SURABAYA | duta.co -Terdapat empat pola penyebaran paham radikalisme dan terorisme yang ditujukan kepada para remaja dan kaum muda. Baik melalui media massa, hubungan kekeluargaan, komunikasi langsung dan di lembaga pendidikan.

Dari pola-pola yang dilakukan itu, para teroris menggunakan dunia sebagai aksi persebaran pahamnya. Alasannya, selain mudah diakses, sulit dikontrol, juga meraih audiens yang luas.

“Selain itu, tanpa penyebutan nama (anonim), media interaktif itu mempunyai kecepatan informasi, juga murah untuk membuat dan memelihara, bersifat multimedia (gambar, suara, foto dan video), internet sebagai sumber pemberitaan.”

Demikian ditegaskan Ketua Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Jawa Timur, Dr Hj Hesti Armiwulan SH MHum CMC CCD, dalam acara Sosialisasi Wawasan Kebangsaan, di Cafe Hedon Estate, kawasan Ngagel Timur, Surabaya, Senin 28 November 2022 pagi.

Acara yang digelar DPRD Provinsi Jawa Timur, kerja sama FKPT Jatim, bertema “Pelibatan Pemuda dalam Pencegahan Radikalisme Melalui Moderasi Beragama”

Sebagai pembicara kunci adalah Dr Freddy Poernomo SH MH, anggota Komisi A DPRD Provinsi Jawa Timur. Selain Hesti Armiwulan, juga tampil sebagai narasumber Prof Dr Hj Husniyatus Salaman Z, Guru Besar dari UINSA yang juga Bendahara FKPT Jatim, yang dimoderatori Dr Bambang Sigit Widodo SPd MPd (Kabid Pemuda dan Pendidikan FKPT Jatim).

Hadir juga Kabid Perempuan dan Anak Dra Hj Faridatul Hanum MKom dan Sekretaris FKPT Jatim Agus Bimantoro. Acara diikuti lebih dari 100 peserta, terdiri dari aktivis organisasi mahasiswa dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dari 30 kampus di Surabaya.

Untuk apa kelompok teroris menggunakan dunia maya?

Menurut Wakil Ketua Komnas HAM (2007-2010), kelompok teroris menggunakan dunia maya dengan sejumlah alasan. Sebagai perang psikologis, propaganda, jejaring di antara kelompok teroris, perekrutan dan mobilisasi, bahkan untuk pengumpulan dana.

Selain itu, para terorisme memanfaat dunia maya untuk data mining (pengumpulan data informasi, pemberian instruksi dan tempat diskusi di antara individu dan kelompok.

Hesti pun mengungkapkan empat pola penyebaran paham radikalisme dan terorisme. Di antaranya: Pertama, melalui media massa yang meliputi internet, buku dan majalah.

Kedua, komunikasi langsung dalam bentuk dakwah, diskusi atau bedah buku dan pertemanan.

Ketiga, hubungan kekeluargaan dengan bentuk pernikahan, kekerabatan dan keluarga inti. Keempat, lembaga pendidikan di sekolah dan perguruan tinggi.

Empat Faktor Penyebab

Hesti yang Dosen Fakultas Hukum Universitas Surabaya (Ubaya), mengungkapkan empat faktor penyebab seseorang menjadi pelaku terorisme.

Faktor Pertama, mencari jati diri. Banyak orang sering bergabung dengan organisasi teroris karena mereka mencari indentitas diri mereka sendiri.

“Biasanya, yang masuk kategori ini adalah mereka yang memiliki pengalaman traumatis dan kelompok berisiko karena masalah keluarga dll,” tuturnya.

Kedua, kebutuhan untuk saling memiliki. Pada jaringan terorisme seringkali tumbuh sikap saling memiliki, keterhubungan dan afiliasi yang sangat kuat.

“Perasaan semacam ini biasanya banyak dibutuhkan oleh kelompok usia muda yang memiliki kerentanan sosial yang tinggi. Karena tiadanya kasih sayang atau menjadi anak yang tidak diharapkan, komunikasi yang terganggu dalam keluarga, kurang perhatian orangtua dll,” kata Hesti, Direktur Jimly School of Law and Goverment (JSLG) Surabaya.

Faktor Ketiga, ingin memperbaiki apa yang mereka yakini sebagai ketidakadilan. Mereka pada umumnya memiliki perasaan yang kuat bawah barat memusuhi Islam dan jihad melawan barat adalah satu-satunya pilihan untuk memperbaiki ketidakadilan tersebut.

Faktor Keempat, mencari sensasi. Dari data yang ada hingga bulan Maret 2022 terduga teroris dan organisasi teroris sejumlah 114 orang yang termauk dalam organisasi teroris.

Pada bagian lain, Hesti Armiwulan mengingatkan, intoleransi, ujaran kebencian (hate speech), ekstremisme, radikalisme hingga retaknya hubungan antarumat beragama, merupakan problem yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini.

Cara Pencegahan Terorisme

Dalam ikhtiar pencegahan tindak pidana terorisme, pemerintah melakukan langkah antisipasi secara terus menerus. Hal itu dilandasi prinsip pelindungan hak asasi manusia dan prinsip kehati-hatian. Melalui kesiapsiagaan nasional, kontra radikalisme dan deradikalisme.

Kesiapsiagaan nasional, menurut Hesti, merupakan suatu kondisi siap siaga untuk mengantisipasi terjadinya tindak pidana terorisme melalui proses yang terencana, terpadu, sistematis dan berkesinambungan.

“Kesiapsiagaan nasional dilakukan melalui pemberdayaan masyarakat, peningkatan kemampuan aparatur, perlindungan dan peningkatan sarana prasarana, pengembangan kajian Terorisme, serta pemetaan wilayah rawan paham radikal Terorisme,” tutur Hesti.

Ditegaskan Hesti, pendepatan soft aproach melalui moderasi beragama merupakan proses menjaga keseimbangan yang paripurna, setiap warga masyarakat yang berbeda suku, etnis, budaya, agama dan pilihan politiknya.

Menurutnya, ada empat tanda sikap moderat dalam beragama. Di antarnaya, Cinta Tanah Air, punya toleransi tinggi, antikekerasan, dan akomodatif terhadap budaya lokal.

Selain itu, diingatkan adanya kesadaran pengguna media sosial. Untuk menjaga keamanan akun, dengan membuat kata kunci yang sulit ditebak dan mengubahnya secara periodik.

Hindari hoaks, tak mudah percaya dengan berita yang diterima sebelum diklarifikasi dan menyebarkan hal positif. Artinya, hanya meneruskan berita yang bermuatan positif.

“Gunakan seperlunya media sosial. Gunakan media sosial untuk meningkatkan produktivitas diri dan jangan menjadi adiktif,” tutur Hesti.

Ia pun mengingatkan tentang tugas FKPT, di antaranya, pengembangan potensi dan kreativitas yag dimiliki oleh generasi muda dalam pencegahan terorisme. Pemberian edukasi bagi kelompok perempuan dan anak dalam pencegahan terorisme

“FKPT pun melakukan penelitian tentang potensi radikal terorisme. Adanya diseminasi dan sosialisasi pencegahan terorisme kepada semua elemen masyarakat di daerah dan pengembangan kreativitas dari berbagai perspektif. Selain itu, menekankan pentingnya literasi informasi pencegahan terorisme melalui media massa, media sosial dan media lainnya,” tutur Hesti Armiwulan. (*)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry