Agus Wahyudi, SSos, MPd – Dosen PGSD FKIP UNUSA

DAMPAK  kerentanan sosial dapat membuat masyarakat melakukan tiga tindakan yang saling terkait, yaitu tindakan apatis, tindakan irasional, dan tindakan kriminal.  Pertama, tindakan apatis. Pada tindakan apatis bisa kita lihat pada tindakan masyarakat yang tidak peduli dengan instruksi untuk  menjalankan protokol kesehatan.

Kedua, tindakan irasional. Pada tindakan irasional tidak sedikit masyarakat meyakini pelbagai bahan obat dan metode pencegahan agar tidak terkena Covid-19 sekalipun belum ada bukti penelitian ilmiahnya, panic buying, berhutang ke rentenir, hingga bunuh diri. Ketiga, tindakan kriminal.

Hal paling dikuatirkan dari kerentanan sosial atas pandemi Covid-19 adalah tindakan kriminal seperti pencurian, penjambretan, pencopetan, pemalakan, penjarahan, bahkan pembunuhan. Tindakan kriminal yang dilakukan karena dasarnya masyarakat itu berada dalam kondisi stabil, sistem – sistem kehidupannya beroperasi secara lancar dan berfungsi.

Namun, akibat pandemi Covid-19, kondisi kestabilan dan keberfungsian ini terganggu. Untuk dapat berada pada posisi stabil dan berfungsi, bagi masyarakat yang tidak memiliki akses kapital dengan baik, maka jalan singkat yang beresiko akan dilakukannya.

Tiga tindakan dan beserta beberapa contohnya, hanya sebagian dari dampak kerentanan sosial yang terjadi di masyarakat akibat pandemi Covid-19. Tentu contoh kasus lain bisa kita amati bersama dipelbagai media dan realitas lingkungan kehidupan.

Komprehensif

Penerapan new normal terjadi polemik. Satu sisi dianggap akan meningkatkan kasus Covid-19 dan lain sisi menjadi upaya meredam tingginya kerentanan sosial yang terjadi di masyarakat. Bahkan ada indikasi bahwa new normal sebagai upaya menyamarkan ketidakmampuan negara untuk mengatasi pandemi Covid-19.

Pandemi Covid-19 tentu membuat pemasukan negara menjadi berkurang. Sementara negara harus melindungi dan meminimalisir dampak pandemi Covid-19 pada warga negaranya. Maka untuk itu pandemi Covid-19 dianggap menjadi beban anggaran negara dengan berbagai program jaring pengaman sosialnya.

Namun dalil beban negara ini bukan jadi alasan negara untuk mengurangi kewajiban kepada warga negaranya. Sebab memang sudah kewajiban negara secara konstitusi untuk menjamin dan melindungi setiap warga negaranya dari pelbagai ancaman, salah satunya pandemi Covid-19.

New normal harus direncanakan secara komprehensif. Sebab penerapan new normal seperti pisau bermata dua, bisa menguraikan masalah dan sebaliknya menambah masalah. Protokol kesehatan dapat dengan mudah dirumuskan, namun belum tentu realitas pelaksanaannya dilapangan mudah dilakukan. Maka untuk itu pelbagai kajian multidisiplin ilmu perlu menjadi pertimbangan pemerintah dalam menerapkan kebijakan new normal.

Penerapan new normal dapat berkaca pada pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Tidak sedikit pelanggaran protokol kesehatan terjadi. Lalu bagaimana dengan tingkat pelanggaran protokol kesehatan saat diterapkannya new normal.

Pelanggaran protokol kesehatan di masa transisi new normal dapat tergambarkan pada suasana di stasiun kereta api, pusat pertokoan, dan transportasi publik. Rupanya tidak berbeda jauh dengan pelanggaran di masa PSBB, bahkan lebih tinggi tingkat pelanggarannya. Masihkah tetap dilonggarkan PSBB? Kiranya perlu dievaluasi kembali.

Elaborasi State dan Society

Jika skenario new normal menjadi pilihan sambil menunggu vaksin Covid-19 ditemukan, maka kolaborasi dari semua pihak menjadi syarat wajib. Tidak hanya pemerintah, tetapi masyarakat pun harus menjalankan protokol kesehatan yang sudah ditetapkan. Jika tidak ada kolaborasi, kasus terinfeksi Covid-19 akan semakin parah peningkatannya seperti yang diprediksi oleh para ahli kesehatan.

Agar terbangunnya kolaborasi ini, pemerintah sebagai aktor utama harus komitmen dalam menjalankan perannya. Kebijakan pemerintah senantiasa berorientasi kepada masalah (problem-oriented) dan berorientasi kepada tindakan (action-oriented). Langkah – langkah secara terencana dan konsisten patut dilakukan.

Untuk meningkatkan rasa kepercayaan antar aktor dalam terciptanya kolaborasi, maka pemenuhan perlindungan sosial, jaminan sosial, maupun pelayanan sosial menjadi hal mutlak. Masyarakat akan merasa aman dan mau berkolaborasi karena negara hadir dan peduli. Jangan salahkan masyarakat jika kolaborasi tidak terbangun maksimal.

 Sebab mereka saja memikirkan nasibnya karena merasa tidak aman (insecure) dalam situasi dan kondisi pandemi saat ini. Mereka harus memikirkan bagaimana harus memenuhi kebutuhan pokok hidup keluarganya, bagaimana membayar hutang piutang, dan lain sebagainya. Maka untuk itu negara harus hadir dalam rupa yang sempurna, karena negara memiliki banyak akses sumber daya.

Kebijakan publik pun dirumuskan dengan berpihak pada situasi dan kondisi masyarakat. Bukan justru kebijakan publik yang menambah beban bagi masyarakat. Negara membangun kepercayaan, kolaborasi adalah keniscayaan.

Sebagai penutup, “wajah lama sudah tak keruan di kaca, sedang wajah baru belum jua jelas” ungkap Mochtar Lubis dalam kesimpulan manusia Indonesia. Ungkapan ini dapatlah disinonimkan seperti, “PSBB masih banyak pelanggaran, sedang new normal menyapa untuk diterapkan”. *

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry