Keterangan gambar (IST)

“Sebagai polisi pengayom masyarakat yang bertanggungjawab terhadap keamanan dan ketertiban wilayah, naluri Sukitman langsung bergejolak. Ia dan rekan jaganya, Agen Polisi Tingkat II (AP II) Sutarso, segera membagi tugas.”

Oleh: Choirul Anam*

“JANGAN Sekali-kali Melupakan Sejarah”. Itulah pesan Bung Karno. Wal tandhur nafsun ma qaddamat li ghad—perhatikan sejarahmu untuk hari esokmu (al-Hasyr:18). Tanggal 30 September (G30 S/PKI) dan tanggal 1 Oktober (Hari Kesaktian Pancasila), wajib ditonton dan diperingati serta diketahui oleh seluruh masyarakat bangsa Indonesia, terutama generasi  mudanya. Mengapa?

Karena pada tanggal 30 September 1965 atau GESTAPU (Gerakan  September Tiga Puluh)–nama gerakan PKI itu—tapi praktiknya dilakukan pada hari Jum’at, 1 Oktober 1965 pukul 04.00,  adalah gerakan penculikan dan pembunuhan terhadap 6 (enam) Jenderal Senior TNI AD.

Keenam Pahlawan Revolusi itu, setelah disiksa secara keji dan biadab oleh sejumlah Pemuda Rakyat dan Gerwani sambil berteriak-teriak: ganyang kapbir, bunuh kapbir, lalu diseret dan dibuang ke dalam sumur tua di kawasan Lubang Buaya, Pondok Gede, Halim, Jakarta Timur.

Itulah sejarah kelam bangsa Indonesia yang wajib diketahui dan diperingati. Sebuah peristiwa bersejarah, kejam dan berdarah yang dilakukan PKI untuk mengganti Pancasila dengan Komunis. Menggantikan lambang burung Garuda dengan Palu Arit. Tetapi gagal! “Jangan sekali-kali melupakan sejarah”, karena KGB (Komunis Gaya Baru) saat ini sudah mulai bangkit kembali. Dulu memang gagal, dan 6 (enam) jenderal senior yang dibunuh secara biadab pun segera ditemukan.

Semua itu bisa diketahui dengan cepat berkat kesaksian Lektol Polisi (Purn) Sukitman, yang kala itu masih berpangkat rendah: Agen Polisi Tingkat II (AP II) dari Komres (Komandan Resort) Seksi VIII, Kebayoran Baru (kini Polres Metro Jakarta Selatan). Menjelang subuh 1 Oktober 1965, sekitar pukul 04.30, bujangan Sukitman yang bertugas menjaga Guest House di Wisma Jalan Iskandarsyah (Wisma AURI), yang sejak beberapa hari dihuni tamu dari Korea (tamu Menteri Panglima AL (Men/Pangal), tiba-tiba dikejutkan suara tembakan berentetan.

Sebagai polisi pengayom masyarakat yang bertanggungjawab terhadap keamanan dan ketertiban wilayah, naluri Sukitman langsung bergejolak. Ia dan rekan jaganya, Agen Polisi Tingkat II (AP II) Sutarso, segera membagi tugas. Mereka memperkirakan asal suara tembakan di sekitar Mabak (Markas Besar Kepolisian). Ia lalu meminta Sutarso tetap jaga di pos, dan Sukitman langsung menggenjot sepeda phoenix kesayangannya menyusuri jalan menuju tempat asal suara tembakan.

Tanpa disadari, di tengah suasana mencekam itu, Sukitman dibegal segerombolan tentara sambil menodongkan senjata: “Berhenti! Turun dari sepeda. Lemparkan senjata, angkat tangan, cepat! Sukitman langsung turun dan melemparkan senjata US Karaben, yang setia menemaninya bertugas. Kedua tangan Sukitman diikat dan mata ditutup kain, lalu tubuh kurusnya dilempar ke atas mobil dalam posisi telungkup dan diinjak sepatu laras.

Namun naluri polisinya terus merekam semua kejadian hingga mobil bergerak entah ke mana, sampai kemudian ia disekap di dapur rumah di kawasan kebun karet. Tetapi di mana letak persisnya, Sukitman sama sekali belum bisa mengenalinya. Baru setelah ia diserahkan kepada seorang berseragam Cakrabirawa dengan pangkat Lettu dan di dada kanan tertulis nama Dul Arif, karena tutup mata Sukitman sudah dilepas dan memerintahkannya keluar dari tenda.

Ketika diperiksa, Sukitman masih sempat menanyakan keberadaan sepeda phoenix dan senjata yang menjadi tanggung jawabnya. “Senjatamu di mana?” kata Dul Arif balik bertanya. “Saya tidak tahu,” jawab Sukitman. Kenapa? “Saya waktu itu, langsung dibawa begitu saja. Sepeda dan senjata saya ketinggalan,” jawab Sukitman yang juga bercerita, di malam kelam itu, sedang bertugas jaga Guest House di Wisma AURI.

Mendengar jawaban itu, Dul Arif rupanya menganggap Sukitman tidak berbahaya. Selain masih muda dan berpangkat rendah (AP II), Sukitman yang bertugas jaga di Wisma AURI dinilai bukan musuh PKI. Bahkan dianggap sebagai sahabat. Terbukti sejak diperiksa Dul Arif pada 1 Oktober pagi, sekitar pukul 06.00, setelah itu ia diperlakukan layaknya kawan prajurit. Dan pagi itu, Sukitman sempat melihat helikopter terbang rendah di atas sumur tua, yang banyak Pemuda Rakyat dan Gerwani menumpukkan kayu pepohonan di atas sumur. Rupanya, kegiatan untuk menghilangkan jejak.

Perlakuan semakin bersahabat hingga saat makan siang, Sukitman bisa mengambil sendiri dan makan sekenyangnya. Tak lama kemudian datang seorang berwibawa yang sangat mereka hormati. Semua komandan lapangan/sasaran yang menculik para jenderal dikumpulkan di sebuah tenda besar. Lelaki berwibawa dan sangat mereka hormati itu, belakangan diketahui adalah Letkol Untung Samoeri, Komandan G 30 S/PKI.

Sekitar 30 menit, Letkol Untung mengumpulkan semua komandan lapangan sekaligus memberikan arahan gerakan lanjutan. Setelah itu, dia bergegas keluar tenda dan pergi entah ke mana. Sukitman menduga Untung pergi menuju RRI, karena tak lama kemudian—sekitar pukul 14.00, melalui radio transistor yang ada di tenda itu—terdengar suara Letkol Untung mengumumkan adanya peralihan kekuasaan, dan Pembentukan Dewan Revolusi Indonesia sampai tingkat Dewan Revolusi Desa.

Selain itu, Letkol Untung juga mengumumkan: pasukan yang aktif dalam Gerakan 30 September (G 30 S/ SPK) akan mendapatkan kenaikan pangkat dua kali lipat. Sedangkan kepada siapa saja pasukan yang mendukung G 30 S/PKI akan mendapat kenaikan pangkat satu tingkat. Mendengar pengumuman itu, semua pasukan yang berkumpul di Lubang Buaya berteriak-teriak kegirangan dan saling berjabat tangan sambil berkata sukses…sukses…sukses berkali-kali. Sukitman yang sudah diperlakukan sebagai sahabat ikut-ikutan bersalaman sambil tertawa-tawa.

Setelah merasa sukses, seluruh pasukan di kawasan Lubang Buaya dikumpulkan dengan tanda ikat kepala warna kuning (untuk malam hari) dan warna hijau (untuk siang hari). Pasukan dipersiapkan untuk bergerak ke sasaran berikutnya. Masih hari Jum’at, 1 Oktober 1965, sekira pukul 18.00 wib., pasukan diberangkatkan dengan 13 truk  beriringan. Tapi komandan Lettu Dul Arif mengajak Sukitman naik jeep yang dikemudikan Kopral Ishak. Sebagai tawanan yang sudah diperlakukan layaknya kawan, Sukitman terus merekam lokasi kanan-kiri sampai kemudian masuk kawasan Halim, wilayah Pasukan Gerak Cepat yang dijaga ketat pasukan AURI.

Pasukan berhenti. Tak lama kemudian terlihat beberapa pasukan Cakrabirawa bergerak menduduki kompleks Batalyon Pasukan Gerak Cepat AURI, dan pos-pos penjagaan termasuk komandan Dul Arif. Sukitman pun ikut melakukan penjagaan. Tapi karena merasa kecapekan, Sukitman lalu berusaha istirahat tidur-tiduran, karena malam itu terasa sangat sepi sekali.

Di saat istirahat, tiba-tiba datang Kopral Ishak mengajak Sukitman ikut mengambil nasi ransum. “Ambil nasinya di mana pak,” tanya Sukitman yang langsung dijawab Ishak “di Lubang Buaya, di tempat kita tadi.” Barulah Sukitman sadar dan semakin yakin bahwa tempat penyiksaan dan pembunuhan para jenderal itu di Lubang Buaya. Ia pun mengikuti Ishak dengan mengendarai truk menuju Lubang Buaya.

Tiba di Lubang Buaya, Sukitman diajak Ishak masuk tenda untuk makan dulu sambil menunggu petugas menaikkan ransum ke atas truk. Sukitman teringat kembali bahwa di tenda itulah para jenderal disiksa secara biadab. Dan malam itu, ternyata, masih banyak Pemuda Rakyat dan Gerwani yang tidur bercampur-aduk. Setelah makan, Sukitman dan Ishak kembali menyusuri jalan sampai kemudian memasuki Jalan Bogor, Kramat Jati, Cililitan sampai ke Halim—tempat pasukan bersiaga—pada tengah malam.

Setelah membagikan ransum, Sukitman dan Ishak memilih istirahat tidur. Menjelang pagi, Sabtu 2 Oktober 1965, Sukitman bangun dan melihat pasukan Cakrabirawa  berseragam lengkap warna coklat memadati sekeliling lapangan. Tanda-tanda kesibukan mulai terasa, karena terlihat pasukan Cakrabirawa dengan cepat berganti seragam. Namun, di tengah hari Sabtu, 2 Oktober 1965, sekitar pukul 12.00-13.00, Sukitman justru merasa pusing, meriang dan kecapekan, sehingga dia mencari tempat untuk tidur di bawah kolong sebuah truk Cakarabirawa yang diparkir berjajar dekat lapangan.

Antara tidur dan bermimpi, Sukitman mendengar suara tembakan bersahut-sahutan. Tapi karena tubuhnya meriang dan kepala pusing, ia tak segara bangun. Baru pada sekitar pukul 15.00 wib Sukitman bangun, dan tidak lagi melihat truk yang berjajar di sekitarnya. Selain itu, dia melihat ada pasukan Cakrabirawa yang memakai tanda pita kain putih di pundaknya. Dan tak lama kemudian seorang Cakrabirawa memakai pita putih membangunkan Sukitkan. “Kamu, polisi kok ada di sini,”tegurnya. “Betul, saya polisi. Sewaktu penggerebegan di Kebayoran Baru, saya ditodong dan terus di bawa ke Lubang Buaya,”jawab Sukitman, penuh was-was.

Sejak itulah, Sukitman kemudian dibawa ke Markas Cakrabirawa, dekat Istana Negara (kini komplek bangunan Bina Graha). Sukitman diserahkan kepada Komandan Kapten Eko, dan menjalani berbagai pemeriksaan, yang kemudian mendapat tanda pengenal baru berupa pita warna putih. Selanjutnya, Sukitman dipertemukan dengan beberapa petinggi TNI AD sampai kemudian menghadap Komandan RPKAD Kolonel Sarwo Edhie Wibowo, hingga menjadi penunjuk jalan ditemukannya sumur tua—tempat mengubur para jenderal—di Lubang Buaya (Drs. Soemarno Dipodisastro (editor: Nazir Amin): Sukitman Penemu Sumur Lubang Buaya: Juli 2007). Begitulah kekejaman dan kebiadaban PKI menghabisi para jenderal.

Sejarah hitam kekejaman dan kebiadaban PKI inilah yang, akhir-akhir ini, sengaja dilupakan. Bahkan sejarah pemberontakan PKI tahun 1948 dan kudeta berdarah G 30 S/PKI 1965, sudah pula lama dihapus dari mata pelajaran sekolah. Sehingga, generasi muda sekarang ini buta sejarah kekejaman PKI. Malahan banyak pelajar dan juga mahasiswa yang tidak percaya, jika diberitahu kader dan anak keturunan PKI akan bangkit lagi saat ini.

Beberapa tahun terakhir, film G 30 S/PKI pun “dilarang” tayang. Ada yang mengatakan film yang disutradarai Arifin C. Noor itu manipulatif. Nanti akan dibuatkan film versi lain yang, katanya, lebih akurat. Gara-gara memerintahkan nobar film G 30 S/PKI itu pula, Jenderal TNI Gatot Nurmantyo dicopot dari jabatan Panglima TNI. Tentu bukan hanya karena film dan penghapusan sejarah kekejaman PKI saja. Lebih dari itu, ada hal besar dan prinsip terkait keselamatan NKRI dan Pancasila mengusik keprihatinan sang Jenderal.

Seperti dikemukakan Mayor Jenderal TNI (Purn) Tubagus Hasanuddin, mantan ajudan Presiden B.J. Habibe, bahwa Jenderal TNI (Purn) Gatot Nurmantyo adalah prajurit lurus, konsisten menjaga Sapta Marga, bermoral, jujur dan gigih menjaga NKRI, Pancasila, UUD 1945 dari rongrongan PKI atau paham komunis.

Itulah sebabnya, sebagai presidium KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia) bersama Prof. Din Syamsudin dan Prof Rahmat Wahab, Jenderal Gatot Nurmantyo melayangkan surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo, tertanggal 22 September 2020. Isi surat, selain mengungkapkan suasana kebatinan yang penuh trauma dan keprihatinan, juga mengajukan beberapa tuntutan yang layak dipenuhi oleh Joko Widodo selaku Presiden RI (bersambung).

*Choirul Anam, adalah Pendiri dan Penasehat PPKN (Pergerakan Penganut Khitthah Nahdliyah). Pembina GERAK (Gerakan Rakyat Anti Komunis) Jawa Timur.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry