Oleh Imam Shamsi Ali*

NEW YORK – duta.co – Sebagai santri dan akan terus “nyantri” hingga akhir hayat, saya sangat ta’zhim (respek) kepada semua ulama. Terlepas gonjang ganjing, atau dalam bahasa haditsnya biasa disebut “qiila wa qaala” ulama tetaplah ulama. Apalagi kalau hanya sekedar pilihan dan afiliasi politiknya.
Karenanya di awal tulisan ini saya deklarasikan ta’zhim saya ke Bapak KH Ma’ruf Amin. Beliau adalah ulama, guru umat, dan panutan jutaan umat Muslim di negara ini. Kiprah beliau dalam keilmuan dan keulamaan tidak dapat disembunyikan. Terakhir beliau adalah Pimpinan tertinggi NU dan Majelis Ulama Indonesia.
Kedua posisi ini secara nasional dalam konteks keumatan adalah posisi puncak. Karenanya beliau mempunya posisi “ta’zhim” atau penghormatan dari semua.
Tapi yang tidak kalah terhormat dan mulia dalam penglihatan saya adalah ketinggian “akhlak karimah” dari cawapres Sandiaga Salahuddin Uno. Setiap ketemu dan berjumpa dengan para ulama, termasuk lawan laga dalam kontestasi ini, beliau selalu memperlihatkan “ta’zhim” (penghormatan) itu.
Saya sangat yakin beliau bukan type pencitraan, dan saya yakin sangat alami dalam pembawaan. Beliau mencium tangan ulama, termasuk KH Ma’ruf Amin bahkan di atas panggung debat politik, sungguh karena sadar keulamaan. Beliau mengharapkan barokah dan ridho Allah melalui “ta’zhim” ulama.
Karenanya Kedua cawapres “deserving” (berhak) mendapatkan penghormatan dan pemuliaan kita semua. Apalagi keduanya adalah kandidat cawapres RI, tentunya mereka adalah dua putra terbaik bangsa kali ini.
Fatwa terorisme
Dengan tanpa mengurangi pemuliaan dan penghormatan saya kepada guru saya KH Ma’ruf Amin, ada dua hal yang ingin saya tanggapi dari berbagai hal yang disampaikan oleh pak Kyai dalam debat pertama capres-cawapres lalu.
Pertama, pernyataan beliau tentang fatwa Majelis Ulama tentang pengharaman terorisme.
Saya tentunya tidak menyalahkan itu. Karena memang posisi beliau sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia mengharuskannya mengambil sikap untuk merespon berbagai peristiwa teror di Indonesia dan dunia.
Masalahnya kemudian adalah bahwa hal ini beliau sampaikan sebagai jawaban terhadap apa dan bagaimana langkah-langkah ke depan sebagai paslon untuk menangani masalah terorisme dunia ini. Fatwa MUI tentunya bukan programnya paslon manapun. Karenanya rasanya kurang pas ketika fatwa MUI dijadikan jawaban terhadap isu ini.
Tapi yang terpenting adalah bahwa terorisme ini adalah sesuatu yang keharamannya “ma’luumun bid-dhorurah”. Yaitu sesuatu yang keharamannya sudah pasti. Karena terorisme adalah pengrusakan dan pembunuhan yang jelas berbagai dalil-dalil mutlak dan tegas (shoriihah) ditemukan dalam teks-teks keagamaan.
Pengharaman terorime ibarat mengeluarkan fatwa tentang haramnya makan babi. Atau fatwa tentang haramnya minum alkohol, dan seterusnya.
Atau menfatwakan wajibnya sholat, puasa, zakat dan lain-lain yang kewajibannya “ma’luumun bid-dhoruurah”.
Saya menilai fatwa haramnya terorisme itu bagaikan menabur garam ke samudra luas dengan asumsi mengasinkan airnya.
Karenanya sekali lagi saya melihat jawaban beliau tentang hal ini tidak proporsional, bahkan salah alamat.
Kedua, yang paling kurang mengena bagi saya adalah penyebutan terorisme yang dikaitkan atau minimal dibarengkan penyebutannya dengan kata “jihad”.
Cara penyebutan seperti ini lazimnya terjadi di kalangan “Islamophob” (Muslim hater atau pembenci Islam) di dunia Barat. Karenanya saya merasa sangat tidak tepat ketika beliau menyebut kata teror dan dibarengi dengan sebuah konsep jihad yang yang sejatinya sangat mulia dalam Islam.
Selain karena memang tidak ada hubungan keduanya sama sekali, bahkan paradoksial (tertolak bekakangan), juga membarengkan, jika memang tidak menghubungkan keduanya, dapat menimbulkan konotasi dan asumsi-asumsi yang salah.
Oleh karena itu, dan ini untuk kita semua, perlu disadari agar kedua kata ini jangan lagi dibarengkan, apalagi dihubungkan. Hanya orang yang salah paham, atau memang benci dengan agama ini yang akan melakukan itu.
Terorisme itu kejahatan (syarrun), jihad itu kebaikan (birrun). Terorisme itu negatif (salbi), jihad itu positif (iijaabii). Terorisme merusak (fasaad), jihad itu perbaikan (islaah). Terorisme itu kematian (al-maut), jihad itu kehidupan (al-hayaah). Terorisme itu neraka (naar), jihad itu syurga (jannah).
Maka dari arah mana saja kedua kata itu tidak akan ketemu. Bahkan kedua kata itu adalah antitheis (lawan) satu sama lain.
Akhirnya sekali lagi tanpa mengurangi pemuliaan dan penghormatan saya kepada guru saya KH Ma’ruf Amin, kiranya jangan lagi hal ini berulang. Apalagi dalam konteks politik yang menyentuh masyarakat awam, akan terlalu banyak yang bisa salah paham bahkan “misleading” (salah arah dan jalan).
Wallahu a’lam bis-showman, wa Huwa al-Muwaffiq ilaa aqwami at-thoriiq.
New York, 18 Januari 2019
* Penulis adalah santri para ulama tinggal di New York AS.
Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry