Ibu Kota Myanmar di Naypyidaw yang dijuluki 'Kota Hantu'. /Foto: Twitter @faridgaban.

SURABAYA | duta.co – Di luar dugaan, sampai detik ini, media sosial nahdliyin terus terwarnai diskusi perihal pemindahan Ibu Kota Negara (IKN). Banyak yang menilai kebijakan ini blunder. Keputusan DPR RI mengesahkan Rancangan Undang Undang Ibu Kota Negara menjadi UU, terus mendapat kritik rakyat.

Selain rencana mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin menggugat uji materi UU IKN ke Mahkamah Konstitusi (MK), opsi ‘referendum’ yang muncul dari Wakil Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid atau HNW, tak kalah menarik publik bahas.

“Pemerintah tidak boleh seenaknya memindah IKN. Tanya dulu rakyat, setuju apa tidak? Apalagi selama ini belum ada sosialisasi berarti. Opsi HNW patut untuk kita bahas,” demikian salah seorang warga NU dalam media sosial nahdliyin yang terpantau duta.co, Rabu (26/1/22).

Ada juga yang mengirimkan link berita tempo.co, https://dunia.tempo.co/read/1552772/5-negara-ini-dinilai-gagal-memindahkan-ibu-kota-negara/full&view=ok. Meski ada yang berhasil, tetapi, 5 negara (Myanmar, Australia, Malaysia,  Kazakhstan dan Tanzania) patut menjadi catatan tebal. “Apakah kita akan menambah deretan negara gagal memindahkan IKN? Kita bisa keburu bangkrut?” demikian yang lain.

Seperti kabar di banyak media, Wakil Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid mendorong pelaksanaan referendum untuk meminta persetujuan masyarakat terkait rencana pemerintah yang ingin memindahkan ibu kota ke Kalimantan Timur.

Pelaksanaan referendum dinilai penting mengingat Presiden Joko Widodo, kata HNW, pernah meminta izin masyarakat terkait rencana ingin memindahkan ibu kota. Pernyataan Jokowi tersampaikan dalam forum kenegaraan di sidang MPR 2019 silam.

“Pak Jokowi, pada awal sekali menyampaikan masalah ini, meminta izin kepada rakyat untuk memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan Timur,” kata HNW dalam diskusi daring.

Maka, lanjutnya, “Sangat wajar, mestinya, referendum saja. Untuk mengetahui, sesungguhnya mau rakyat itu bagaimana? Sebagaimana presiden minta izin,” tambah politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu.

Dalam Tinjuan Fiqih

Mukhlas Syarkun, aktivis NU, menyoroti dari sisi ushul fiqh. Pengurus Jam’iyah Thoriqoh Mu’tabaroh Indonesia (JATMI) Pusat ini, menyuguhkan  tiga rumusan, atau hirarki dalam ilmu ushul fikih. Yaitu dharuri (keperluan yang sangat mendesak), al-hajat (keperluan) dan tahsini (pelengkap). “Semua urusan di dunia, termasuk apakah perlu pemerintah memindahkan Ibu Kota Negara (IKN),  bisa kita timbang dengan tiga rumus tersebut,” tulisnya.

Ironisnya, jelas Gus Mukhlas panggilan akrabnya, dari ketiga timbangan itu, IKN tidak masuk. Justru berbahaya. Mengapa? “Karena kita tahu, bahwa, Kalimantan adalah paru-paru dunia yang mensuplay oksigen untuk kehidupan umat manusia sejagad. Oleh karena itu, harus kita jaga, kita rawat sebagai bagian dari merawat kehidupan (hifdun nafs),” jelasnya.

Jadi? “Kalau kita timbang dari tiga rumus ushul fiqh, keberadaan ibu kota, itu bukanlah hal yang dharuri. Bahkan pula hajat umat, juga bukan tahsini. Apalagi seiring dengan perkembangan kemajuan teknologi digitalisasi, IKN dengan desain yang sudah beredar ke publik, ini justru masuk kategori tabdziri (pemborosan), dan pemborosan itu merupakan prilaku setan,” urainya.

Menurut Gus Mukhlas, IKN harus batal. Tetapi, kalau mau dipaksakan, ia setuju dengan opsi HNW, referendum. “Tanya rakyat, mau apa tidak?” pungkasnya.

Murtad Pancasila

Prihandoyo Kuswanto, Ketua Pusat Studi Rumah Pancasila kepada duta.co, menjelaskan, bahwa, memindahkan Ibu Kota Negara, ini jelas bakal memungkasi negara yang di Proklamasikan17 Agustus 1945. Mengapa? Karena, Jakarta itu bukan sekedar Ibu Kota Negara.

“Sejak amandemen UUD 1945, lalu amandemen lagi UUD 2002, tanpa kita sadari
Indonesia bukan lagi negara yang di Proklamasikan17 Agustus 1945. Indonesia jilid 2 sedang menggeliat dan puncaknya mengubur Ibu Kota Negara di Jakarta dengan segala sejarah bangsa dan negara Indonesia. Lalu, mengganti dengan ibu kota negara baru yang namanya mereka paksakan jadi Nusantara,” jelasnya.

Jakarta, jelas Pak Pri, panggilan akrabnya,  bukan hanya sebuah ibu kota negara, tetapi sebuah kota perjuangan. Kota proklamasi, kota simbul lahirnya bangsa Indonesia melalui sumpah pemuda 28 Oktober 1928. Dari kota perjuangan ini kemudian memproklamasikan  kemerdekaan bangsanya, dan kemudian membentuk negara Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945 .

“Dari kota (Jakarta) ini berkumandang Pancasila sebagai dasar negara seantero dunia. Di kota ini pula,  berkibar (pertama kali) bendera Merah Putih, penjahitnya bukan orang sembarangan, Ibu Fatmawati,” terangnya.

Nah, jika benar Ibu Kota Negara pindah, tambah Pak Pri, maka, ini akhir dari  negara yang di-Proklamasikan 17 Agustus 1945. “Hari ini sudah mendekati kenyataan dan hampir finish menjadi Indonesia jilid 2. Indonesia sudah menjadi super liberal dan super kapitalis dengan sokongan penuh sistem oligarki yang masif . Indonesia jilid dua telah  murtad terhadap Pancasila,” jelasnya. (mky)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry