Gus Yasien (kanan) dan Cak Anam (Drs Choirul Anam) dalam sebuah pertemuan. (FT/duta.co)

SURABAYA | duta.co – Semangat berbenah yang bergulir sejak reformasi 1997, kini kehilangan arah. Bahkan ‘putar balik’ yang, membuat negeri ini semakin kedodoran. Kedaulatan rakyat tercabik-cabik. Kekuasaan kembali sentralistik.

“Ini sangat berbahaya. Sikap PWNU Jawa Timur menolak TNI/Polri aktif sebagai Pj Kepala Daerah, sangat tepat. Harus kita dukung bersama,” demikian Tjetjep Mohammad Yasien, SH, MH, Ketua Harian PPKN (Pergerakan Penganut Khitthah Nahdliyyah)  kepada duta.co, Selasa (31/5/22).

Menurut Gus Yasien, panggilan akrabnya, Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia sangat tegas. Di mana UU itu melarang TNI menduduki jabatan sipil, di luar 10 institusi. Aturan ini tertuang di Pasal 47, yang berbunyi: (1) Prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.

Semangat profesionalistasnya sangat tegas,” terangnya.

Ayat dua (2), terangnya: Prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung.

“Itu pun didasarkan atas permintaan pimpinan departemen dan lembaga pemerintahan non departemen serta tunduk pada ketentuan administrasi yang berlaku dalam lingkungan departemen dan lembaga pemerintah non departemen dimaksud. Artinya memang benar-benar urgen atau darurat,” lanjutnya.

Pun, terangnya, putusan MK (Mahkamah Konstitusi) sangat jelas menyebutkan dalam pokok TNI/POLRI dibolehkan menduduki jabatan sipil dengan ketentuan mengundurkan diri atau pensiun. “Kalau sekarang ada penjelasan MK yang memperbolehkan, itu ironis. Hukum di negeri kita ini seperti permainan. Mudah diplintir, sesuai selera penguasa,” tegasnya.

Kebijakan pemerintah menempatkan TNI/Polri aktif sebagai Pj Kepala Daerah, tambahnya, melanggar konstitusi. Tidak boleh kita diamkan. “Kami, PPKN sepakat dengan  sikap PWNU Jawa Timur, jangan biarkan kebijakan melanggar konstitusi. Ini menciderai semangat reformasi. Yang kita heran, semua wakil rakyat diam,” tambahnya.

Ditanya soal penjelasan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD bahwa penempatan anggota TNI dan Polri sebagai penjabat kepala daerah, sama sekali tidak melanggar regulasi, Gus Yasien pun geleng kepala. “Yaaa.., seperti itulah politik,” jawabnya.

Sebagiamana diberitakan, semenjak 10 April 2022, menurut Presiden Joko Widodo ada 101 penjabat kepala daerah yang disiapkan. Mulai dari 7 gubernur, 76 bupati, dan 18 wali kota. Salah satu yang akan mengisi jabatan ini adalah tentara dan polisi, yang kemudian menuai pro dan kontra. “Pertanyaan kita: Mengapa sampai kosong? Bukankah jabatan-jabatan itu harus dipilih rakyat? Mengapa pejabat yang ada (jelas dipilih rakyat) tidak diperpanjang saja? Mengapa harus TNI/Polri aktif? Bagaimana dengan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia?,” pungkasnya.

Sementara, ahli hukum tata negara dari Themis Indonesia, Feri Amsari, mengatakan, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) telah menegaskan personel TNI/Polri tak boleh diangkat menjadi penjabat (pj) kepala daerah.

“Tegas, terang benderang tidak boleh kemudian penjabat kepala daerah diisi oleh TNI dan kepolisian karena itu bukan tugas konstitusionalnya. Ditambah lagi putusan Mahkamah Konstitusi mempertegas itu,” ujar Feri dalam diskusi daring yang disiarkan Youtube Public Virtue Research Institute, Rabu (25/5).

Dalam Undang-Undang mengenai TNI maupun Polri juga ditegaskan personel aktif dilarang menduduki jabatan sipil. TNI/Polri hanya dapat memegang jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun.

Feri Amsari mengatakan, kondisi Indonesia akan sentralistik setelah pengangkatan penjabat kepala daerah di 271 wilayah sepanjang 2022 dan 2023. Sebab, menurut dia, proses penunjukan penjabat kepala daerah itu tak memperhatikan aspirasi daerah, tidak transparan, dan tanpa pembentukan peraturan pelaksana.

“Bagaimana kondisi Indonesia setelah penunjukan penjabat termasuk Papua, saya pikir memang kondisinya akan sangat sentralistik,” ujar Feri sebagaimana warta republika.co.id.

Dia mengatakan, sebenarnya kondisi sentralistik sudah sangat dirasakan ketika disahkan Undang-Undang tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker). Dia menyebutkan, dalam UU Ciptaker, seluruh kewenangan pemerintah daerah ditarik ke pusat. (net, mky)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry