SURABAYA | duta.co – Suasana debatable terus mewarnai warganet terkait narasi ‘Politik Identitas’. Sampai hari ini, Kamis (24/11/22), jagat medsos masih ramai dengan ‘politik identitas’.

Ada yang sengaja menggunakan isu itu untuk menjegal Anies Baswedan sebagai Capres, lalu menyebutnya sebagai Bapak Politik Identitas, tetapi, tak kalah banyak yang membantahnya. Walhasil, narasis ‘Politik Identitas’ itu menjadi bahan lelucon.

“Malaikat saja tanya identitas. Ada 6 pertanyaan (malaikat) Munkar dan Nakir dalam kubur. Ini menjadi wasiat utama Pak Modin ketika menalqin mayit. Man Rabbuka (Siapa Tuhanmu)? Wa man nabiyyuka (siapa Nabimu)? Wa ma dinuka (apa Agamamu)?  Wa man imamuka (siapa Imammu)?  Wa ma qiblatuka (apa Kiblatmu)? Dan  wa man ikhwanuka (siapa temanmu? Ini semua identitas,” tegas H Tjetjep Mohammad Yasien, aktivis Pergerakan Penganut Khitthah Nahdliyyah (PPKN) kepada duta.co Kamis (24/11/22) pagi.

Menurut alumni PP Tebuireng Jombang ini, kampanye ‘larangan’ menggunakan politik identitas itu sekarang menjadi bahan lelucon. Karena apa? Karena arahnya jelas, untuk menjegal Anies Baswedan.

“Saya baca di sejumlah grup WA warga nahdliyin, semua tertawa ngakak. Ini maksudnya apa? Maunya apa? Akhirnya menjadi jelas, karena mereka sematkan ke Pak Anies Baswedan sebagai Bapak Politik Identitas. Jadi ada ketakutan yang luar biasa terhadap Pak Anies. Lucunya, PBNU ikut-ikutan,” tegas Gus Yasien panggilan akrabnya.

Masih menurut keluarga dari Buntet, Cirebon, Jawa Barat ini, narasi politik identitas itu hanyalah sebuah framing. Mau dikembangkan untuk kepentingan politik sesaat.  Sementara mereka lupa, bahwa, pengerasan politik identitas itu, justru Ahok (asuki Tjahaja Purnama) yang melakukan saat Pilkada DKI Jakarta. “Saya salut melihat perlawanan Gus Choi (Effendi Choirie red.) yang melawan arus gerakan pengguna isu politik identitas,” tegasnya.

Jangan Ajari Kami

Memang, belakangan, beredar video pendek Ketua DPP Partai Nasional Demokrat (NasDem) Effendi Choirie (Gus Choi) dalam sebuah acara debat TV-One bersama Karni Ilyas. Durasinya tidak panjang, hanya 04.30 menit. Tetapi, pemirsa, mayoritas umat Islam, lega menyaksikan Gus Choi berani melawan arus, bicara tegas perihal politik identitas.

Menurutnya, bernarasi dalam politik itu, sah-sah saja. Tetapi kalau ada narasi seolah-olah Anies Baswedan itu membahayakan bagi bangsa, ini yang harus kita lawan, kita bantah. Kita harus menghormati semua warga negara. Kita punya hak yang sama, dipilih dan memilih. “Punya tanggungjawab yang sama demi majunya bangsa dan negara. Hanya cara yang berbeda, pilihan berbeda,” tegasnya.

Ada pun soal simbul identitas segala macam itu, perlu. Kita semua beridentitas. Masalahnya adalah Pilkada DKI yang dinilai penuh dengan sentiment agama. Apa kata Gus Choi?

“Lahirnya pemilu di Jakarta (yang semrawut) seperti ini, sebenarnya faktor utamanya bukan Anies lho, tapi Ahok. (Ahok itu) orang Kristen, China tetapi mengutip ayat Alquran. Jadi berangkatnya dari situ. Ia menafsirkan ayat semaunya. Di sini sebenarnya titik tolaknya. Apa kita tidak tahu? Atau sengaja melupakan, (padahal) ini yang menjadi penyebab,” tegas Gus Choi.

Harus Kita Bantah

Nah, dari situ, tegas Gus Choi, muncul reaksi. Dari aksi Ahok ini, ada reaksi. “Reaksi berbau agama itu kemudian jadi sebuah framing seolah ini politik identitas buruk dan mereka tujukan kepada Anies. Ini yang harus kita bantah. Itu ahistoris. Itu karangan, itu framing. Aktor utama yang menampilkan politik identitas adalah Ahok. Meski waktu itu kita dukung karena kinerjanya,” tambahnya.

“Jadi, kalau kita mau mencari-cari politik identitas, cari dulu ujung persoalannya. Persoalannya adalah Ahok. Mari kita lihat ke belakang. Tidak ada sebelumnya. Saya ikut kok. Saya ikut berproses di situ, menjadi saksi saya ini. Termasuk ketika ada acara TvOne mempersoalkan ini di Hotel Borobudur, saya ikut. Jadi faktornya, memang Ahok. Barulah ada reaksi, reaksi itu dari mayoritas rakyat, di mana Indonesia ini mayoritas muslim. Ini harus kita sadari,” tegasnya.

Menurut Gus Choi, kalau ada bau-bau agama seperti itu, menjadi logis. Secara filosofis masuk akal, secara sosiologis ndak bisa kita hindari, secara yuridis juga boleh. Dan, ini tidak dalam rangka menghancurkan Indonesia, justru untuk Indonesia.

“Jangan lupa, masalah sosiologis ini, lalu direaksi dengan narasi identitas-identitas. Saat itu pukulannya (Ahok) kepada siapa? Kepada umat Islam (mayoritas). Apa nggak sakit begitu? Nah, oleh karena itu, kalau ada yang mau angkat itu, kita bisa berbantah-bantahan. Maka, akhirnya framing politik identitas itu seolah-olah negatif. Bagi kami muslim secara mayoritas, dan bagi Anies yang secara spesifik dijuluki Bapak Politik Identitas segala macam, ini saya kira ini tidak fair, harus kita akhiri,” sarannya.

Ke depan, tambahnya, kita kompetisi ide, gagasan, bagaimana Indonesia ke depan dalam menyelesaikan utang, bagaimana kesejahteraan rakyat, bagaimana keadilan hukum dan segala macam. Kita debat di situ, bukan ngeframing orang semaunya sendiri.

“Ada lagi (yang mengolok) dengan bahasa kearab-araban. Lalu apa bedanya dengan kechina-chinaan. Arab-China, siapa pun yang menjadi warga negara Indonesia punya hak yang sama. Kita hanya berbeda selara, pilihan warna. Jangan ajari kami tentang nasionalisme. Kami fasih menjelaskan butir-butir tentang Pancasila itu, dengan dimensi keagamaan yang sesuai dengan sosiologi dan antropologi Indonesia,” tegas Gus Choi. (mky)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry