“Para penangung jawab covid di pusat atau di daerah tidak Perlu memberikan harapan harapan yang tidak rasional kepada masyarakat.”

Oleh HM Zahrul Azhar As’ad , M.Kes

SEJAK awal pandemi pemerintah terkesan malu malu menyampaikan konsep herd immunity karena memang diawal pandemi kata kata itu masih menyeramkan dan mudah diserang oleh oleh pihak lawan dengan issue “pembiaran” negara terhadap nasib nyawa rakyatnya karena diawal awal masih belum ada kepastian tentang adanya vaksin, jika tidak ada vaksin maka heerd immunity akan terbentuk jika 60-80% total jumlah penduduk telah terpapar dengan resiko kematian yang sangat tinggi.

Seperti kita ketahui Herd Immunity bisa terjad jika ada dua hal : 1. Vaksin 2. Prosentase keterpaparan dari total jumlah penduduk.

Untuk terjadinya herd immunity tanpa adanya vaksin maka 60-80% masyarakat harus terinfeksi virus Covid-19 tersebut. Jika warga Indonesia saat ini 268 juta, maka untuk mencapai herd immunity alamiah sekitar 160–215 juta penduduk harus terinfeksi. Sisanya yang tidak terinfeksi akan terlindungi.

Dari penduduk yang terinfeksi tersebut kemungkinan yang akan meninggal dengan CFR 5,7% adalah 9,1 juta hingga 12,2 juta penduduk.

Alhamdulilah sekrang sudah tersedia beberapa pilihan vaksin, maka opsi herd immunity alamiah yang menyeramkan tersebut semoga tidak terjadi , namun permasalahannya adalah pada efikasi dari vaksin yang ada.

Dari berbagai sumber mengatakan bahwa efikasi vaksin yang sekarang ini diinjeksikan kepada masyarakat memilki efikasi yang tidak optimal dengan efikasi vaksin hanya sekitar 65%. Lantas apakah dengan efikasi yang tidak optimal ini pemerintah masih mematok pada angka 70% dari total jumlah penduduk yang divaksin?

Mestinya makin rendah efikasi pada vaksin maka makin dtingggikan jumlah Prosentase yang divaksin untuk menurunkan probabilitas keterpaparan

Pemerintah mestinya harus realistis atas efikasi vaksin yang tidak optimal ini dan mempertimbangkan peningkatan jumlah minimum yang divaksin bukan lagi hanya 70% tapi bisa ditingkatkan menjadi 90% untuk mengurangi probabilitas keterpaparan. Karena pada kenyataannya ada yang sudah divaksin 2 kali masih saja terpapar.

Para penangung jawab covid di pusat atau di daerah tidak Perlu memberikan harapan harapan yang tidak rasional kepada masyarakat, fokus saja pada ketercapaian target vaksin, silahkan berisik untuk kegiatan promotif dan preventif tapi perbanyak kerja dalam senyap dalam hal vaksin dan kurasi .

Fokus saja pada perbanyak jumlah nakes dan faskes, dan yang tidak kalah penting apresiasi para nakes yang setiap hari bertaruh nyawa dengan insentif yang cukup.

VAKSIN MASIF bukan VAKSIN MASAL.

Masif dan masal memiliki konotasi yang berbeda , geraka masiv lebih “kleindstain” dan senyap sementara massal memiliki konotasi keramaian dan lebih banyak “berisik” nya dari pada hasilnya, banyak pihak yang ingin mengambil “faidah dari keberisikan” untuk kepentingan diluar kesehatan .

Optimalkan puskesmas dan hidupkan Posyandu , perbanyak mencetak vaksinator di lapangan dan diperbantukan pada lembaga lembaga kesehatan yang sudah existing di lapangan (puskesmas) . Libatkan RT RW untuk pendataan, latih mereka dasar dasar Tracing .

Mestinya leading sector dari semua ini adalah departemen kesehatan dan jajarannya dibawahnya. Semetara pihak yang lain ( TNI ,Polri ,Ormas , dll) cukup sebagai pelengkap komplementer untuk percepatan saja dengan menyasar segmen masyarakat atau komunitas yang komunal seperti pesantren, seminari atau sekolah sekolah yang ber asrama yang nama namanya tak terdata pada Puskemas terdekat.

Semakin banyak kanal yang terlibat maka dipastikan semakin banyak variabel permasalahan dalam proses pendistribusian vakisn, dan akan berdampak pada ketepatan jadwal vaksin kepada masyarakat. Lagi lagi masyarakat yang akan jadi korban.(*)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry