(FT/A-Speakers)

Oleh: Dr Ir Istirochah Pujiwati, MP*

“Para ilmuwan internasional memprediksi bahwa pada tahun 2030 Indonesia akan kehilangan 2.000 pulaunya. Berdasarkan beberapa jurnal ilmiah yang diterbitkan, pada tahun 2030 nanti temperatur udara di Indonesia akan naik mencapai 0,8 derajat celcius. Musim hujan dan musim panas akan mengalami perubahan jangka waktu. Musim hujan yang akan berlangsung lebih cepat dari biasanya. Kita hanya punya waktu beberapa bulan untuk bermain hujan, selebihnya akan terpapar panas.”

MEDIA cetak dan elektronik setiap hari tidak lepas dari pemberitaan tentang virus korona, Wuhan, dan berbagai pernak-pernik terkait hal tersebut. Banjir, tanah longsor, gempa bumi, gunung meletus juga terjadi di berbagai wilayah. Betapa planet ini telah mengalami berbagai “masalah” dan manusia sebagai kalifah di bumi ini punya kontribusi besar akan terjadinya berbagai bencana. Pemanasan global (global warming) salah satu hal yang tidak banyak diperhatikan pemerintah, merupakan hal penting penyebab berbagai bencana seperti banjir, banjir rob (naiknya permukaan air laut di beberapa wilayah Indonesia), tanah longsor. Planet bumi terus memanas, dari kutub utara hingga selatan. Sejak 1906, suhu rata-rata permukaan planet ini terus meningkat antara 1,1 dan 1,6 derajat Fahrenheit (0,6 hingga 0.9 derajat Celsius)—bahkan lebih di daerah kutub.  Penyebab utama global warming yang ditandai dengan meningkatnya suhu bumi adalah penebangan hutan secara liar (illegal logging), pembakaran hutan yang membabi-buta. Berkurangnya vegetasi atau lahan terbuka hijau di bumi, yang berfungsi menyerap karbondioksida (sebagai salah satu gas rumah kaca), terjadilah emisi gas rumah kaca (green house effect) yang berakibat terakumulasinya panas dan meningkatkan suhu bumi.

Detik.com (30 Januari 2020) melansir bahwa global warming yang kini terjadi berdampak amat buruk ke beberapa kawasan di dunia. Beberapa wilayah bahkan terancam hilang. Beberapa gunung es telah mencair akibat pemanasan global yang terus menerus terjadi. Akibatnya cuaca ini merubah beberapa wilayah dunia, bahkan beberapa di antaranya telah menghilang. Tujuh kawasan yang dinyatakan hilang di antaranya Gletser Pizol di Swiss, pemandangan salju abadi di jalur pegunungan Alpen, penyusutan gletser yang drastis di gunung Okjokull Islandia, puncak gunung Kebnekaise di Swedia menyusut 24 meter, ketinggian gletser di pegunungan Himalaya rata-rata menciut 0,5 meter per tahun, daratan es putih tidak ada lagi di Greenland (setiap tahun mencairnya es menaikkan permukaan laut hingga 1 mm), dan Fairborne, kota pesisir di Inggris juga terancam hilang akibat pemanasan global.

Terhadap keberadaan keanekaragaman hayati, global warming menjadi ancaman yang tidak boleh dianggap remeh. Organisasi internasional untuk konservasi alam, International Union for Conservation of Nature (IUCN) mengeluarkan daftar terbaru spesies yang terancam punah di seluruh dunia pada Juli 2019. Daftar tersebut, populer sebagai IUCN Red List daftar merah IUCN, menilai risiko kepunahan 106.000 spesies dan menemukan lebih dari 28.000 di seluruh dunia terancam. Pemberitaan sebelumnya memperkirakan 1 juta spesies mengalami kepunahan, namun daftar yang dikeluarkan oleh IUCN berdasarkan pada kriteria ketat yang menilai masing-masing spesies. Daftar tersebut juga menjadi standar dunia untuk mengetahui risiko kepunahan keanekaragaman hayati. Peneliti bernama Bill Fraser, telah melacak penurunan populasi penguin Adelie di Antarktika, yang jumlahnya menyusut dari 32.000 pasangan menjadi 11.000 dalam 30 tahun.

Kondisi di Indonesia

Indonesia yang terletak di garis khatulistiwa tidak terlepas dari dampak yang diakibatkan oleh global warming, di mana Indonesia juga ditengarai memperparah kondisi pemanasan global. Tiga dampak yang lambat laun akan dirasakan Indonesia, pertama para ilmuwan internasional memprediksi bahwa pada tahun 2030 Indonesia akan kehilangan 2.000 pulaunya. Menurut laporan dari LSM internasional, negara kita akan menjadi salah satu negara yang terkena dampak besar dari adanya pemanasan global. Kedua, berdasarkan beberapa jurnal ilmiah yang diterbitkan, pada tahun 2030 nanti temperatur udara di Indonesia akan naik mencapai 0,8 derajat celcius. Bisa dibayangkan saat ini saja beberapa daerah yang dilewati garis katulistiwa sudah menjadi sangat panas, bagaimana jika temperatur beberapa tahun lagi malah membuat keadaan semakin memburuk? Ketiga,  musim hujan dan musim panas akan mengalami perubahan jangka waktu. Musim hujan yang akan berlangsung lebih cepat dari biasanya. Kita hanya punya waktu beberapa bulan untuk bermain hujan, selebihnya akan terpapar panas.

Dampak-dampak pemanasan global kian nyata di depan mata dan mengancam berbagai aspek kehidupan. Akankah kita akan berdiam diri saja? Meski tak bisa dihentikan secara total, tetapi dengan upaya kolektif, kita bisa memperlambatnya. Beberapa hal bisa kita lakukan, kurangi emisi gas rumah kaca dengan melakukan penghijauan, gunakan transportasi umum untuk mengurangi emisi karbon dengan menggunakan kendaraan pribadi, membatasi penggunaan peralatan listrik atau menghemat energi, literasi tentang global warming secara sistematis kepada masyarakat luas. Jika bukan kita, siapa lagi yang merawat planet ini?

* Penulis adalah Wakil Rektor Bidan Kelembagaan, Publikasi dan Teknologi Informasi, Universitas Islam Malang dan dosen Program Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Islam Malang

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry