Halaqah KKNU-26 di Ndalem KH Hasib Wahab, Tambakberas, Jombang. (FT/duta.co)

JOMBANG | duta.co – Sejumlah kiai dan habaib merasa plong, begitu mendengar KH Hasib Wahab Chasbullah, putra Almaghfurlah KH Abdul Wahab Chasbullah, siap menggantikan almaghfrulah KH Salahuddin Wahid (Gus Solah) sebagi Ketua Umum Komite Khitthah Nahdlatul Ulama 1926 (KKNU-1926).

“Saya mestinya istikharah dulu. Tetapi, karena para kiai sudah bulat, tidak bisa ditawar, maka, demi kebaikan NU, dengan mengucap Bismillahirrahmanirrahim, saya akan berusaha bekerja semaksimal mungkin untuk kemaslahatan umat,” demikian disampaikan Gus Hasib, panggilan akrab KH Hasib Wahab, di depan para kiai yang hadir di rumahnya, Tambakberas Jombang, Ahad (28/6/2020).

Menurut Gus Hasib, KKNU-1926, lembaga yang dikawal para kiai kultural NU, bertujuan menegakkan Khitthah-NU, memang, sangat diperlukan. Tetapi, harus dipahami, bahwa, KKNU-1926 bukan merupakan rival PBNU, melainkan ‘mitra berpikir’ dalam rangka menegakkan khitthah NU yang menjadi amanat para muassis NU.

KH Hasib Wahab (FT/wartakota.com)

“Diakui atau tidak, godaan menegakkan khitthah, memang tidak kecil. KKNU-1926 sebagai gerakan fikrah, ikut berpikir bagaimana khitthah ini bisa tegak. Kita memang harus saling mengingatkan, kita harus meneguhkan budaya dan akhlaq nahdliyin dalam menuntaskan persoalan,” lanjut Gus Hasib.

Mendengar kesiapan Gus Hasib, sejumlah kiai sepuh tak kuasa menahan haru. KH Muchit Abdullah (Malang), misalnya, meski usianya sudah memasuki 82 tahun, tetapi, demi perbaikan NU, ia merasa wajib ikut serta.

“Saya ini sudah tua. Ingin menyaksikan NU benar-benar khittah, tidak terombang-ambing oleh politik praktis. Saya tidak ingin duduk dalam kepengurusan NU, sama sekali tidak. Tetapi, kalau NU kemudian menjadi alat politik untuk merebut jabatan, menangis dan dosa kita, malu sama almaghfurlah Mbah Hasyim, Mbah Wahab,” jelas KH Muchit tak kuasa menahan air mata.

Demikian pula KH Suyuthi Toha dari Banyuwangi. Santri kesayangan KH Maimun Zubair ini, hanya ingin menyaksikan NU memegang teguh khittah-1926. Karena, kalau NU tidak lagi khitthah, maka, bahayanya untuk hanya menimpa nahdliyin, tetapi, juga mengancam keutuhan bangsa, mengancam NKRI.

“Terima kasih Gus Hasib, semoga NU terselamatkan dari upaya-upaya dholim, Alfaatihah,” jelas Kiai Suyuthi Toha.

Banyak Cabang Mengeluh

KH Ghozi Wahib Wahab (Jawa Tengah) juga mengaku senang mendengar Gus Hasib siap meneruskan perjuangan yang digagas Gus Solah. Menurut KH Ghozi, terlalu banyak masalah di PBNU, sementara tidak ada yang berani mengingatkan. Bahkan Kiai Ghozi menyebut banyak oknum PBNU yang sudah jauh dari akhlaq para kiai.

“Kita saksikan, juga disaksikan seluruh umat, tokoh-tokoh NU tidak lagi mengindahkan fiqh, bagaimana hukum bersalaman dengan lain jenis yang bukan mahram. Ada juga yang salat  di Gereja, ada yang muji-muji PKI, ada yang joget di kantor NU dengan instruktur perempuan. Karena itu, KKNU-1926 ini harus berani meluruskan, KK-NU ini akan menjadi ladang juang, diniati ibadah, jalan menuju surga,” tegasnya.

H Agus Aam Solachul Aam Wahib, juga berterima kasih kepada Gus Hasib. Menurut Gus Aam, panggilan akrabnya, banyak masalah penting – baik terkait internal NU maupun eksternal, dalam berbangsa dan bernegara — yang lolos dari perhatian PBNU, apakah karena faktor lalai atau faktor lain.

“RUU HIP ini masalah serius. NU memang bersikap, tetapi, telat. Ada apa ini? RUU HIP ini jangan sampai terulang. Semua melihat ada modus terselubung, mengancam eksistensi Pancasila dan NKRI. Kiai-kiai juga perlu membahas tentang Keppres Nomor 24 Tahun 2016, di mana Pemerintah menetapkan 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila, ini masalah serius,” jelas Gus Aam.

Akhirnya, pertemuan di Ndalem Gus Hasib ini, berakhir sampai salat dhuhur, untuk kemudian dilanjutkan di Ndalem Prof Dr Achmad Zahro, masih di kompleks Pondok Tambakberas, Jombang.

Di sini banyak masalah-masalah strategis yang dibahas para kiai. Termasuk beredarnya rumor bahwa, SK kepengurusan NU, baik di tingkat wilayah mau pun cabang, kini sudah bermuatan politis.

“Sejumlah cabang mengeluh, kalau tidak cocok dengan kepentingan politik oknum di PBNU, bisa-bisa SK tidak keluar,” demikian salah seorang peserta halaqah KKNU 1926 yang ke-13 ini. (mky)