Kesekian kalimnya petani gagal panen gegara kalah dengan manuk (ft/atas). Dan 'senjata' petani yang sangat tradisional (ft/bawah).

SURABAYA | duta.co – Nasib petani kita masih tragis. Tak jarang, mereka harus menelan ‘pil pahit’, kalah dengan keadaan. Di Desa Barengkrajan, Kec Krian, Sidoarjo, misalnya — bukan sekali dua kali — mereka harus gigit jari. Musim taman (MT) tahun ini, sejumlah petani gagal (lagi) panen, kalah dengan serbuan manuk (burung).

Pean delok dewe (anda lihat sendiri red.), berapa banyak kerugian yang harus petani tanggung. Bukan hanya waktu dan tenaga, modal pun lenyap. Kini tinggal menghitung angka, berapa utang yang harus mereka bayar,” jelas Purnomo salah seorang petani di Krian kepada duta.co,  Selasa (10/1/23).

Ketua DPD Perempuan Tani HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia) Jawa Timur, Dr Lia Istifhama bisa memahami, betapa remuk-redam hati petani, begitu melihat hamparan padi yang hendak ia panen, tiba-tiba habis dengan serbuan burung.

Ning Lia saat bertemu Petani Perempuan. FT/IST)

“Ini fakta. Petani kita sering kalah melawan keadaan. Transformasi teknologi di sektor pertanian, jauh dari harapan. Alih-alih melipatgandakan produksi,  menjawab problem yang ada saja, kedodoran. Dalam kondisi demikian, petani perlu pembelaan, bukan sekedar pendampingan,” tegas Ning Lia, panggilan akrabnya kepada duta.co, Selasa (10/1/23).

Menurut putri almaghfurlah KH Masykur Hasyim ini, memang harus kita akui, bahwa, masih banyak masalah yang melilit sektor pertanian. Ini membuat program swasembada pangan pemerintah, sulit kita wujudkan. Padahal, di negeri agraris seperti Indonesia, swasembada pangan harusnya menjadi keniscayaan.

“Problem petani masih menumpuk. Dari lemotnya peralihan teknologi modern, mahalnya harga pupuk, luasan lahan yang menyempit, sampai sulitnya petani menembus serta menguasai  pasar sendiri,” tambah Ning Lia.

Kondisi ini, jelasnya, membuat pemerintah belum berani lepas tuntas impor pangan. Kita masih mendapati beras dari banyak negara, mulai Vietnam, Thailand, Myanmar, hingga Pakistan. Padahal, Indonesia pernah berstatus sebagai negara yang berhasil melakukan swasembada beras.

Bahkan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) dan Lembaga Penelitian Padi Internasional (IRRI) telah memberikan penghargaan kepada pemerintah Indonesia karena dianggap swasembada beras. Selama tiga tahun berturut-turut, sejak 2019 hingga 2021, Indonesia disebut konsisten memproduksi beras sebanyak 31,3 juta ton perbulannya.

Atasi Bersama

Di sisi lain, masih ada impor beras. Karena itu, tidak heran muncul kecurigaan atau dugaan adanya keterlibatan mafia beras. “Kabar masuknya impor beras ratusan ribu ton, misalnya, ini jelas merusak harga jual beras petani kita. Beras itu menyangkut hidup orang banyak. Jadi, harus ada pembelaan kepada mereka,” terangnya.

Ning Lia juga menyebut keterbatasan subsidi pupuk. Menurutnya, masalah pupuk ini membutuhkan terobosan tersendiri. Misalnya, petani di Indonesia ini, dalam usulan Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) mencapai 22,57 juta ton sampai 26,18 juta ton. Kalau angka itu dipenuhi, maka, pemerintah harus menyiapkan subsidi  anggaran Rp63 triliun – Rp65 triliun.

Tetapi, faktanya, pemerintah hanya mampu mengalokasikan anggaran berkisar Rp25 triliun – Rp32 triliun. Atau kisaran  8,87 juta ton – 9,55 juta ton pupuk subsidi. Dengan kata lain, kebutuhan yang dapat terpenuhi, hanya 37-42 persen.

“Jadi, jangan heran kalau ada kabar petani kekurangan pupuk atau kelangkaan pupuk subsidi. Kondisi ini memaksa mereka menebus pupuk non-subsidi, harganya jauh lebih mahal. Nah, jangan heran kalau petani sulit memperoleh untung, bahkan bisa buntung. Inilah problem kita, dan harus segera kita atasi bersama,” pungkas Ning Lia yang kini tengah berjuang menjadi anggota DPD RI tersebut. (mky)