Dr Suparto Wijoyo

Oleh Suparto Wijoyo

CAK Mispon memanglah kolega yang selalu memberikan wejangan setiap ada momentum penting agar saya menulisnya. Dia boleh berada dalam kelambu yang tidak terbaca oleh khalayak,  tetapi saya terdorong mengekspresikan celotehnya dalam benak   pembaca. Hari Buruh, 1 Mei katanya, apapun motif politik konspirasi globalnya apabila bersandar dari gerakan yang amat terangnya, jelaslah berbeda bahwa ajaran Cak Mispon tidak memerlukan itu unutk menghormati kaum buruh. Penghormatan kepadanya bukan ditentukan oleh sebuah saat yang dinamakan “waktu peringatan” sehari guna merenungi nasib yang tidak beranjak. Pesan keagamaan HR Ibnu Majah yang sahih sebagai pengajaran perburuhan itu dinukil oleh Cak Mispon bahwa dari ‘Abdullah bin ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Berikan kepada seorang pekerja upahnya sebelum keringatnya kering.”

Ini baru sebagian saja dari samudera kemuliaan yang diberikan oleh Kanjeng Nabi untuk mengatur hak-hak buruh dan majikan secara lebih humanis nan teologis. Agama ini mengajarkan keseimbangan dalam setiap jeda engkau bekerja. Pada periode beristirahat itulah hendaknya setiap hamba merenungi anugerah Tuhan yang amat besar kepadanya dalam besaran jabatan seberapapun. Apabila dia kuli bangunan, penjaga gudang, pengemas produk, atau apalah bidangnya, di saat detik-detik istirahat itu, merenunglah. Begitu Cak Mispon dawuh sambil mengutip isi Kitab Al–Munqizh Min Al-Dhalal maupun bab khusus dari Ihya Ulumiddin karya fenomenal Imam Ghazali alias Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Thusi Al-Ghazali yang hidup dalam rentang masa 1058-1111 M. Tanda huruf M disini ujar Cak Mispon bukan Masehi lho Cak Parto, tetapi Miladiyah yang berbeda dengan Hijriyah. Begitulah kalau orang kurang baca dikira M itu seperti pada umumnya, sejarahnya adalah M itu untuk merujuk ke kata Miladiyah sambil menyodorkan kitab-kitab berjilid-jilid. Saya mengangguk agar diskusi tidak bergeser ke soal ini, tetapi tetap mengenai  buruh dalam beramadhan 1441 H.  Dalam karya Imam Ghazali yang berhikmah ini kata Cak Mispon, benderang tertulis bahwa “bertafakur sesaat lebih baik daripada ibadah setahun”. Maka mikir, jangan sibuk mangan, mbadog ae urip iku.  Cak Mispon mengumbar kata yang menggambarkan bobot pesan yang berat, soal mikir dengan merujuk beragam ayat suci Alquran yang senantiasa menggugah menusai: “mengapa kamu tidak berfikir …”, atau “kalau kamu mau berfikir…”.

Nah dalam kondisi PSBB, kata Cak Mispon, ayo bersyukur dengan menggembirakan batin bahwa para buruh yang WFH itu sejatinya diperintah untuk mengingat kembali syariahnya yang selama ini telah diabiakan, karena dianggap radikal. Ungkapan sembrono yang tidak nalar bahwa menjalankan agama dianggap radikal. Apakah Bank Syariah, Ekonomi Syariah, dan lain-lain yang membawa syariah itu radikal model orang yang tidak berpikir itu. Untuk itulah syukuri saja bahwa saat ini dengan PSBB dan WFH, kaum buruh, dan  kita semua hendaklah menyadari bahwa kita ini buruh dalam kehidupan:  memakmurkan rumahmu dan menjalankan ibadah puasa sebaik-baiknya agar kita digolongkan sebagai orang beriman, paling tidak orang yang hidup dalam ruang eksositem “wong kang soleh kumpulono”.

Tidakkah engkau mengerti, kata Cak Mispon bahwa prioritas paling esklusif seruan berpuasa Ramadhan itu memang diperuntukkan bagi manusia yang beriman – “yaaa ayyuhalladziina aamanuu kutiba ‘alaikumsh-shiyaamu kamaa kutiba ‘alalladziina ming qoblikum la’allakum tattaquun” (Q.S. Al-Baqarah, 183), bukan kepada semua manusia. Ini pasti sangat spesial, password khusus guna meraih derajat tertinggi yang dibilang “takwa”. Kata “iman”  senantiasa bergandeng setia dengan kata “takwa” yang biasa diketemukan menjadi ajakan  meningkatkan “iman dan takwa”. Iman merupakan esensi pengakuan  yang terucap dan terlakukan dengan keseluruhan energi jasadi dan ruhani para hamba. Akan ada fluktuasi dalam ritme peneguhan ketertundukan hamba kepada Rabbnya berikut seluruh ajaran-ajaran-Nya, hingga puasa dihadirkan sebagai media “perkuliahan orang-orang beriman” dalam menduduki titik koordinat takwa secara sempurna.

Adapun takwa  adalah “petikan buah” ketertundukan dan alas ketaatan yang paling fundamental atas semua norma Illahi agar orang-orang itu  tersemati atribut “beriman” demi pencapaian lencana “hamba yang membanggakan Rabbnya”. Setiap gerak puasamu melambangkan kobaran unggunnya api imanmu dalam memendarkan cahaya takwamu. Inilah yang  terus-menerus saya ikhtiari bersama-sama Panjenengan semua yang berpuasa Ramadhan. Setiap pemuasa bercita dasar utama membentuk formasi  kaum beriman di hadapan Rabbnya.

Oleh karena iman dan takwa itu menentukan derajat kemanusiaan secara integral, maka puasa dinormakan memiliki tatanan prosedural maupun hakikiyah. Totalitas  puasa akhirnya  menyajikan ujian dari yang berekpresi ujaran sampai pada kebijakan. Semua harus mampu dikontrol atas nama iman-takwa  agar puasa sunguh-sungguh beredar dalam poros pemanggilan yaaa ayyuhalladziina aamanuu yang akan bertengger pada posisi “tattaquun”. Tentu rentang ruang dan ruas jalan dari kosmologi  yaaa ayyuhalladziina aamanuu  sampai pada finish la’allakum tattaquun, tidaklah imun dari godaan, dari godaan   gorengan sampai  unggahan pelibatan kekuasaan.

Dengan daya kewarasan yang paling sederhana sejatinya banyak kaum muslimin wal muslimat yang merasakan keteradukan batinnya atas apa yang terjadi di negeri ini,  arahnya selalu ada yang dituding di pandemi Covid-19. Cara-cara aparat “memblokade” tempat ibadah dan menyikapi yang sedang berjamaah, berlagak gertak yang menghentak guna menghindari virus tetapi menghadirkan viru baru otoritarianisme. Ini merupakan peristiwa yang menggelisahkan padahal rakyat sudah amat “mengalah”. Apalagi di saat PSBB ini, ikuti saja  SOP Cak Mispon: bertafakurlah.

*Akademisi Fakultas Hukum dan Koordinator Magister Sains Hukum & Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga

 

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry