Dr H Muhammad Hidayat Nur Wahid, MA. (FT/netranews.com)

SURABAYA | duta.co – Selain Prof Dr H Ahmad Zahro, MA, Guru Besar Ilmu Fiqih Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UIN-SA) Surabaya, Mustasyar Komite Khitthah Nahdlatul Ulama 1926, pembicara lain acara Launching Lomba Baca Kitab Kuning (LBKK) Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) DPR RI, Kamis (22/10/2020), adalah Dr H Muhammad Hidayat Nur Wahid, MA, Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Wakil Ketua Majelis Syuro PKS.

Sebelum mengupas tema Launching LBKK IV ‘Meneladani Peran Ulama dan Santri dalam Meneguhkan Kedaulatan NKRI’, Hidayat Nur Wahid (HNW) sempat mengklarifikasi tentang penetapan Hari Santri Nasional (HSN) yang jatuh pada tanggal 22 Oktober sesuai Keppres No 22 Tahun 2015.

“Saya perlu mengklarifikasi terlebih dahulu mengapa Hari Santri ditetapkan pada tanggal 22 Oktober, bukan 1 Muharram,” demikian HNW dalam acara Launching LBKK secara virtual tersebut.

Menurut HNW, awalnya, pada tahun 2014, calon presiden Jokowi sudah teken komitmen untuk menjadikan 1 Muharram sebagai Hari Santri Nasional. Jika terpilih sebagai presiden, Jokowi menyatakan akan memperjuangkan janji itu.

“Satu Muharram menjadi Hari Santri Nasional saya sanggupi. Itu wajib diperjuangkan,” jelas HNW menirukan Capres Jokowi, saat berada di Pondok Pesantren Babussalam, Desa Banjarejo, Malang, Jawa Timur, Jumat, Kamis (27/6/2014) sebagaimana ditulis kompas.com.

Ide menjadikan 1 Muharram sebagai HSN ini, lanjutnya, merupakan permintaan santri-santri di Ponpes asuhan Agus Thoriq bin Ziad. Permintaan itu dituangkan dalam surat perjanjian yang ditandatangani Jokowi.

“Saya setuju ada Hari Santri, tetapi jangan 1 Muharram. Saya usul 22 Oktober. Mengapa? Karena tanggal  22 Oktober itu telah diakui publik ada peran konkret Resolusi Jihad yang dikomandani Hadratusyeikh KH Hasyim Asy’ari,” jelasnya.

Nah, di tahun yang sama, 2014, bertemulah HNW dengan Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj (SAS). Saat itu, katanya, Kiai SAS banyak mendapatkan telepon dari kiai-kiai mengenai hari santri nasional.

“Saya sangat setuju, saya tidak bilang sinting. Saya usul, HSN 22 Oktober, itu (usul) satu tahun sebelum Keppres terbit. Bukan untuk menang-menangan, mengapa? Karena 22 Oktober itu banyak sekali keteladanan dari para kiai yang bisa digali, sebagaimana tema Launching LBKK IV kali ini,” jelasnya.

Dukungan Muhammadiyah Terhadap Resolusi Jihad NU

Menurut HNW, banyak ragam nilai yang bisa digali dalam peristiwa Resolusi Jihad 22 Oktober 1945. Pertama, betapa besar cintanya pada kiai dan santri terhadap Indonesia. Mereka pertaruhkan harta, nyawa demi NKRI. Mereka tidak rela Indonesia dijajah lagi oleh Belanda yang membonceng tentara Sekutu melalui Surabaya.

“Ini sekaligus mengoreksi komentar sinis terhadap kiai, santri berikut pesantrennya yang disebut produk limbah. Naudzubillah. Pesantren disebut sarang teroris, radikal bahkan membahayakan NKRI. Ini naudzubillah,” jelas HNW.

Masih menurut HNW, justru kiai, santri dan pesantren ini melalui resolusi jihad menyelamatkan Indonesia dari penjajah. Setidaknya, HSN ini bisa menghilangkan dua phobia (rasa takut). Ada Islamphobia yang selalu mengatakan kemerdekaan RI tidak ada hubungannya dengan Islam.

“Padahal jelas, Resolusi Jihad 22 Oktober 1945, itu bukti nyata umat Islam menyelamatkan kemerdekaan Indonesia,” tegasnya.

Lalu ada phobia Indonesia atau Indonesiaphobia. Ada umat Islam yang memposisikan Indonesia menjadi lain, seperti menyebut Negara Kafir, Negara Bid’ah. Negara ini dikafirkan dan dibid’ahkan.

“Ini juga salah. Bahwa masih ada kekurangan, itulah perlunya amar makruf nahi munkar. Ada kewajiban dakwah, ada kewajiban mengoreksi, watawa saubil haq watawa saubis-sabr.,” tambah HNW.

Kedua, ada nilai HSN atau Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 yang harus dipahami, adalah pemahaman kiai dan santri terhadap Islam yang amat sangat mendalam. Kedalaman ilmu agama ini, menghadirkan syura (mau bermusyawarah), menghadirkan amal jamai.

“Semangat keagamaan yang mendalam ini bisa menghadirkan aksi. Aksinya adalah tidak rela Indonesia dijajah asing. Karena kedalaman ilmu itu, para kiai dan santri tidak mau egois, ananiyah (keakuan), menang sendiri, tidak menolak syura (bermusyawarah), tidak mengkafirkan dan juga tidak membid’ahkan,” urainya.

Itulah sebabnya, terang HNW, para kiai di bawah komando Hadratusyeikh KH Hasyim Asy’ari bisa bermusyawarah di Surabaya, dan menghasilkan Resolusi Jihad. Ini bisa terjadi karena keilmuan agamanya yang dalam, tidak membuat egoistik, tidak merasa paling benar, beliau-beliau berlapang dada untuk bermusyawarah.

Hebatnya lagi, tegas HNW, peristiwa ini tidak berhenti pada tanggal 22 Oktober 1945. Dukungan terhadap Resolusi Jihad terus berlanjut sampai Kongres Umat Islam pertama di Yogjakarta tanggal 7 November 1945, tiga hari sebelum meletus peristiwa 10 November 1945.

Jadi, setelah keluar Resolui Jihad, para ulama juga berkumpul kembali di Jogya, menggelar Kongres Umat Islam pertama. Ada dua keputusan. Pertama mendukung Resolusi Jihad KH Hasyim Asy’ari 22 Oktober 1945. Kedua, PB Muhammadiyah (saat itu masih menggunakan Pengurus Besar) dibawah kepemimpinan Ki Bagus Hadikusumo menandatangani Amanat Jihad.

Harus digarisbawahi, bahwa, Yogjakarta, tentu, mayoritas adalah Muhammadiyah. Saya ingin menyampaikan bahwa kalangan Muhammadiyah atau non-NU sangat mendukung fatwa Resolusi Jihad Mbah Hasyim. Ini menandakan syura tidak berhenti di Surabaya dan terus berlanjut. Mengapa? Karena keilmuannya yang mendalam tentang agama,” tegasnya.

Dengan pemahaman agama yang dalam, tegas HNW, maka, ukhuwah akan terjalin kuat, budaya bermusyawarah berjalan dengan baik, tidak suka diadu domba buzzerRP. Tidak saling menstigma. Dengan ilmu agama yang sangat dalam, maka,  wasyawirhum fil amri (senang musyawarah) dan itu (syura) menjadi ciri khas  ahlussunnah wal jamaah.

Ketiga, dengan ilmu yang mendalam, kiai dan santri juga siap mengoreksi jika ada salah urus. Keutamaan jihad Rasulullah jika terjadi penyimpangan adalah mengoreksinya. Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran.

“Maka, ketika ada pemberontakan PKI, ulama dan santri tidak membiarkan. Tampil di depan. Begitu juga ketika ada DI/TII, tidak membiarkan, tampil melawan. Ketika Negara diubah oleh Belanda menjadi RIS, kiai-santri tidak diam. Jadi, kalau ada yang bilang NKRI harga mati, tetapi curiga kepada pesantren, menuduh radikal, curiga kepada ‘Good Looking. Jangan-jangan dia muallaf NKRI. Karena yang menyelamatkan Indonesia itu justru good looking, orang-orang yang mau menghafal Alquran,” jelasnya.

Karena itu, saran HNW, kita harus bisa meneladani semangat juang para kiai dan santri dalam membangun bangsa ini. Ia lalu mengutip hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam: Tolonglah saudaramu yang berbuat dhalim dan yang didhalimi.

“Kata Baginda Nabi Muhamamd SAW: Bantulah saudaramu yang dhalim mau pun yang didhalimi. Lalu para sahabat r.a bertanya, ‘Kami membantu mereka yang didhalimi ya Rasulullah. Lalu bagaimana kami membantu yang dhalim?’ Di sini Rasulullah saw menjawab: Cegahlah (hentikanlah) ia dari berbuat dhalim, maka, dengan itu engkau menolong saudaramu itu,” pungkas HNW.   (mky)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry