Dr Taufik Iman Santoso saat aksi turun jalan. (FT/duta.co)

Lama sekali, puluhan ribu warga pemegang Sura Ijo di Kota Surabaya, berjuang memperoleh hak atas tanah yang ditempatinya.  Tapi, tarik ulur dengan Pemkot itu, tak kunjung tuntas. Dr Sukaryanto (alm) membeber konflik, baik dalam prespekti teori maupun solusi. Catatan tersebut disadur ulang Dr Taufik Iman Santoso. Berikut diturunkan duta.co secara bersambung:

 

Konflik Tanah Surat Ijo di Surabaya (Sebuah Perspektif Teoretik-Resolutif)

Oleh Alm. Dr. Sukaryanto

Disadur kembali Oleh Dr,Taufik Iman Santoso SH,Mhun

TULISAN ini perlu diunggah kembali, agar dapat dibaca banyak orang dan sebagai penghargaan dari warga surat ijo yang telah mendengarkan bahasan beiau saat hadir dalam seminar yang diadakan di Fakultas Hukum Ubaya.

Almarhun adalah Dosen Departemen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga yang telah  menyelesaikan disertasi S3 Program Studi Ilmu-ilmu Humaniora FIB UGM.  Penulis berterima kasih pada promotor Prof. Dr. Djoko Suryo dan Co-Promotor Nur Aini Setiawati, Ph.D. atas bimbingan penyusunan disertasi di program S3 Ilmu-ilmu Humaniora FIB UGM.

Abstract

Pemilikan tanah di Surabaya ditandai fenomena unik. tanah surat ijo. Yakni permukiman sebagian warga kota di atas tanah negara. Memasuki era Reformasi (1999) sebagian besar warga penghuni tidak lagi patuh pada peraturan yang berlaku.

Bahkan, timbul solidaritas komunitas warga pemukim tanah surat ijo yang kemudian membentuk organisasi massa melakukan upaya untuk memperoleh hak milik atas tanahnya. Tak pelak, terjadilah konflik sosial antara keduanya.

Berbagai upaya resolusi telah dilakukan mulai mediasi hingga di meja peradilan tertinggi belum bisa menyelesaikan.

Demikian pula, pemberlakuan Peraturan Daerah No. 16 Tahun 2014 tentang pelepasan asset pun belum dapat mewujudkan resolusi konflik.

Tulisan ini mencoba untuk memahami dan menjelaskan konteks penguasaan, kepemilikan, dan konflik atas tanah surat ijo di Surabaya. Sebagai kesimpulan, keberadaan tanah surat ijo –sebagai jelmaan sistem sewa tanah pada era kolonial — telah menimbulkan dampak di semua segi kehidupan warga penghuni, mulai aspek sosial, ekonomi, politik, hingga budaya/ psikologi.

Selain itu, di dalam kerangka upaya mencapai resolusi konflik diperlukan perubahan system tanah surat ijo. Untuk itu perlu keterlibatan, kerjasama, dan koordinasi antara beberapa kementerian yang terkait. Kata Kunci: surat ijo , tanah negara, resolusi, konflik, Surabaya

Gerakan Pembebasan Tanah Surat Ijo

Gerakan  pembebasan  timbul  diawali  dengan  adanya  perlawanan  sebagian  warga penghuni tanah surat ijo  pada awal bergulirnya era reformasi 1999 yang jeli terhadap situasi. Mereka mendefinisikan situasi reformasi sebagai saat yang tepat untuk melakukan perlawanan.

Jadi  era  reformasi  secara  nyata  telah  memberikan  ruang  kebebasan  untuk  mengekspresikan aspirasi  setiap  warga  negara  tanpa  konsekuensi  resiko  yang  fatal,  tidak  seperti  pada  era sebelumnya.

Beberapa fenomena sosial, ekonomi, politik, budaya, dan hukum yang terjadi dalam konteks tanah surat hijau yang menjadi substansi ketidakpuasan warga hingga kini (2016) antara lain beban retribusi, legalitas status IPT, bertahannya status tanah eigendom/besluit, klaim tanah negara sebagai aset pemerintah daerah, posisi dan pengelolaan status HPL yang jauh dari upaya menyejahterakan rakyat, dan lain-lain.

Kejatuhan  hegemoni  kekuasaan  rezim  Orde  Baru  pada  1998  yang  dilanjuti  adanya keterbukaan  dan  kebebasan  berpendapat,  mengakibatkan   uneg-uneg  rasa  ketidakpuasan dan ketidakadilan di kalangan sebagian warga penghuni tanah surat ijo dapat  diekspresikan secara nyata.

Beberapa diantaranya membentuk suatu organisasi-organisasi perlawanan untuk berjuang memperoleh  status hak  milik atas tanah  yang dihuninya,  seperti kelompok  Geratis  (Gerakan Rakyat  Anti  Surat  Ijo)  di  kawasan  Bratanggede,  GPHIS  (Gerakan  Pembebasan  Surat  Ijo Surabaya)  di  Ngageltirto,  Gerakan  Rakyat  Perak  Barat,    Komunitas  Penghuni  Tanah  Bekas Eigendom (KTPBE), dan masih ada beberapa yang lainnya.

Selepas  keruntuhan  hegemoni  kekuasaan  Orde  Baru  itu,  juga  terjadi  redefinisi keberadaan surat  IPT di  mata warga penghuni. Surat IPT dianggap bukan lagi sebagai barang yang  keramat  yang  kebenarannya  bisa  diterima  secara  mutlak  dan  tidak  bisa  dikritisi. Keberadaanya bisa ditafsir ulang, terutama di dalam kaitan dengan   peraturan-peraturan atau pun undang-undang yang lebih tinggi statusnya daripada peraturan daerah.

Misalnya, warga tanah surat ijo memandang peraturan daerah dalam kaitan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 6 Tahun 1972 tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Hak Atas Tanah.Di dalam Pasal 13 Ayat 1 Permendagri itu dinyatakan ,  “Gubernur/Bupati/Walikota Kepala Daerah dilarang: a. Memberikan  tanah  Negara  dengan  sesuatu hak  apapun  sekalipun  dengan  sebutan sementara b. Memberikan  ijin  mempergunakan  atau  menguasai  Tanah  Negara  kecuali  apabila wewenang itu secara tegas-tegas dilimpahkannya.”

Berdasarkan Permendagri itu, warga tanah surat ijo berpendapat bahwa keberadaan status IPT di atas tanah negara tidak bisa dibenarkan. Walaupun Permendagri No. 6 Tahun 1971 itu sudah tidak berlaku dan diganti dengan Peraturan Menteri Negara Agraria No. 3 Tahun 1999, namun setidaknya Permendagri itu sempat berlaku selama 1971 hingga 1999.

Bahkan, menurut warga tanah surat ijo berdasarkan Peraturan Menteri Negara  Agraria No. 3 Tahun 1999 tentang  Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara No 3 Tahun 1999 itu, kepala daerah tidak diberi limpahan kewenangan apapun terhadap keberadaan tanah negara di wilayahnya masing-masing.

Selain itu, warga tanah surat ijo juga mengaitkan Perda  dengan PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, dinyatakan bahwa tanah yang dihuni warga selama lebih 20 tahun secara berturut-turut, bisa disertifikasikan menjadi hak milik penghuni.

Juga, Peraturan Menteri Negara Agraria atau Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1998 tentang Perubahan Hak Guna Bangunan  atau Hak  Pakai Atas Tanah Untuk  Rumah Tinggal yang Dibebani Hak Tanggungan  Menjadi  Hak  Milik;  yang  esensinya  memberikan    peluang  seluas-luasnya  bagi perubahan status tanah negara untuk menjadi tanah hak milik warga Negara Indonesia.

Jadi, berdasarkan uraian di atas, boleh jadi pengelolaan tanah negara di Surabaya yang telah  menimbulkan  gerakan  kontra  itu,  sangat  menarik  untuk  dicermati  guna  mendapatkan pemahaman yang detail.

Berdasarkan paparan latar belakang dan permasalahan di atas, riset ini ditujukan untuk:  a. Melacak  faktor-faktor penyebab  timbulnya  gerakan perlawanan terhadap  sistem tanah surat ijo,  b. Memaparkan awal mula, proses, hingga akhir peristiwa tentang gerakan perlawanan yang telah terjadi di atas tanah surat ijo c. Tujuan khusus riset ini untuk menemukan suatu bentuk pengetahuan tentang pemahaman (understanding),  dan  penjelasan  (explanation)  konteks  gerakan  perlawanan  warga penghuni tanah surat ijo.

Urgensi riset tema gerakan massa ini perlu mendapat perhatian kita semua, sebab pada spirit era reformasi yang memberikan kebebasan  pada rakyat sangat  berpotensi untuk  memfasilitasi rakyat  untuk  menyuarakan  ketidakpuasan-ketidakpuasan  terhadap  suatu  kebijakan  publik.

Belajar dari gerakan massa itu kita dapat berbuat lebih bijak, adil, dan obyektif terhadap suatu isu yang muncul Permasalahan  Surat Ijo di Kota Surabaya Warga menganggap, bahwa PMNA itu  menyiratkan  ketiadaan wewenang  kepala daerah  mengatur  tanah negara. Hal  seperti  itu telah  memberikan inspirasi untuk melakukan perlawanan terhadap pemberlakuan IPT. Oleh para pakar hukum dianggap sebagai  penyempurnaan PP No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah

Di dalam kaitan riset yang bertujuan melacak hingga menemukan akar permasalahan ini, kita bisa mengambil hikmah untuk lebih bisa memperbaiki tata kelola pertanahan di Surabaya. Hasil riset ini bisa memberikan masukan bagi para legislator untuk membuat peraturan perundangan yang lebih baik, dalam arti lebih berpihak pada rakyat, demi tercapainya keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. (bersambung)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry