SURABAYA | duta.co – Selama tiga bulan terakhir ini, Dian Ayu Paramitha (28), harus mondar-mandir ke Pengadilan Militer (PM) III Surabaya di Jalan Raya Juanda. Ini dijalani dengan penuh suka cita demi mewujudkan hukum yang adil tanpa melihat status dan jabatan.

Mitha panggilan akrab Penasihat Hukum ini, ke PM III Surabaya sesuai dengan surat kuasa yang diterimanya untuk mendampingi ibu kandung dari Sersan Satu (Sertu) Indra Cahya Kurniawan, sebagai pelapor. Sertu Indra merupakan korban tindak kekerasan yang dilakukan atasannya yakni Mayor Cba M Idris. Di PM III Surabaya inilah, Mitha merasa mendapat pengalaman unik pertama dengan profesinya sebagai Penasihat Hukum.

Dari sidang putusan di Pengadilan Militer tersebut, putusan Majelis Hakim berlawanan dengan hukum yang berlaku. Dalam sidang putusan 2 Juli 2021 lalu, yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Kolonel Chk Suwignyo Heri Prasetyo, Mayor Cba M Idris hanya diputus tujuh bulan percobaan karena putusan diambil berdasarkan KUHP Umum.

“Dalam persidangan tersebut, Majelis Hakim menjatuhkan hukuman penjara selama empat bulan, dengan hukuman masa percobaan tujuh bulan dan membayar biaya perkara sebesar Rp25 ribu. Terdakwa tidak perlu melaksanakan hukuman penjara. Ini tidak sesuai dengan hukum yang berlaku (leks spesialis) karena menggunakan KUHP Umum. Putusan yang dijatuhkan hanya berdasarkan pada pelanggaran pasal 351 ayat (1) jo pasal 352 ayat (1). Seharusnya menggunakan KUHPM pasal 131 dimana jika terbukti melakukannya saat dinas di militer, dengan ancaman penjara maksimal 4 tahun,” paparnya.

Untuk itulah, bersama Oditur dirinya akan mengajukan banding. Dan persidangan akan digelar di Pengadilan Militer Utama di Jakarta.
Mitha menjelaskan, putusan Majelis Hakim menunjukan seseorang dengan jabatan yang dimiliki mendapat hukuman yang ringan atas apa yang sudah dilakukan terhadap anak buahnya. Jelas ini makin mempertegas stigma masyarakat bahwa hukum tumpul di atas lancip di bawah.

“Yang benar adalah hukum itu berlaku sama bagi siapa saja tanpa memandang apakah dia seorang pejabat atau masyarakat biasa. Kasus yang saya tangani di PM ini bertentangan dengan hukum yang berlaku,” tukasnya.

Itu sebabnya, bersama Oditur dirinya akan mengajukan banding ke Pengadilan Militer Jakarta. Dengan harapan, kliennya mendapatkan keadilan hukum atas apa yang terjadi pada klien.

Memilih profesi Penasihat Hukum, kata Mitha, terinspirasi dari Profesor Dr Mahfud MD ahli hukum tata negara. Profesor Mahfud mampu menjalankan profesinya dengan luar biasa. Sementara Mitha ingin melakukan hal yang benar namun di jalur hukum pidana.

Mitha mengakui tidak mudah menjadi Penasihat Hukum. Apalagi dirinya sosok perempuan yang tidak mudah menekuni profesi yang mayoritas disandang kaum pria.

“Perempuan biasanya mudah tersentuh perasaannya. Namun jika menjadi Penasihat Hukum harus tatag, harus berani mengambil keputusan dan butuh kekuatan mental. Karena ini menyangkut penegakan hukum yang adil bagi siapa saja,” uja lulusan S1 Fakultas Hukum Universitas Yos Sudarso Surabaya tahun 2014 kemudian melanjutkan S2 Magister Hukum.

Profesi yang dijalani ini juga menunjukkan bahwa perempuan bisa menjadi Penasihat Hukum yang hebat dan bisa diandalkan oleh masyarakat yang membutuhkan bantuan hukum.

Saat ditanya tentang pekerjaan dan rencana membangun keluarga, Mitha yang tercatat sebagai anggota organisasi Persatuan Advokat Nusantara, mengatakan, nantinya akan dijalani secara berdampingan.

“Saat ini saya belum punya pendamping. Kalau toh suatu hari menemukan pendamping, pasti akan dijalani secara berimbang antara profesi sebagai Penasihat Hukum dan profesi sebagai Ibu Rumah Tangga. Karena menjadi Penasihat Hukum sudah cita-cita sejak kecil dan banyak hal menarik di dunia penegakan hukum,”tukasnya. end

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry