Keterangan foto nu.or.id dan kampuseana.com

SURABAYA | duta.co – Ada ‘cara baru’ bagi warga NU untuk menghadapi tudingan kelompok (firqoh) takfiri yang sering membid’ahkan amaliyah nahdliyin. ‘Ilmu baru’ itu disampaikan KH Bahauddin (Gus Baha) saat ‘Ngaji Mahasantri Milenial’, Sabtu (12/10/2019) di Aula lt 3 kantor PWNU Jawa Timur.

Adalah ‘Gerakan Cangkem Elek’. Gerakan ini lebih mengandalkan logika, akal sehat dalam mempertahankan kebenaran. Sebab, menurut Gus Baha, “Akal sehat itu pasti dipaksa menerima kebenaran,” jelas putra KH Nursalim Al-Hafizh dari Narukan, Kragan, Rembang, Jawa Tengah ini.

Ia kemudian mengambil contoh, betapa kelompok takfiri sering resek, menyebut ‘musyrik’ ketika melihat ada orang membawa keris. Padahal, keris, itu hanya untuk ketenangan bathin. Keimanan tetap kepada Allah swt.

Ini (keris), jelas Gus Baha, sama saja dengan orang kota yang hidupnya tergantung ATM dan atau HP. Ketika mereka lupa membawa HP, mereka juga tidak tenang. “Untuk melawan mereka perlu ‘Gerakan Cakem Elek’. Tetapi (gerakan cangkem elek red.) ini, jangan dinisbatkan ke Kanjeng Nabi. Ini dari saya, karena saya mau menjadi bemper Kanjeng Nabi,” jelasnya.

Dalil Kang Djumadi

Berbeda dengan Gus Baha, Habib Umar Al Muthohar dari Gunungpati, Semarang Jawa Tengah memiliki istilah lain. Sama-sama menggunakan logika dalam menghadapi kelompok ‘resek’ yang suka membida’ah-bid’ahkan amaliyah nahdliyin, Habib Umar memilih menggunakan istilah ‘Dalil Djumadi’.

Misalnya, bagaimana ‘Dalil Djumadi’ menjawab bilangan rakaat salat tarawih warga NU yang 20 rakaat? Mengapa pula warga nahdliyin selama ini senang menggelar acara haul-haul para masyayikh? Mengapa pula warga NU suka tahlilan? Semua cukup dijawab dengan ‘Dalil Djumadi’.

Dalam rekaman yuotube, Habib Umar mengatakan, kalau ditanya, mengapa warga NU salat tarawih 20 rakaat, maka, jawabnya ‘ikut kiai’. Kiai tarawih 20 rakaat, maka, kita pun tarawih 20 rakaat.

“Kita sama-sama tidak tahu, mana yang benar. Apakah 8 rakaat atau 20 rakaat. Kalau yang benar ternyata 8 rakaat, kita untung, masih sisa 12 rakaat. Tetapi, kalau yang benar 20 rakaat, mau cari tambahan dari mana dia?,” jelasnya disambut tawa hadirin.

Begitu juga ketika ditanya soal haul, jawab saja ‘ikut kiai’. Kiai suka haul, kita pun suka haul. Paling tidak, menurut Habib Umar, ini menunjukkan bahwa masih ada di NU orang-orang soleh yang layak ‘dihauli’.

Di sana (haul) itu dijelaskan riwayat hidupnya, perjuangannya, ibadahnya yang bisa menjadi contoh, suri tauladan. “Lha di sana? Tidak ada orang yang layak dihauli, masak mau haul upin-ipin,” jelasnya.

Lalu, bagaimana ‘Dalil Djumadi’ menjawab tentang tahlilan? “Ikut kiai. Kiai tahlilan, kita ikut tahlilan. Karena kiai itu selalu mengajak ke kebaikan. Paling tidak, tahlil ini untuk membedakan, yang mati ini manusia atau hewan. Kalau yang mati itu anjing, maka, tidak perlu ditahlili. Nah, sekarang tinggal kamu: Mau mati menjadi manusia, apa anjing? Gita saja kok repot. Dengan jawaban itu mereka akan lari,” jelasnya disambut tawa hadirin.

Menurut Habib Umar, untuk menjawab kelompok takfiri tidak perlu dengan dalil-dalil naqli, cukup Dalil Djumadi. “Kalau mereka butuh dalil, suruh datang ke pondok,” tegasnya. (mky)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry