JOMBANG | duta.co – Banyak pertanyaan menggelitik mencuat dalam Seminar Nasional menyambut ‘120 Tahun Pesantren Tebuireng’, Jumat (23/8/2019). Walhasil, seminar yang berlangsung di Gedung KH Yusuf Hasyim Tebuireng ini, berlangsung ‘hidup’.

Sesi pertama, seorang mahasiswa dari Universitas Hasyim Asy’ari (Unhasy) melempar hasil penelitian pakar dunia, yang menyebut, bahwa, negara paling Islami, paling damai, ternyata bukan Indonesia, melainkan Selandia Baru. Padahal negeri ini, mayoritas Islam dengan ribuan pondok pesantren. Mengapa?

Di sesi kedua, seorang santri dari Pondok Pesantren Al Qodiri, Patrang, Jember menyoal mudahnya stigma radikal terhadap umat Islam. Sementara radikalisme yang berkembang di luar Islam, tidak pernah disoal.

Santri ini kemudian bertanya khusus kepada KH Salahuddin Wahid (Gus Solah) yang duduk sebagai narasumber. Bagaimana pandangan Mbah Yai Solah (Gus Solah red.) terhadap Abu Bakar Ba’asyir dan Habib Rizieq Syihab?

Pertanyaan pertama mengacu ke hasil penelitian Scheherazade S. Rehman dan Hossein Askari tentang “How Islamic are Islamic Countries?” yang dituangkan dalam Global Economy Journal 2010. Dalam penelitian itu, Negara Selandia Baru berada di posisi pertama, negara paling Islami di dunia dari 208 negara.

“Indonesia sendiri berada di (urutan) ratusan,” demikian mahasiswa tersebut.

Atas pertanyaan ini, M Luthfillah Habibi, Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat Ikatan Alumni Sidogiri (IASS) yang menegaskan bahwa, izzah (kemuliaan) itu terkait dengan eksistensi pesantren. Dan tidak bisa disandingkan dengan hasil penelitian orang luar.

“Kita tidak tahu apa tolok ukurnya. Dari mana para peneliti itu melihat, mengukur sebuah negara sehingga disebut paling damai, paling Islami,” jawabnya.

Di sesi kedua, dengan narasumber Gus Solah, KH Ahmad Hidayatullah Zarkasyi (Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor) dan KH Glory Islamic (Pengasuh Yayasan PP Sumber Pendidikan Mental Agama Allah/SPMAA Lamongan) pertanyaan santri dari Pondok Pesantren Al Qodiri, Jember tentang sosok Abu Bakar Ba’asir dan Habib Rizieq Syihab, juga menyita perhatian peserta.

Santri yang tampil dengan kopyah maiyah ala Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) ini, mempersoalkan mudahnya stigma radikal kepada umat Islam. Ia kemudian meminta agar Gus Solah berkenan pandangannya tentang sosok Abu Bakar Ba’asir dan Habib Rizieq Syihab.

Sebelum Gus Solah menjawab, KH Ahmad Hidayatullah Zarkasyi memberikan pandangannya. Menurutnya, seseorang disebut pejuang atau pembangkang, itu tergantung siapa yang melihat.

“Ada seorang disebut pahlawan, padahal dia juga pernah disebut sebagai pemberontak. Atau seorang dicap pemberontak, padahal di sisi lain disebut sebagai pahlawan. Tinggal siapa yang melihatnya,” jelas KH Ahmad Hidayatullah.

Giliran jawaban Gus Solah. Ini tampaknya yang ditunggu-tunggu seluruh peserta seminar. Cucu pendiri NU almaghfurlah KH Hasyim Asy’ari ini, ternyata mencatat dengan seksama seluruh pertanyaan yang mucul. Begitu juga yang terkait Abu Bakar Ba’asir dan Habib Rizieq Syihab.

Gus Solah bahkan sempat mengulang pertanyaan tersebut. Apa jawabnya?  “Saya tidak bisa menilai seseorang dari luarnya saja. Karena itu, semua harus kita kembalikan kepada Allah swt. Waallahu’alam,” jawabnya disambut tepuk tangan peserta. (mky)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry