Edza Aria Wikurendra, SKL MKL – Dosen S1 Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan

PERSOALAN saat ini yang sering dihadapi dalam rangka meningkatkan fungsi ekosistem di wilayah konservasi adalah sampah. Sampah merupakan persoalan klasik yang dari dulu hingga kini menjadi masalah bersama oleh seluruh dunia khususnya di Indonesia.

Indonesia sebagai negara berkembang, permasalahan sampah harusnya mendapat perhatian lebih. Riset Jambeck et al (2015) mengeluarkan hasil penelitian yang menyatakan bahwa Indonesia sebagai penyumbang sampah ke laut terbesar ke dua di dunia seiring laju pertumbuhan penduduk yang terus meningkat. Salah satu jenis sampah yang harus mendapat perhatian lebih adalah sampah plastik.

Info Lebih Lengkap Buka Website Resmi Unusa

Plastik merupakan salah satu bahan yang sering digunakan dalam pembuatan segala perlengkapan yang dibutuhkan oleh manusia. Penggunaan bahan plastik dalam kehidupan sehari-hari tentu akan menimbulkan penimbunan sampah dalam jumlah yang besar.

Sedangkan menurut sifatnya plastik cenderung kuat dan tidak mudah rusak oleh pelapukan. Pembuangan sampah yang tidak bijaksana tentu akan berdampak terhadap kelangsungan ekosistem.

Hal ini dikarenakan pembuangan sampah-sampah tersebut akan bermuara di laut sehingga perlu adanya sebuah pengelolaan sampah yang ramah lingkungan untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan dampak negatif dari sampah plastik.

Kantong plastik baru dapat mulai terurai paling tidak selama lebih dari 20 tahun di dalam tanah. Jika kantong plastik berada di air, akan lebih sulit lagi terurai. Salah satu cara untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan melakukan 3 R (reduce, reuse, recycle).

Reduce dapat kita lakukan dengan mengurangi pemakaian  plastik, Reuse menggunakan kembali limbah plastik seperti di buat kerajinan yang memiliki daya guna kembali sedangkan recycle dilakukan dengan  pendauran ulang plastik.

Banyak cara dalam mengelola sampah plastik agar tidak berdampak terhadap ekosistem. Pengelolaan tersebut bisa dalam bentuk penyediaan tempat sampah, pembentukan komunitas bank sampah dan mendaur ulang sampah menjadi bahan berguna lainnya.

Salah satu proses daur ulang yang ramah lingkungan serta tidak menghabiskan biaya tinggi adalah ecobrick. Metode ecobrick merupakan metode terakhir dalam pemanfaatan limbah plastik.

Ketika sampah plastik tidak dapat diolah kembali menjadi barang lain seperti kerajinan tas maupun kerajinan yang lainnya, ecobrick dapat menjadi solusi. Pelatihan diawali dengan pengenalan sampah plastik dan bahayanya bagi tubuh manusia maupun lingkungan.

Ide ini pembuatannya dicetuskan oleh pasangan suami istri Russell Maier, pria asal Kanada dan Ani Himawati perempuan asal indonesia yang memiliki rasa kepedulian sangat tinggi terhadap sejumlah negara berkembang, di Asia Tenggara khususnya, dalam menghadapi permasalahan sampah plastik.

Botol plastik apa pun dapat digunakan untuk membuat Eco-brick, tetapi botol yang paling tepat untuk digunakan ditemukan berukuran 500 ml. Siapkan botol plastik, sampah non organik dan non biologi, gunting dan kayu/tongkat untuk memadatkan.

Ecobrick ini terbuat dari botol plastik yang diisi dengan sampah plastik hingga padat. Cara pembuatan ecobrick itu sendiri memang tidaklah bisa cepat walau terlihat sederhana: yaitu melalui botol plastik ukuran 600 ml diisi sekitar 250 gram sampah plastik atau sama dengan 2500 lembar plastik bungkus mie instan.

Sedangkan untuk botol plastik ukuran 1,5 liter yang dapat diisi sekitar 600 gram atau hampir sama dengan 6000 lembar plastik bungkus mie instan.

Setelah botol-botol hasil ecobrick sudah terkumpul nantinya dapat disusun, dirangkai, dan disatukan sedemikian rupa dengan bantuan perekat berupa lem kaca, yang nantinya bisa dibentuk menjadi produk furnitur sederhana seperti bangku, kursi ataupun meja.

Kemudian, misalnya, bisa ditempatkan di sekolah-sekolah, taman kota ataupun area publik lainnya. Untuk menguji kepadatan, kita bisa menekan botol dari luar. Ecobrick yang baik adalah saat botol tidak akan kempes dan tidak mengeluarkan bunyi ketika ditekan. *