Webinar bertajuk ‘Peran Ulama dan Santri dalam Menjaga Eksistensi NKRI dan Membangun Peradaban Bangsa’ yang digelar PKS DKI Jakarta, Ahad, (18/10/2020) malam. (FT/IST)

SURABAYA | duta.co – Menarik! Webinar bertajuk ‘Peran Ulama dan Santri dalam Menjaga Eksistensi NKRI dan Membangun Peradaban Bangsa’ yang digelar Badan Pembinaan Umat (BPU) DPW PKS DKI Jakarta, Ahad, (18/10/2020) malam, menarik diikuti.

Drs Taufan Bakri, MSi Kepala Badan Kesbangpol Provinsi DKI, sebagai Keynote Speaker, memetakan secara apik kekuatan insan pesantren dalam membangun peradaban bangsa. Menurutnya, potensi santri ke depan, semakin strategis. Bukan saja soal keilmuan (agama), tetapi, kemandiriannya menjadi modal besar untuk memperkuat bangunan ekonomi di negeri ini.

Di Indonesia, jelasnya, ada kurang lebih 18 juta santri. Mereka tersebar di 28.194 pesantren. Ini menjadi kekuatan atau komponen yang luar biasa. Dan, Jakarta sendiri dikelilingi ribuan pesantren, sekitar 8.300 pesantren tersebar di Jawa Barat.

“Ke depan, kita harus benar-benar mampu menangkap apa yang direnungkan dan diinginkan para santri ini. Saya teringat lirik lagu ‘Kolam Susu’ (Koes Plus red). Bukan Lautan Hanya Kolam Susu. Begitu juga dengan Pancagatra (ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, hingga pertahanan dan keamanan red.), harus diperkuat,” terangnya.

Drs Taufan Bakri, MSi Kepala Badan Kesbangpol Provinsi DKI. (FT/IST)

Menurut Taufan, santri sudah terlatih mandiri. Ini akan menjadi energi atau kekuatan luar biasa ke depan. Mengapa? Karena ke depan, sektor keswastaan yang dominan. “Santri sudah terlatih mandiri. Bukan lulus lalu cari pekerjaan, sebaliknya mereka menciptakan pekerjaan. Mereka tidak hanya fasih bicara keagamaan, tetapi juga mengerti industri,” tegasnya.

Taufan sendiri yakin dan percaya dengan kekuatan umat Islam. Karena itu, ia selalu mendorong dunia pesantren, memperhatikan para guru agama, mengembangkan pemikiran guru-guru, mengembangkan wawasan, kemampuan SDM-nya. Kalau di Jakarta, pemberdayaan SDM bisa lewat BAZIS.

“Tidak ada kekuatan kecuali dengan persatuan. Umat Islam harus kuat dan bersatu menjaga harmoni. Di DKI misalnya, ada 7,5 juta umat Islam. Santri-santri DKI sangat mengerti tentang multi kultural, menjaga harmoni. Dengan saling menolong, maka, tercipta suasana yang baik,” urainya.

Saat pandemi, lanjutnya, betapa besar kontribusi umat Islam. “Di DKI, ada 3500 masjid menyerukan ibadah dengan benar sesuai protokol kesehatan. Artinya, kontribusi para santri tidak bisa dianggap ringan,” jelasnya.

Ini, kata Taufan Bakri, harus diimbangi dengan kekuatan ekonomi. Bagaimana para santri, yang sudah terlatih hidup mandiri, semakin terdongkrak menjadi pelaku usaha yang handal. “Dengan demikian dompetnya tidak sampai kosong. Jangan sampai ‘kulit ketemu kulit’. Karena mereka inilah yang mengukir masa depan bangsa,” jelasnya.

Hadir dalam Webinar ini, KH Agus Fahmi Amrullah Hadzik (Gus Fahmi), Pengasuh Pesantren Al-Masruriyyah,Tebuireng Jombang yang juga dikenal sebagai Cucu Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy’ari. Prof Agus Suradika, MPd. Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Provinsi DKI Jakarta. Dr KH Miftahurrahim Syarkun, Wakil Rektor Universitas Hasyim Asy’ari Tebuireng yang notabene  Penasehat Pusat Kajian KH M Hasyim Asy’ari dan Dr Hidayat Nur Wahid (HNW).

KH Agus Fahmi Amrullah Hadzik, akrab dipanggil Gus Fahmi, menuturkan, bahwa, kemerdekaan Republik Indonesia (RI), tidak bisa lepas dari peran ulama. Baik secara fisik, maupun non-fisik.

“Ketika masih belajar di Makkah, di depan Multazam (Ka’bah), Mbah Hasyim sudah mengajak santri-santri berikrar terhadap dua hal. Meninggikan Islam di Indonesia dan Memerdekaan Negara Indonesia,” demikian Gus Fahmi.

Menurut Gus Fahmi, Mbah Hasyim yang pernah satu guru dengan KH Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah), begitu total dalam melawan penjajah. Keduanya harus dijadikan uswah (teladan) bagaimana kita berbangsa dan bernegara.

“Jadi, kedekatan antara pendiri NU dan Muhammadiyah (Mbah Hasyim dan Mbah Dahlan) ini harus dijadikan teladan dalam kehidupan sehari-hari,” tambahnya.

Keduanya tidak pernah takut melawan pejajah. Kegigihan Mbah Hasyim melawan kolonial (Belanda dan jepang), ditunjukkan melalui peran keulamaannya. Beliau tidak mau kerjasama dengan penjajah.

Misalnya, ketika Belanda mau ‘mengambil hati’ umat Islam, menyediakan kapal khusus untuk jamaah haji, Mbah Hasyim justru mengeluarkan fatwa haram berhaji dengan naik kapal orang kafir (penjajah).

“Padahal waktu itu, minat umat Islam sangat besar. Tetapi, begitu keluar fatwa haram Mbah Hasyim, akhirnya umat Islam mempertimbangkan dan mengikutinya. Ini haji politis. Belanda pun geram. Maunya untung, malah buntung,” tambah Gus Fahmi.

Tidak hanya itu, Mbah Hasyim juga berani mengeluarkan fatwa haram menggunakan pakaian model atau menyerupai (tasyabbuh) pakaian Belanda (penjajah). Pun saat penjajahan Jepang, di mana bangsa ini tidak semaki enak, justru semakin sengsara. Mbah Hasyim tidak segan-segan melakukan perlawanan.

Apalagi, jelas Gus Fahmi, Jepang ini nganeh-nganehi (aneh dan lebih kejam lagi). Sampai ada istilah bekupon omahe doro, melok nippon tambah sengsoro. Mbah Hasyim pun mengeluarkan fatwa haram mengikuti perintah Jepang yang disebut Seikerei, penghormatan terhadap Kaisar Hirohito.

Seikerei  itu ketaatan kepada Dewa Matahari (Amaterasu Omikami) yang diwajibkan oleh Jepang bagi rakyat Indonesia kala itu. Harus tunduk. Seikerei ini dilakukan dengan membungkuk ke arah Tokyo setiap pukul 07.00 pagi.

“Mbah Hasyim dengan tegas mengharamkan. Itu musyrik, syirik. Menyamai rukuk dalam salat. Gara-gara ini Jepang marah besar, Mbah Hasyim lalu ditangkap, dipenjara, disiksa. Bahkan tulang jari beliau sampai remuk. Beliau dipaksa mencabut fatwa haram Seikerei. Tetap tidak mau,” urainya.

KH Agus Fahmi Amrullah Hadzik, akrab dipanggil Gus Fahmi. (FT/tebuireng.online)

Jadi? Jelas Gus Fahmi, ulama itu lebih memegang akidah dibanding tawaran menggiurkan. Apa yang terjadi saat beliau dipenjara? “Setiap hari ribuan santri, alumni, kiai demo. Mereka demo di depan penjara. Ada dua tuntutan. Pertama, bebaskan Mbah Hasyim, kedua, penjara kami bersama guru kami. Karena sulit, akhirnya Jepang melepas Mbah Hasyim,” lanjutnya.

Jepang, kemudian, luar biasa perhatian kepada Mbah Hasyim. Penjajah ini sempat membentuk Kantor Jawatan Agama (Shumubu). Mbah Hasyim ditawari untuk memimpinnya. Sebagai bentuk apresiasi, Mbah Hasyim justru menyerahkan tugas ini kepada KH Wahid Hasyim, putranya.

Dengan kecerdasan KH Wahid Hasyim, urainya, maka, begitu melihat penjajah (Jepang) mulai kocar-kacir, menjelang Kemerdekaan RI, Mbah Hasyim minta Kiai Wahid terlibat aktif dalam BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang kemudian diubah menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Tugasnya mempersiapkan dasar negara, Pancasila dan UUD 45.

Mbah Hasyim menjadi jujugan tokoh-tokoh nasional, seperti Bung Karno (Ir Soekarno), Jenderal Sudirman, Bung Tomo. Bahkan menjelang kemerdekaan RI, Mbah Hasyim ditawari Jepang untuk menjadi pemimpin nasional (Presiden).  Tetapi, sebagai ulama, beliau menokak dengan halus.

Nek aku dadi presiden, sing ngaji nang santri sopo? Sing ngopeni santri sopo? (Kalau saya jadi presiden yang mengajar santri siapa, yang memperhatikan santri siapa? Red.) Tidak berkenan. Lalu, ketika ditanya siapa yang layak menjadi presiden? Mbah Hasyim menyebut nama Kusno (Ir Soekarno). Nama ini keluar dari lisan Mbah Hasyim,” jelas Gus Fahmi. (mky)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry