DAPAT HIDAYAH: Dokter Widyanugraha atau dr Wiwid di tempat praktiknya di RSI Surabaya Ahmad Yani, Selasa (13/4/2021) siang.

SURABAYA | duta.co – Bulan Ramadan selalu disambut dr Widyanugraha SpOG dengan sangat antusias. Karena pada bulan suci ini, dia merasa bisa sangat dekat dengan Tuhannya, Allah swt.

Sedangkan untuk ritual tidak makan dan minum dari imsak hingga maghrib tidak lagi menjadi sebuah beban.

Karena baginya ritual seperti itu sudah sering dilakukannya, sejak dia menyandang status seorang muslim.

“Dulu kan di agama saya yang lama, ada juga ritual puasa. Pernah puasa tiga hari saya kuat,” ujar dr Wiwid, panggilan akrabnya, saat ditemui Duta sedang praktik di RSI Surabaya Ahmad Yani, Selasa (13/4/2021) siang.

Pria kelahiran Ngawi, 24 Juni 1981 ini memang tidak mengalami tradisi puasa sejak kecil. Karena keluarga intinya beragama Nasrani. Tapi, di keluarga besarnya, banyak yang beragama Islam dan menjalankan puasa Ramadan, termasuk kakek dan neneknya.

Semasa kecil hingga SMA, dr Wiwid termasuk anak yang taat dalam menjalankan perintah agamanya. Sekolahnya saja, sekolah khusus. “SD Katolik, SMP Negeri, dan SMA Katolik. Baru kuliah di Fakultas Kedokteran Unair,” ujarnya.

Selama menempuh pendidikan di sekolah, Wiwid muda mendapatkan banyak pelajaran agama. Cukup mendalam dia mempelajarinya. Bahkan pelajaran teologi dilaluinya dengan sangat baik. “Sampai paham betul saya teologi itu,” tukasnya.

Bapak tiga anak ini mengaku dengan bekal ilmu agama sejak kecil, sebenarnya tidak mudah untuk goyah dan berpindah ke keyakinan yang lain. Namun, entah mengapa, saat dia duduk di semester akhir di FK Unair atau tepatnya pada sekitar 2004, dia dipertemukan dengan seorang kiai di sebuah pondok pesantren di Lawang, Malang.

Diakui dr Wiwid, dia tidak mengetahui bagaimana bisa sampai ke pondok itu dan bertemu sang kiainya sebagai pimpinan tertinggi di Pondok Pesantren Hasbunallah, Kiai Sjaichul Ghulam. Dengan Kiai Sjaichul itu, dia banyak berdiskusi.

“Karena saya banyak belajar teologi, maka saya dengan beliau banyak diskusi tentang perbandingan agama. Saya banyak mendapat pencerahan, terutama tentang ketauhidan. Sungguh pengalaman yang luar biasa,” tandasnya.

Dari diskusi itu, dr Wiwid mengaku banyak mendapatkan pelajaran. Beruntung, katanya, dia sebelumnya belajar tentang teologi, sehingga dia mudah memahami tentang ajaran ketauhidan yang diberikan Kiai Sjaichul.

Kemudahan-kemudahan pemahaman akan ajaran ketauhidan itu, diakui dr Wiwid sebagai sebuah jalannya untuk menjadikan Islam sebagai jalan hidupnya. Sebagai agama yang akan dijalaninya hingga akhir hayatnya.

“Kalau saya tidak belajar teologi, dan saya tidak berdiskusi tentang perbandingan-perbandingan agama dengan pakar atau ahli yang kompeten, mungkin saya tidak semudah itu bisa memahami ketauhidan. Saya sungguh beruntung,” jelasnya.

Minta Restu Ortu Masuk Islam

Dari diskusi-diskusi itu, dr Wiwid mantap ingin memaluk Islam. Namun, dia sebagai anak yang masih memiliki orang tua, tidak semudah itu untuk memutuskan berpindah agama. Dia harus tetap mendapatkan izin dari kedua orang tuanya yang saat itu tinggal di Muntilan, Magelang.

“Beruntungnya lagi saya ini. Karena mungkin bapak dan ibu saya itu dari keluarga besar yang beragama Islam, maka beliau itu sangat terbuka. Beliau tidak mempersulit saya. Mungkin ada rasa kecewa beliau kepada saya tapi yang pasti beliau mengizinkan saya untuk memilih Islam. Kalau waktu itu kedua orang tua saya tidak mengizinkan, mungkin saya akan berpikir dua kali untuk pindah agama,” tuturnya.

Pada Maret 2006 atau tepatnya tiga bulan setelah lulus dari FK Unair, dr Wiwid berikrar masuk Islam. Setelah berikrar, dr Wiwid merasakan ada banyak kemudahan lagi yang dia rasakan untuk belajar Islam lebih dalam. Baik itu belajar salat, belajar membaca Alquran, dan sebagainya.

“Salah satu jalannya ada saja. Saya bekerja di RS Haji, yang di sana itu untuk bisa berdiskusi tentang agama selalu lebih mudah karena semuanya paham Islam. Sehingga saya itu bisa khatam Alquran sudah tiga kali lho. Tiga tahun dari masuk Islam, saya menjadi petugas kesehatan haji dan sebagainya. Saya beruntung,” tandasnya.

Kini, dr Wiwid merasakan ketenangan. Dan kini dia bisa menikmati hidup bersama istrinya, Wike Tanjungsari, dan tiga anaknya. Dia pun berkomitmen menanamkan pendidikan yang baik terutama pendidikan agama pada anak-anaknya sebagai bekal di kehidupannya kelak. end

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry