Kuasa Hukum CV Pandu, Iwut Widiantoro

MOJOKERTO | duta.co – Gugatan Tata Usaha Negara (TUN) CV. Pandu Putra Majapahit terhadap Wali Kota Mojokerto dan Satpol PP Kota Mojokerto hingga kini masih terus berlanjut.

Setelah pada Kamis (22/10/2020) lalu, Pemkot Mojokerto menghadirkan saksi dalam kasus tersebut. Kini kuasa Hukum CV Pandu Putra Majapahit akan mengajukan persidangan setempat. Hal itu agar majelis hakim mengetahui ada maladminitrasi di Pemkot Mojokerto.

Kuasa Hukum Iwut Widiantoro SH, menjelaskan bahwa pihaknya akan melakukan dan mengajukan persidangan setempat yang nantinya papan reklame yang tidak dibongkar akan dikunjungi hakim PTUN secara langsung.

“Usai pemanggilan saksi nanti kami dan tim akan mengajukan persidangan setempat. Tujuanya agar mengetahui secara pasti mana reklame yang tidak berijin namun tidak dilakukan pembongkaran,” kata Iwut, Senin (26/10/2020).

Lebih lanjut, Iwut mengatakan bahwa saksi yang dihadirkan Pemkot, yakni pengusaha yang diduga pemegang tender pembongkaran reklame yang disangkakan bodong atau tak berijin justru dalam keteranganya malah menguatkan pihaknya atau menguatkan tuntutan penggugat.

“Sebenarnya saksi dari pemkot justru menguatkan kami, karena dalam keteranganya mengaku memotong reklame milik CV. Pandu Putra Majapahit sampai bawah, namun reklame miliknya dipotong hanya pada bagian atas, nah itukan justru menguatkan kami. Itu jelas menegaskan kalau kinerja Satpol PP Kota Mojokerto tebang pilih “, jelasnya.

Sebelumnya,  dalam persidangan dengan agenda keterangan saksi ahli, pihak penggugat CV Pandu Putra Majapahit, menghadirkan dua saksi fakta dan satu saksi ahli hukum administrasi negara Dr Ima Mayasari, SH, MH, yang juga dosen Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia.

Ima dalam kesaksiannya menjelaskan, sengketa gugatan CV. Pandu Putra Majapahit kepada Satpol PP dan Walikota Mojokerto sudah tepat. Sebab, badan hukum tersebut merasa diperlakukan tidak adil atau dirugikan oleh keputusan maupun tindakan tata usaha negara (TUN) yang dikeluarkan oleh aparatur pemerintah.

Ditandaskan Ima, moratorium yang dilakukan oleh Walikota Mojokerto merupakan kebijakan pemerintah daerah namun dilakukan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Dalam hal ini tindakan Walikota Mojokerto menerbitkan Instruksi Walikota Mojokerto Nomor: 188.55/3a/417.111/2019 tentang Moratorium Izin Penyelenggaraan Reklame yang kemudian diperpanjang dengan Instruksi Walikota Mojokerto Nomor: 188.55/3a/417.111/2019 tertanggal 22 Juli 2019 adalah Tindakan Pemerintahan.

“Dengan demikian perbuatan melawan hukum oleh Walikota Mojokerto dalam menerbitkan Instruksi Moratorium Izin Penyelenggaraan Reklame merupakan tindakan pemerintahan, sehingga menjadi kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara untuk mengadili berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan,” katanya.

Dalam pendapat hukumnya, dosen yang memiliki keahlian dalam bidang hukum administrasi negara, governansi (tata kelola), reformasi regulasi, kebijakan publik ini menyebut, bahwa tidak terdapat dasar hukum yang menjadi landasan diterbitkannya moratorium dalam Instruksi Walikota Mojokerto Nomor: 188.55/3a/417.111/2019 tentang Moratorium Izin Penyelenggaraan Reklame yang kemudian diperpanjang dengan Instruksi Walikota Mojokerto Nomor: 188.55/3a/417.111/2019 tertanggal 22 Juli 2019.

“Instruksi Walikota ini diterbitkan dalam rangka menjamin terselenggaranya perizinan reklame yang tertib di Kota Mojokerto, dimana Walikota Mojokerto memberikan instruksi kepada Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kota Mojokerto untuk melaksanakan moratorium izin penyelenggaraan reklame di Kota Mojokerto. Namun, tidak dijelaskan alasan mengapa dilaksanakan moratorium izin penyelenggaraan reklame,” terangnya.

“Meskipun dilakukan dilakukan moratorium izin penyelenggaraan reklame namun masih diberikan izin bagi pemasangan reklame insidentil. Ini kontradiktif,” tandasnya.

Dengan demikian, lanjutnya, terdapat ketidakkonsistenan antara judul Instruksi Walikota Mojokerto dengan batang tubuh atau substansi yang masih memberikan izin penyelenggaraan reklame,” urai doktor ilmu administrasi negara UI tersebut.

Disebut Ima, dalam Peraturan Walikota Mojokerto Nomor 90 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Reklame, kategori reklame insidentil adalah reklame yang mendapatkan izin tertulis untuk penyelenggaraan reklame yang berlaku kurang dari satu tahun.

Namun dalam prakteknya, banyak terjadi pelanggaran ketertiban reklame insidentil dibandingkan dengan reklame tetap terbatas.

“Dilihat dari persyaratan izin pemasangan reklame tetap terbatas baru lebih rigid, dibandingkan dengan izin pemasangan reklame insidentiil, serta pelanggaran ketidaktertiban lebih banyak dilakukan oleh jenis reklame insidentiil dibandingkan dengan jenis reklame tetap terbatas,” cetusnya.

Ia menilai, terdapat ketidaksesuaian antara penerbitan Instruksi Walikota Mojokerto tentang moratorium izin penyelenggaraan reklame dengan Peraturan Walikota Mojokerto Nomor 90 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Reklame.

“Seharusnya Walikota memberikan perlakuan yang sama atau setara terhadap semua jenis reklame yaitu reklame tetap terbatas dan reklame insidentil. bukan kemudian menggunakan frasa moratorium izin penyelenggaraan reklame secara umum, namun isinya tidak memberikan moratorium kepada reklame insidentil,” cetusnya.

Dalam Kasus ini, kata Ima lebih lanjut, dengan adanya moratorium yang dilakukan oleh Walikota Mojokerto, yang kemudian mengakibatkan CV Pandu Putra Majapahit tidak dapat melakukan perpanjangan Izin, kemudian ini dijadikanlah kesempatan oleh Satpol PP Kota Mojokerto untuk melakukan Penertiban terhadap reklame milik CV Pandu Putra Majapahit yang dianggap ilegal.

“Dalam hal demikian maka pelaku usaha tidak memiliki jaminan kepastian hukum, karena konteks pajak daerah melihat lebih kepada aspek pemanfaatan dari reklame tersebut yang perlu dibayar oleh wajib pajak,” tukasnya.

Sidang gugatan berawal dari tindakan hukum pembongkaran media reklame milik CV Pandu Putra Majapahit oleh Satpol PP Kota Mojokerto dan moratorium (penundaan perpanjangan dan/atau pemberian izin baru) terhadap penyelenggaraan reklame oleh Walikota Mojokerto.

Melalui kuasa hukumnya, Iwut Widiantoro, SH dan rekan, Direktur Utama Cv. Pandu Putra Majapahit, Mohammad Agus Fauzan menggugat dan meminta majelis hakim PTUN Surabaya menyatakan tindakan pembongkaran reklame oleh Tergugat I Satpol PP Kota Mojokerto merupakan tindakan yang tidak sah menurut hukum, dan merupakan tindakan Sewenang-wenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat 3 huruf a Undang-Undang nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan.

Serta menyatakan tindakan administrasi yang di lakukan oleh Tergugat II Walikota Mojokerto, merupakan tindakan administrasi yang tidak berdasar dengan hukum.

Menyatakan para tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum Onrechmatige Overheidsdaad (DOD). Menghukum para tergugat untuk membayar kerugian materil yang dialami Penggugat sebesar Rp. 3.650.000.000. ari

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry