“Saat ini kita hidup di era Republik, bukan era kerajaan. Kepala daerah mana pun tidak perlu menunjukkan dirinya alergi kritik.”

Oleh : Firman Syah Ali

SAAT ini rakyat negara-negara se dunia sedang menderita multi dimensi akibat serangan wabah maut dari kota Wuhan yang bernama Covid-19.

Namun ada beberapa pejabat dan pemimpin yang tidak peka terhadap penderitaan rakyatnya, penampilan mereka di media publik sama sekali tidak membuat rakyat merasa tenang tenteram dan damai.

Sebagian pejabat dan pemimpin bertengkar secara terbuka di media memperjuangkan ego dan kepentingan politiknya masing-masing.

Sebut saja Bupati Lumajang H Thoriqul Haq yang bertengkar secara terbuka dengan Bupati Bolaang Mongondow Timur (BOLTIM) Sehan Salim Lanjdar, sama sekali tidak mendidik dan tidak peka bencana.

Meminjam teori dramaturginya Erving Goffman kita tahulah apa yang terjadi di belakang panggung jauh berbeda dengan apa yang tampak di muka panggung.

Bupati BOLTIM Sehan Salim Landjar merupakan kader PAN, Partai yang didirikan oleh tokoh Muhammadiyah dan kini mayoritas penghuninya adalah warga Muhammadiyah.

Serangan Bupati Sehan terhadap Menteri rupanya tepat mengena di jantung Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi KH Abdul Halim Iskandar yang merupakan kakak kandung icon PKB KH Abdul Muhaimin Iskandar. PKB merupakan Partai yang didirikan oleh tokoh NU dan kini mayoritas penghuninya adalah warga NU.

Bupati Lumajang H Thoriqul Haq yang merupakan kader PKB jelas langsung langsung ngegas membela Mendes PDT Trans yang merupakan majikannya di PKB.

Anomali terjadi ketika Ketua Umum PP GP Ansor KH Yaqut Cholil Qoumas bersiul di twittwe bahwa keduanya sama-sama aktivis GP Ansor, baguslah, pertengkaran langsung reda. Itulah panggung belakang dari pertengkaran Bupati Lumajang Vs Bupati Boltim.

Sekarang kita beralih ke Kota Surabaya, kombinasi perang dingin dan perang terbuka antar kepala Daerah juga terjadi di sini. Walikota Tri Risma Harini tampak selalu membleyer Gubernur Jatim Hj Khofifah Indar Parawansa.

Otomatis Ketua Umum PP Muslimat NU tidak tinggal diam, marwah provinsi Jatim dan marwah dirinya sebagai personifikasi NU wajib dibela.

Meminjam istilah Mas Dhimam Abror Djuraid, Hj Tri Risma Harini dan Hj Khofifah Indar Parawansa sama-sama singa betina, perempuan kuat, Iron Ladies ala Margaret Thatcher, super women.

Ibu Risma sudah membuktikan diri sebagai perempuan kuat. Sepuluh tahun ia bekerja sendiri tidak butuh wakil walikota. Pak Bambang DH hanya betah beberapa bulan saja menjadi wakil Risma.

Pak Whisnu Sakti Buana sama sekali tidak sakti begitu menjadi wakil Risma. Pak Wisnu tak punya peran, lalu diam-diam membangun kekuatan melalui partainya, PDIP. Tapi manuver ini ketahuan dan sekarang Pak Whisnu dipereteli kekuatannya di PDIP.

Di sisi lain, Bu Nyai Khofifah sudah terbukti dan teruji kecerdikan dan kecerdasannya dalam berpolitik. Jam terbangnya tinggi dan manuver-manuvernya canggih.

Ia terbukti sukses mengalahkan Gus Ipul yang sepuluh tahun mempersiapkan diri. Sepuluh tahun Gus Ipul nglakoni tirakat politik menjadi wakil gubernurnya Soekarwo.

Di detik-detik akhir yang krusial Khofifah menyalip di tikungan dan mendapatkan dukungan dari Pakde Karwo. Tinggallah Gus Ipul sekarang menikmati “Ngopibareng” di Pertapaan Pintu Langit”, alias bertapa.

Manusia Biasa Bukan Nabi

Dalam pandangan saya Ibu Risma ini memang agak overakting, sering beliau melawan kebijakan atasannya. Misalnya saat Pemerintah Pusat menyerahkan kewenangan pengelolaan SMA, SMK dan PKPLK dari tangan Pemkab/Pemkot ke tangan Pemprov, Ibu Risma tegas menolak dan melawan.

Sering juga Ibu Risma memarahi anak buahnya secara terbuka dan diliput oleh media, menurut saya itu kurang bagus dalam tata kelola pemerintahan, sebab manajemen pemerintahan kota surabaya itu urusan internal Bu Risma berserta para stafnya, publik tidak perlu tau proses pertengkaran Bu Risma di situ, publik hanya perlu tau hasil administrasi keadilan yang dilakukan Bu Risma.

Saat ini kita hidup di era Republik bukan era kerajaan, kepala daerah mana pun tidak perlu menunjukkan dirinya alergi kritik, kepala derah bukan nabi, bukan ma’shum, manusia biasa, bersikaplah tenang dan terbuka terhadap peluru kritik yang datang berhamburan.

Oke kembali ke laptop, besar harapan rakyat kecil agar para pemimpin memperbesar unjuk karya dalam situasi krisis ini, rakyat sangat menderita, mereka butuh karya nyata para pemimpinnya.

Jangan malah unjuk rasa yang ditampilkan, rasa marah, rasa kesal, rasa kecewa, rasa tersinggung dan rasa-rasa lainnya. Kalaupun rakyat mau dipameri unjuk rasa para pejabat dan pemimpin, sebaiknya rasa sayange rasa sayang-sayange saja, agar penderitaan rakyat di era pandemi sedikit terobati. (*)

Penulis adalah pelakon tirakat birokrasi di sebuah tempat pertapaan di Pamekasan Madura.

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry