Dr Ari Ambarwati SS MPd, (kiri) saat menjadi pemateri di Festival Literasi Sekolah III, di Plaza Insan Berprestasi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (DUTA.CO/IST)

MALANG | duta.co – Dosen Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI), Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Unisma membuat seri bacaan bertema literasi pangan lokal sebagai bacaan Gerakan Literasi Sekolah (GLS).

Menurut Dr Ari Ambarwati SS MPd, dosen penggagas seri bacaan literasi pangan lokal, awalnya ia merasa khawatir saat pangan lokal jarang sekali muncul dalam buku teks maupun buku pengayaan anak sekolah. Bahkan kenyataan, Bahasa Indonesia menjadi salah satu mata pelajaran yang kurang disukai pelajar SMP maupun SMA.

“Lima dari 10 siswa di kota Malang dan Surabaya yang saya survey, menyatakan bahasa Indonesia sebagai pelajaran yang kurang mereka minati. Salah satu yang dikeluhkan adalah konten bacaan bahasa Indonesia yang tidak membuat mereka tertarik,” ungkap Ari Ambarwati, Senin (6/4/2020) melalui chat WhatsAppnya.

Dosen yang juga Kepala SMA Islam Nusantara membeberkan pula, ada satu hal lagi yang meresahkan, yakni ketika suatu pangan pokok tidak dikonsumsi lagi. Maka berakibat sekian banyak kosa kata yang berkaitan dengan pangan pokok itu juga akan musnah pula.

“Bahasa itu mengonstruksi pemikiran manusia, termasuk laku budaya masyarakatnya. Sebaliknya, budaya juga memengaruhi laku berbahasa manusia. Keduanya berkelindan,” ujar wanita mantan jurnalis ini.

Menurutnya, ketika salah satu laku budaya, misal masyarakat Ambon tidak lagi mengonsumsi sagu, maka kosa kata daerah yang menjelasakan tentang cara menanam, membudidayakan, mengolah, dan menyajikan sagu, juga akan lenyap.

Ia meyakini, jika bahasa daerah sudah kehilangan satu saja kosa katanya, maka itu ancaman nyata bagi pemertahanan Bahasa Indonesia, yang kekayaan kosa katanya disumbang oleh sekitar 600 lebih bahasa daerah. Jadi, pangan bukan sekadar perkara orang pertanian, tetapi juga perkara orang bahasa dan ahli budaya.

Maka pada 2018, ibu dari dua putri ini memulai penelitian untuk membuat buku elektronik (e-book) nonteks pelajaran dengan konten utama keragaman pangan pokok Indonesia. Ia mulai menyusun angket analisis kebutuhan siswa terhadap buku elektronik (bukel). Bukel nonteks pelajaran untuk mengetahui bentuk, konten, dan model buku elektronik yang disukai siswa dengan basis keragaman pangan pokok nusantara.

Dari angket yang disebar di lima kota besar, seperti Malang, Surabaya, Jakarta, Yogyakarta, dan Mataram, diperoleh informasi bahwa 85% siswa SMA menyukai buku elektronik yang atraktif dengan konten teks multimodal yang berbentuk teks tulis, infografik, video, dan audio. Sedangkan 81% siswa SMA yang disurvey menyukai kisah-kisah tentang asal usul makanan pokok nenek moyang Indonesia yang disajikan dengan gambar bergerak dan ilustrasi yang menarik.

“Tapi tidak dengan teks yang panjang. Rerata mereka suka membaca teks berisi 500-1000 kata dengan ilustrasi dan visualisasi yang kaya warna,” katanya.

Maka ia membuat buku elektronik dan buku cetak sesuai dengan hasil temuan penelitiannya. Pada Juni 2019, buku hasil penelitiannya diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama dan buku itu terpilih untuk diekspos dalam Festival Literasi Sekolah Kemdikbud RI, Juli 2019.

“Saat diundang Kemdikbud RI untuk berbicara tentang literasi pangan lokal, maka saya berpikir ini adalah saatnya untuk mengajak guri-guru dan kepala Sekolah teladan dari seluruh Indonesia untuk mulai mempraktikkan bagaimana pendidikan multikultural di Indonesia dapat dipajangkan melalui pangan lokal,” paparnya.

Pegiat literasi Unisma ini menawarkan agar teman-teman guru dan Kepala Sekolah mulai menarasikan pangan lokal, termasuk sorgum yang hari ini ternyata menjadi komoditas tanam dan pangan yang disukai untuk dikembangkan para petani di NTT.

Petani menanam sorgum, siswa dan guru dapat menarasikan pengetahuan tentang cara menanam dan kisah-kisah menarik tentang sorgum yang ternyata terbukti menjadi jaring pengaman pasokan pangan masyarakat NTT.

Ternyata ketika aktivitas menanam dan mengolah sorgum itu dituliskan dengan bentuk-bentuk multimodal, seperti siswa merekam suaranya sendiri dan keseruan mengolah sorgum menjadi makanan pokok yang setara dengan beras. Siswa menjadi lebih tertarik membaca konten tentang pangan lokal.

Berkat buku berjudul Nusantara dalam Piringku karyanya, ia diundang oleh Kemdikbud Oktober lalu sebagai pembicara di Pekan Kebudayaan Nasional I di Istora Gelora Bung Karno. Ia pun mempresentasikan mengenai Praktik Baik Gerakan Literasi Pangan Untuk Pendidikan Karakter.

Dosen kelahiran 1972 ini kemudian berpikir bahwa praktik baik pendidikan karakter toleran bagi siswa Indonesia yang hidup di tengah masyarakat multikultur, dapat efektif dilakukan melalui bacaan tentang pangan pokok Indonesia yang beragam.

“Bahwa sejak dari makanan saja, manusia Indonesia itu beragam. Kita bisa paham ternyata bagaimana nenek moyang kita yang pelaut dari Wakatobi, Sulawesi Tenggara merupakan salah satu pelaut andal, berbekal kasoami, makanan pokok yang terbuat dari singkong olahan dan tahan dua minggu untuk teman berlayar,” terang Ari Ambarwati.

Kisah-kisah ini akan menarik dinarasikan dan harus hadir dalam buku-buku bacaan pengayaan yang dapat dibaca di kegiatan Gerakan Literasi Sekolah.

Saat ini Ambarwati telah memulai membuat seri infografik bacaan pangan lokal. Infografik ternyata juga disukai karena berisi teks informatif dengan gambar visual yang menarik. Ini sejalan dengan karakter siswa SMP-SMA yang hari ini merupakan pemelajar generasi Z. Mereka memiliki daya visual yang kuat. Seri bacaan pangan lokal pertama berbentuk infografik ini mengambil tema pembungkus makanan dan jajanan tradisional.

Tema ini diangkat sebagai salah satu jenis informasi yang disukai siswa dalam survey kedua tentang ragam informasi tentang pangan lokal yang ingin dibaca siswa SMP-SMA di lima kota.

“Rupanya pembungkus makanan dari daun sedang jadi kesukaan mereka karena terkait dengan isu lingkungan. Daun sebagai bahan pembungkus utama makanan tradisional disukai oleh siswa karena lebih ramah lingkungan, tidak seperti plastik. Apalagi sekarang di aplikasi tertentu, makanan dan jajanan tradisional sudah banyak dijual,” urainya.

Para pelajar menjadi tertarik dan ingin tahu jenis-jenis pembungkus dari daun yang namanya beragam dan unik bentuknya.

Bagi Ambar, ini adalah pintu masuk yang bagus bagi generasi muda untuk memahami budayanya. Ia berprinsip, Siapa yang tak suka makanan? Siapa yang tak butuh makanan? Selanjutnya ia juga sedang menyusun buku tentang studi gastronomi dalam karya sastra Indonesia.

“Ini adalah upaya lebih terkini lagi untuk mengembangkan kesukaan siswa pada karya sastra Indonesia, melalui studi gastronomi, yakni pangan dan budaya yang hari-hari ini cukup banyak beredar,” jelasnya.

Ia menilai, jika penelitian yang sepenuhnya didanai oleh Unisma ini harus dapat dimanfaatkan dengan baik agar dapat digunakan untuk penguatan literasi di sekolah. (dah)

Express Your Reaction
Like
Love
Haha
Wow
Sad
Angry