional sudah bubar, sudah tidak ada lagi negara di dunia menganut Marxisme, Leninisme. Slogan itu memang sengaja “didoktrinkan” oleh para pendukung rezim berkuasa saat ini.

Cobalah tengok dan dengarkan baik-baik video pendek Prof. Amien Rais, yang ditujukan kepada saudara sebangsa dan setanah air. Tokoh politik senior ini terang-terangan mengatakan: ada fenomena memprihatinkan bagi banyak kalangan yang berpikir kritis dan mengikuti perkembangan komunisme internasional, terutama yang paling mutakhir. Mengapa?

“Mereka prihatin karena banyak tokoh pendukung rezim berkuasa yang berusaha meyakinkan masyarakat, bahwa seolah-olah  PKI sudah mati dikubur. Komunisme sudah tidak laku lagi. PKI sudah jadi hantu. Juga tidak ada lagi negara yang masih menerapkan komunisme, marxisme, dan leninisme,” kata Prof. Amien dalam video yang sudah lama viral.

“Para komunis malam itu berupaya meyakinkan masyarakat bahwa komunisme sudah menjadi bagian sejarah masa lalu”. Mereka lupa bahwa di zaman internet sekarang ini, seluruh informasi global di bidang apa saja dengan sangat mudah dapat diakses setiap orang. “Mereka jadi buta bahwa RRC, yang jadi junjungan para oknum rezim Pak Jokowi, pada hakekatnya merupakan komunisme paling dahsyat sekarang di muka bumi,”tandas Prof. Amien sembari menambahkan: “dulu Mao Zedong memaksakan Marxisme sebagai ideologi tunggal RRC”.

Maka sekarang ini “Xi Jinping, penguasa puncak dan penguasa tunggal RRC, yang jadi presiden sekaligus Sekjen PKC, telah mengeluarkan Xi Jinpingisme. Di antara 14 butir ideolog Xi Jinping, disebutkan bahwa PKC memegang kekuasaan mutlak atas tentara/militer Cina PLA (People’s Liberation Army—atau Tentara Pembebasan Rakyat), dan mengukuhkan jabatan Xi Jinping sebagai penguasa tunggal Cina seumur hidup,” kata Prof. Amien.

“Keputusan itu diambil melalui Kongres PKC pada 2017, dan sekaligus menekankan bahwa Cina harus melaksanakan nilai-nilai asasi dari marxisme, komunisme dan sosialisme. Walaupun ada embel-embel sesuai ciri-ciri Cina,”tandas Amien Rais sambil menambahkan “marxisme, komunisme dan sosialisme masih menjadi rujukan baku RRC.” Lantas bagaimana dengan kampanye komunisme sudah bubar, dan tidak ada lagi komunisme di muka bumi ini?

“Oknum-oknum rezim Jokowi sedang menipu rakyat Indonesia, ketika mereka menyatakan bahwa sudah tidak ada lagi komunisme di muka bumi ini. Dan juga tidak perlu khawatir neo-PKI akan muncul lagi. Alasan mereka, karena tidak ada lagi negara yang menganut marxisme, leninisme dan komunisme. Itu bohong besar,” tegas Prof. Amien sambil mengutip David Satter, jurnalis intelektual, dan guru besar Universitas Indiana, Yale dan Hawai, Rudolph Joepeh Rummel, yang mengungkap kejahatan komunis internasional membantai ratusan juta manusia.

Bukan hanya Prof. Amien Rais saja yang menceritakan fakta historis komunis Tiongkok, yang menjadi junjungan rezim berkuasa saat ini. Banyak pihak baik sipil maupun militer yang meyakini “kejahatan rezim eksekutif berkolaborasi dengan rezim legislatif yang dibingkai regulasi”, terutama menjelang dan di musim pandemi Corona ini, merupakan dirty tricks politik neo-PKI atau KGB yang berkiblat pada negara komunis paling dahsyat sekarang ini (bersambung).

*Choirul Anam, adalah Pendiri dan Penasehat PPKN (Pergerakan Penganut Khitthah Nahdliyah). Pembina GERAK (Gerakan Rakyat Anti Komunis) Jawa Timur.